morkihacoy

“Lama sekali,” ucap Kaluna kala melihat Abay yang sudah berpakaian rapi dari balik pintu yang kini sudah terbuka.

Abay mengetuk pelan helm berwarna pink milik Kaluna, dengan corak bunga yang memenuhi semua bagiannya.

Kaluna mengernyit kebingungan. “Apasih ketuk-ketuk helm punyaku? Kak Abay mau aku buatin, ya?” Kaluna melepas helm miliknya.

“Gambar sendiri?” Abay mengambil alih helm yang ada digenggaman tangan milik gadis itu. Ia kembali terkagum dengan apa yang Kaluna lakukan.

Ia selalu mempunya ide menarik, yang mungkin jika dijual akan memiliki harga yang tinggi.

“Iyalah, itu lukisanku sendiri. Hebat tidak?” balas gadis itu sembari menampakkan senyum manisnya ke arah Abay.

Sial, senyuman yang terjadi hanya dalam waktu beberapa detik itu, berhasil membuat jantung laki-laki yang bernama Abay Mahendra, berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Tangannya mulai meraih kembali helm dengan nuansa serba pink cantik milik Kaluna, dan ia berpikir untuk mengenakan nya pada kepala Kaluna.

Gadis itu sedikit terkejut, tubuhnya seketika kaku tidak bisa berkutik. Netra nya tak henti-henti memandang pergerakan tubuh itu. Laki-laki yang ada di hadapannya kini, adalah orang yang selalu berada di dalam imajinasinya. Bagaimana mungkin mimpinya menjadi nyata?

Kikuk keadaan kala itu. Keduanya tidak berani saling menatap. Kaluna perlahan berjalan lebih dulu dari Abay. Abay yang mulai sadar bahwa gadis itu ingin segera pergi dari tempat ini, ia mulai mengikuti langkahnya.

Tangan mungil dengan kuku yang penuh hiasan berwarna serba merah muda itu, tengah sibuk menunjuk barisan kendaraan beroda dua di depan parkiran bangunan kost yang bertuliskan “Pondok Bu Sarah”

Tubuhnya ia dekatkan kepada salah satu motor besar Kawasaki Ninja H2 Carbon yang ada di sana. Ia mulai menaiki kendaraan itu tanpa rasa ragu.

Abay menarik tubuh kecil itu dengan cepat. “Motor gue bukan itu!” jelasnya pada Kaluna.

Gadis itu kembali terdiam. “Aku liat kakak kemarin pakai motor besar seperti ini.”

“Bukan. Motor gue yang itu.” Tunjuk Abay pada salah satu benda yang sangat jauh dari tempat benda sebelumnya yang tepat berada di ujung jalan sana.

“Itu motor kak Abay?” Kaluna kembali menatap ke arah Abay. Abay mengangguk pelan.

Abay kembali menarik tangan gadis itu. Kaluna hanya bisa mengikuti kemana langkah kaki laki-laki itu berjalan. Dan sampai di penghujung jalan tempat kendaraan itu terparkir.

“Motornya lucu sekali,” girang Kaluna ketika netra nya tertuju pada kendaraan beroda dua milik Abay.

Abay perlahan mulai menjauhkan dirinya dari Kaluna. Ia menaiki kendaraan vespa yang identik dengan warna kuning cerah, yang ternyata adalah milik Hugo.

“Naik,” pinta Abay.

Satu kursi bersama Abay? Mimpi.

Perlahan roda kendaraan itu berputar seiring dengan kecepatan mesin yang Abay naikkan.

“Kak Abay jangan ngebut...” Suara Kaluna tidak sama sekali terdengar di telinga Abay.

“Kak Abay boleh peluk?” Lanjutnya. Abay masih tidak merespon perkataan Kaluna.

Angin juga jalan yang sangat ramai. Membuat alat pendengarannya semakin minim. Belum lagi, ia sedang mendengarkan musik dengan volume yang cukup besar

“KAK ABAY BOLEH PINJAM PELUK NYA SEBENTAR?” Karena sudah kesal dengan Abay yang sama sekali tidak merespon ocehan darinya, dengan terpaksa Kaluna harus berteriak sekencang mungkin dai arah samping telinga Abay. Meskipun tertutup oleh helm hitam yang dikenakan laki-laki itu.

“Boleh,” balasnya tanpa mengatakan apapun setelahnya.

Kaluna perlahan memeluk pinggang milik Abay. Tangannya ia masukkan ke dalam dua saku cukup besar pada jaket yang Abay kenakan.

Seketika, ada hal yang menarik dari arah sudut jalan sana, netra nya tak henti menatap ke arah bangunan cantik dengan arsitektur bernuansa Belanda. Cat berwarna merah muda itu yang menjadi perhatiannya tertuju.

Kaluna perlahan mencubit perut Abay, dengan kedua tangan yang masih tersimpan di dalam saku jaket laki-laki itu. “Kak Abay mau ke situ! Mau ke situ!” hebohnya seraya menunjuk ke arah bangunan tersebut.

“Jangan dicubit!” ucap Abay ketika merasakan perih karena cubitan kecil yang Kaluna buat.

“Anter ini dulu, Kal.” Lanjutnya.

“Gak-gak, mau ke situ dulu,” rengek Kaluna seperti anak kecil. Itu ia lakukan agar Abay mau memenuhi permintaannya.

“Bawel,” celetuk Abay, yang mau tidak mau harus menuruti permintaan gadis yang selalu membuatnya terkagum, juga terheran-heran karena tingkahnya.

by @morkihacoy

Jumat pagi, Hanif dan keluarga kecilnya pergi kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk istri tercintanya. Tak lupa ia akan selalu membawakan satu buket bunga mawar untuk Zayna.

Hampir setengah abad didalam hidupnya ia habiskan bersama kekasih tercantiknya. Perempuan cantik yang kian hari kulitnya semakin mengkerut. Mata yang semakin hari semakin sayu. Begitu juga dengan sang suami, Hanif.

“Assalamu'alaikum,” Suara itu terdengar dari luar sana diiringi dengan pintu yang perlahan mulai terbuka.

“Wa'alaikumussalam,” balasnya dengan suara yang sangat pelan.

Suara mesin monitor menjadi suara paling khas ketika memasuki ruangan ini. Hanif menghampiri tubuh yang terkapar lemas diatas ranjang yang dipenuhi dengan alat-alat medis lainnya. Perempuannya itu seperti robot yang kehabisan energy dan harus segera diperbaiki lagi.

Senyum itu nampak indah ketika melihat sang pujaan hati yang menghampirinya. “Kenapa sudah kembali lagi?” ujarnya.

“Saya selalu merasa takut. Karena itu saya tidak bisa meninggalkan kamu sendirian.” balas Hanif seraya memberikan bunga mawar cantik untuk Zayna.

“Saya selalu disini, tidak akan hilang.” lanjut perempuannya.

Hanif mencium pucuk kepala Zayna. Disamping itu kedua anaknya pun sudah terbiasa dengan perlakuan mereka berdua. Tanpa sadar keduanya meneteskan air mata menyaksikan dua insan yang cintanya selalu abadi itu. Akhirnya, mereka memutuskan untuk keluar dan memberi ruang hanya untuk mereka berdua.

“Kapan kamu sembuh?” Hanif perlahan duduk disamping ranjang Rumah Sakit.

“Kalau sembuh, memangnya mau apa?” Zayna menatap mata yang beberapa tahun ini begitu sayu termakan usia.

“Apapun, melakukan apapun asalkan bersama kamu.” balas Hanif lalu tangan itu mengangkat tangan lain yang tidak akan pernah bosan untuk digenggamnya.

Zayna menarik nafasnya dalam-dalam, “Sudah tua, waktunya istirahat. Kamu pulang saja.” ucapnya.

“Saya pulang, jika kamu pulang.” Hanif mengusap pipinya yang mulai basah karena air mata.

“Jangan sakit,”

Zayna mengusap rambut yang sudah memutih itu. Bibirnya selalu saja menampakan lengkungan manisnya. “Namanya manusia, gak selalu kuat kan? Jangan sedih, saya juga ikut sedih.”

“Zayn, kamu perempuan milik saya. Hanya milik saya dan akan selalu menjadi milik saya. Saya hanya mau bersama dengan kamu. Jangan hilang sekarang.” Iya, Hanif selalu mengatakan hal itu seumur hidupnya selama bersama Zayna.

Keduanya kini sudah terlihat sangat tua. Yang mereka butuhkan hanyalah waktu bersama untuk beristirahat. Berjemur dibawah sinar matahari dipagi hari, berkebun diwaktu luang, ataupun menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan di taman kota. Namun ternyata lain, dimasa tuanya mereka hanya menghabiskan masa hidupnya di ruangan bising ini. Terkadang tempat yang mungkin paling nyaman disini hanyalah taman yang tidak jauh dari bangunan ini berada.

Adzan Ashar mulai berkumandang. Hanif menengok ke arah jam dinding disudut sana. Melihatkan waktu yang akan semakin gelap.

“Saya mau sholat di Mushola. Tapi saya takut ketika kamu membutuhkan saya, saya sedang tidak berada disisi kamu. Mungkin saya bisa saja sholat disini. Tapi saya kasihan mungkin akan mengganggu waktu istirahat kamu.” ujar Hanif lalu beranjak dari posisi duduknya.

Ketika akan melangkah, tangannya tak bergerak karena Zayna yang terus menggenggamnya. “Disini saja.” pinta Zayna.

“Saya juga mau sholat. Imami saya mungkin untuk yang terakhir kalinya.” lanjut perempuannya.

“Jangan bicara seperti itu. Sampai kapanpun saya akan selalu menjadi imam kamu, Zayn.”

Hanif kembali menghampiri perempuannya. Membantunya untuk berada diposisi yang paling nyaman. Hamparan sejadah ia gelarkan disamping ranjang istrinya itu. Perlahan tangannya terangkat menyebut nama Sang Rabb.

“Allaahu Akbar...”

Hingga dipenghujung sholatnya, tubuh itu kian tak mau bangkit dari sujudnya. Tidak terdengar lagi deru nafas yang keluar dari hidungnya. Hening, hening sekali keadaan kala itu. Dan ia, perempuan terkasihnya pun terlihat tertidur sangat pulas diatas bangsal dengan warna serba putih yang khas. Air mata yang baru saja mengalir dan senyum yang selalu terukir indah dibibirnya.

Ternyata, mereka sama-sama pulang menuju rumah. Rumah yang akan selalu menjadi tempat peristirahatannya.

“Saya mau menua bersama...” Beberapa kalimat yang selalu teringat.

“Jangan hilang....”

“Saya pulang jika kamu pulang....”

Pintu kamar terbuka perlahan. Beberapa orang mulai memasuki kedalam ruangan. Keadaan sangat genting sebab mesin monitor dengan bunyinya yang semakin bising.

Zarina dan Zayyed sedang berusaha membangungkan sang ayah dari sujudnya. Mereka sama sekali tidak berpikir jika ayahnya juga ikut pulang bersama sang ibunda.

Tangan kekar itu meraih denyut nadi yang berada pada pergelangan tangan Hanif. “Gak ada, kak!” ujarnya.

“Apasih, Zay. Jangan becanda!” bentak Zarina kepada adiknya. Zayyed terdiam kaku dan seketika tubuhnya lemas. Mencoba kuat dengan apa yang baru saja terjadi.

“Gak mungkin kan, dek?” tanya Zarina masih tidak percaya.


“Buna, Ayah...” lirih Zarina sembari menahan tangisnya.

“Selamat menua bersama, selamat hari jadi pernikahan kalian. Selamat bertemu kembali kelak di Surga milik Allaah. Zee janji ayah, Zee janji sama buna.” lanjutnya dan tangisan itu seketika pecah.

Sesak juga sakit didadanya begitu menyeruak. Zayyed memeluk kakak perempuannya itu. Memcoba lebih kuat agar sedikit bisa menenangkan kakaknya, Zarina.

“Hal paling indah ketika Allaah menyuruh saya untuk pulang bersama jiwa milikmu, Zayna. Selamat tidur cantiknya saya.”

©morkihacoy

Hanif berlari sekencang mungkin di koridor Rumah Sakit dan membuat seisi penghuni disana fokus tertuju kepada Hanif. Kakinya terhenti tepat di ruang operasi dimana istrinya sedang ditangani. Lagi dan lagi Zayna harus menjalani operasi untuk melahirkan bayi keduanya. Tubuhnya terkapar lemas sembari terus berdoa agar proses persalinannya berjalan lancar.

Diluar sana, sesosok pria berperawakan tinggi sedang terduduk sembari mengepalkan kedua tangannya. Dalam hatinya selalu ia sematkan doa untuk sang istri. Ia sangat takut terjadi sesuatu hal kepada anak dan istrinya itu, karena memang sedari tadi sosoknya tidak bisa berada disamping mereka.

Waktu menunjukan pukul 15.33 sore. Suara Adzan satu per satu mulai berkumandang. Menghentikan bising suara para pasien juga perawat yang masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Ia segera pergi menuju Mushola. Berharap keberuntungan hari ini berpihak kepada keduanya.

Selesai menyelesaikan kewajibannya, Hanif berlari kembali ke ruang operasi. Melihat lampu diatas pintu ruangan sudah kembali menjadi hijau. Menandakan bahwa proses operasi baru saja selesai. Perlahan pintu utama ruangan tersebut terbuka, menampakkan tiga orang wanita dengan berpakaian Dokter juga Suster.

“Permisi, mas ini suami mbak yang didalam ya?” tanya dokter tersebut.

“Iya, dia suaminya, Dok.” balas Zoya. Ternyata perempuan itu sedari tadi juga menunggu bersama Hanif.

“Kalau begitu silakan masuk mas, mbak.” pinta Dokter seraya membukakan pintu agar kedua orang tersebut masuk.

Zayna masih dalam keadaan kurang sadar karena efek dari obat bius tersebut. Ia selalu menampakan senyuman manis itu kepada Hanif, walaupun kenyataanya ia mulai merasakan sakit diperutnya.

Sedari tadi Hanif tidak mendengar suara tangisan bayi sama sekali. Ia terus fokus dimana sekarang bayinya berada.

“Cantik,” ujarnya kala mengelus lembut pucuk kepala Zayna.

“Kamu kemana?” tanya Zayna lagi-lagi tersenyum ke arah Hanif.

Mata Hanif sangat terasa panas dan mulai memerah, “Maaf, maaf saya tidak bisa jaga kamu Zayna. Maaf seharusnya hari ini saya tidak meninggalkan kamu di rumah sendirian. Maaf-” Kalimatnya terputus kala Zayna menutup bibirnya dengan jari telunjuk milik Zayna.

“Bukan salah kamu, jangan nangis aku gak apa-apa kok. Bayi kita juga katanya sehat. Zee mana?”

Iya, ia sedari tadi melupakan anak perempuannya itu. Sesegera mungkin ia keluar ruangan dan mencari keberadaan putri kecilnya, Zarina. Ia terus bertanya kepada orang sekitar apakah ia melihat gadis kecilnya disekitar sini? Namun nihil, ia sama sekali tidak menemukan sosok bertubuh mungil itu. Sampai akhirnya, di taman ia melihat Zarina sedang terduduk dikursi bersama seseorang disampingnya(?)

“Zee!” panggilnya.

Mendengar suara itu, Zarina langsung berlari menghampiri sang ayah yang sedari tadi mencari dirinya.

“Dedek bayinya cudah keluar yayah?” tanya Zee kepada Hanif.

“Sudah, cantik.” balas Hanif lalu mengalihkan pandangannya kepada sesosok anak laki-laki yang sedari tadi bersama gadis kecilnya itu.

“Kamu temennya Zee?” tanya Hanif lalu meraih bahu anak tersebut.

“30 menit yang lalu, aku sama Zee temenan.” balas Anak itu dengan suara yang seperti baru saja menangis.

“Yah, ini namanya Nuca.” Zarina memperkenalkan teman barunya itu kepada Hanif.

“Nuca, kamu kesini sama siapa?” Hanif kini mengubah posisinya menjadi sejajar dengan tinggi anak laki-laki yang bernama Nuca tersebut.

“Sama ibu, tapi sekarang ibu lagi diobatin Dokter. Nuca disuruh tunggu di taman sama ibu.”

Hanif terkejut dengan jawaban Nuca dan langsung mengajak anak kecil itu untuk ikut sebentar bersamanya. “Ikut om dulu mau?” tawar Hanif. Nuca mengangguk.

Selesai mengumandangkan Adzan untuk anak keduanya. Hanif menghampiri Zayna. Melihatkan wajah kecil itu kepada istrinya. Ia, anak laki-lakinya kini sudah terlahir ke dunia.

“Dunia baru saya, terimakasih ya, Zayn. Kamu perempuan terhebat saya. Maaf, saya minta maaf.”

Kalimat maaf itu akan selalu terulang dalam ucapannya. Karena ia merasa sangat bersalah membiarkan perempuannya berjuang sendirian. Ia takut, karena ia tidak tahu takdir Allaah selanjutnya bagaimana. Namun, untuk kesekian kalinya Allaah selalu berpihak kepadanya.

“Yayah, Zee mau liat dedek bayi Zee.” Zarina menarik-narik baju bagian bawah Hanif. Lalu Hanif mengubah posisinya menjadi terduduk diatas kursi dan melihatkan dunia barunya kepada gadis kecilnya.

Zayna fokus melihart Zarina yang sangat senang. Namun, kini pandangan Zayna beralih kepada sosok kecil disudut sana. “Itu Nuca. Dia bilang ibunya sedang diperiksa oleh Dokter. Tidak apa-apa ya dia ikut kesini dulu? Kasihan dia ternyat sendirian.” jelas Hanif. Zayna mengangguk terus memperhatikan sosok Nuca disudut sana.

©morkihacoy

Hanif dan Zarina menghampiri perempuan yang sedang terduduk dibangku taman. Keduanya baru saja selesai bermain basket, walaupun sebenarnya tidak ada yang bisa bermain basket disini.

“Buna, Zee udah main bwasket tama yayah.” ucap Zarina seraya memeluk sang ibunda yang sedari tadi hanya terdiam melihat kegiatan yang dilakukan anak dan suaminya itu.

“Saya sudah main basket. Tapi kamu gak perhatikan.” keluh Hanif karena memang istrinya itu hanya menatap dengan tatapan kosong.

Zayna menarik nafasnya, “Buna dari tadi liatin kalian main basket lho. Keren!” balas Zayna melihatkan senyumnya ke arah Hanif dan putri kecilnya.

“Buna, tapi tadi aku tama yayah main bwasket na nda benel.”

Zayna menatap ke arah Hanif dan ia sedikit kebingungan. “T-tapi segitu juga udah keren lho, Zee.”

Zayna bangkit dari duduknya, “Udah mau malem. Ayo sekarang kita pulang aja ya? Zee mau buna gendong?” tawar Zayna sembari memberikan lengannya kepada Zarina.

“Nda, nanti dede dipeyut buna sakit.” Zayna tersenyum dengan pernyataan putri kecilnya itu. Sekarang Zarina bisa mengerti keadaan Zayna yang sedang hamil besar.

“Sini sama yayah.” Sekarang giliran Hanif yang menawarkan kepada Zarina. Zarina tidak menolak, ia justru terlihat sangat senang.

“Buna kenapa?” tanya Hanif ketika sadar istrinya itu hanya terdiam sedari tadi.

“Yayah, Zee nau tulun!” Zarina berlari kecil didepan kedua orang tuanya. Membiarkan keduanya saling berbicara.

Hanif perlahan menggenggam tangan mungil milik Zayna. Perlahan genggaman itu semakin erat dan membuat Zayna mengarahkan pandangannya ke arah Hanif.

“Kalau ada sesuatu yang buat kamu berat hari ini. Cerita sama saya.” ucap Hanif.

Zayna kini beralih dengan memeluk lengan kanan milik Hanif. Sambil berjalan, kepalanya ia sandarkan dibahu Hanif. Tanpa sadar air matanya mulai menetes. Sesegera mungkin tangan kekar itu mengusap pipi yang kini mulai basah.

“Cantik, seberat apapun masalah yang kamu hadapi sekarang. Kamu bisa bagi itu juga ke saya. Biar kita sama-sama cari jalan keluarnya. Kamu itu perempuannya saya, perempuan yang harus saya bahagiakan. Kalau kamu bahagia, saya juga bahagia. Tapi kalau kamu sakit, saya juga ikut sakit. Hati saya juga sakit kalau melihat kamu sedih seperti ini. Sekarang cerita sama saya, hari ini kenapa cantiknya saya cemberut terus?”

Iya, kata-kata manis itu selalu membuat Zayna luluh karenanya. Hanif yang selalu bersikap lembut dan semanis itu. Membuat Zayna yakin, bahwa laki-laki ini tidak akan tega meninggalkan dirinya sendirian demi perempuan lain.

“Mas, kalau misal ada orang yang lebih dari aku terus kamu tertarik sama dia. Gimana?” tanya Zayna dengan suara yang mulai sedikit serak.

“Itu harus saya jawab?” tanya Hanif, Zayna mengangguk.

“Saya menikahi kamu itu, karena saya maunya kamu. Saya maunya Zayna Jumayra Naseeba. Saya maunya perempuan yang sudah ditakdirkan sebagai pelengkap kekurangan saya. Saya maunya perempuan yang sekarang ada disamping saya, sedang menangis disandaran saya. Kamu, Zayn. Mau sebanyak apapun nanti perempuan yang lebih sempurna dari kamu. Kalau Allaah dan saya maunya kamu, ya saya bisa apa?”

“Jujur, saya tidak mampu untuk menduakan kamu, Zayn. Karena memang hati saya ini hanya milik kamu. Kamu yang akan selalu tersimpan disini. Jangan ada perempuan lain yang menjadi milik saya. Selain umi, kamu, dan putri kecil kita. Tidak akan pernah, cantik.” lanjut Hanif.

Zayna menangis semakin menjadi-jadi. Tangannya sibuk mengusap pipi yang terus basah karena air matanya yang mengalir.

“Kamu punya aku!” balas Zayna dengan suara yang terdengar seperti anak kecil.

“Iya saya punya kamu, kamu punya saya dan akan selalu milik saya. Sekarang jangan sedih lagi. Kita harus cepat sampai rumah ya?”

“Kenapa?” Zayna semakin mengeratkan dekapannya dilengan Hanif.

“Perempuan saya kan lagi sedih. Harus cepat-cepat dipeluk. Bisa saja kita pelukan disini. Tapi, memang kamu mau?” goda Hanif yang membuat senyum itu terukir kembali.

“Di rumah aja.” balas Zayna. Hanif mengecup manis pucuk kepala milik perempuannya itu. Dan, genggamannya itu semakin ia eratkan.

©morkihacoy

Hanif perlahan membuka pintu utama rumahnya. Ia sangat hati-hati karena takut anak perempuannya atau istri tercintanya itu sedang beristirahat.

Ditangannya, ia membawa sebuah kantung plastik yang berisikan sate untuk Zayna. Namun, tadinya akan ia simpan didalam lemari es dan keesokan harinya ia akan menghangatkannya kembali.

Ternyata, istrinya itu sedang bersantai didepan televisi sembari memakan sebuah cemilan ringan ditangannya.

“Assalamu'alaikum,” ucap Hanif seraya memeluk dan mencium Zayna.

“Wa'alaikumussalam,” balas Zayna.

“Saya kira kamu sudah tidur sama Zee. Ini satenya.” tawar Hanif lalu netranya menatap wajah Zayna. Berharap mendapat senyuman cantik karena sudah memberikan apa yang istrinya itu inginkan.

“Lukman gak pake sarung kan?” tanya Zayna dengan tatapan tajam ke arah Hanif.

“Ngga, ini fotonya.” Hanif menunjukan sebuah foto seseorang dengan pakaian baju koko, kopeah hitam, dan tidak lupa dengan celana pendek yang sedang orang itu kenakan.

“Mau makan sekarang?” lanjut Hanif lalu melangkah kakinya menuju ke arah dapur, namun langsung dihentikan oleh jawaban dari istrinya.

“Gak usah!”

“Lho, mau buat besok saja satenya?” tanya Hanif kembali menghadap ke arah Zayna.

“Ngga, cuma mau liat aja sate buatan Lukman. Tapi, kalau kamu mau makan, tinggal makan aja. Aku gak mau.” jelas Zayna memudarkan senyum milik Hanif.

Hanif memutarkan bola matanya seraya tersenyum paksa dihadapan Zayna. “Oke, gak apa-apa demi kamu.” ujarnya menahan emosi.

Setelah perbincangan tersebut, Hanif segera membersihkan tubuhnya yang sudah sangat legket karena keringat. Walaupun sebenarnya, ia tidak memiliki bau badan seperti, tidak memakai wewangian ataupun jarang mandi. Namun, Zayna akan selalu menganggapnya bau. Iya, akhir-akhir ini sikap istrinya itu berubah 180° dari biasanya.

Hanif sengaja tidak memakai kaos tidur dan membiarkan dada bidangnya itu bisa terlihat oleh Zayna. Zayna yang sedang fokus membaca buku, kini beralih ke arah sosok pria dengan gestur tubuh tinggi yang berada disampingnya sekarang.

“Pake baju!” pinta Zayna.

“Wangi gak?” Hanif malah bertanya.

“Bau.” balas Zayna singkat. Kini tubuh itu sedikit menjauh dari Zayna dan sesekali menciumi bau badannya. Walaupun, ternyata yang ia hirup adalah wangi dari sabun yang tadi ia pakai ketika mandi.

“Ngga bau,” gumamnya pelan.

“Zee kemana, bun?” lanjutnya ketika sadar tidak ada kehadiran anak perempuannya itu.

“Mau tidur di rumah Umi. Soalnya, dia besok mau ikut sama santri-santri senam.” balas Zayna.

“Lho, berarti dari tadi saya di Pesantren. Ada Zee disana?” tanya Hanif kebingungan. Zayna hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari suaminya itu.

“Berarti, boleh dong peluk cium?” goda Hanif seraya mendekatkan wajahnya ke arah wajah Zayna yang sibuk membaca buku.

“Boleh,” Zayna tidak menolak.

Perlahan wajah itu saling mendekat. Hanif berhasil mencium benda kenyal yang selalu menjadi spot favorite nya itu. Namun, baru saja beberapa detik ia akan melanjutkan kegiatannya. Zayna mendorong dengan keras tubuh Hanif sehingga lebih menjauh darinya.

“IH KOK CIUM AKU?” bentak Zayna yang sontak membuat Hanif terkejut.

“Kan tadi aku udah izin?” Hanif menjawab dengan nada suara yang sedikit bergemetar. Karena, memang baru kali ini ia melihat dan mendengar istrinya semarah itu.

“GAK SOPAN!” Kini Zayna beranjak dari duduknya dan pergi keluar kamar meninggalkan Hanif yang masih kebingungan.

“Saya kan suami kamu.” gumamnya pelan, lalu mengikuti langkah tubuh yang kini sedang berisi anak keduanya itu.

“Aku kan udah izin, sayang.” Lagi-lagi suara serak itu terdengar ditelinga milik Zayna. Zayna menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arah Hanif.

“Iya ya?” tanya Zayna kebingungan. Lalu membalik badannya untuk kembali menuju kamar.

“Mau kemana lagi?” ujar Hanif yang sudah benar-benar pusing dengan tingkah laku istrinya itu.

“Ke kamar lah! Katanya mau cium?”

“Oh iya, ayo!” Iya, kini dengan jawaban yang Zayna berikan membuat senyumnya terukir kembali.

Walaupun, ia tidak biasa dengan sikap baru dari istrinya. Ia akan tetap menanggapinya dengan sabar. Iya, selalu terbisik ditelinganya, “Demi kamu, Zayna.”

©morkihacoy

Hanif terbangun dari tidurnya, lalu matanya beralih ke arah jam digital yang ada di atas meja samping ranjangnya. Ia beranjak bangun dari tidurnya. Namun, baru saja melangkahkan kakinya, suara kecil itu memanggilnya.

“Yayah,” panggil Zarina ketika tahu Ayahnya itu sudah bangun.

“Zee bobo lagi saja, nak.” pinta Hanif menyuruh Zarina agar melanjutkan tidurnya. Namun, anak kecil itu malah merentangkan tangannya, meminta Hanif untuk cepat menggendongnya.

“Yayah mau sholat. Zee mau sholat juga?” tawar Hanif, lalu mendapat anggukan dari anak perempuannya.

Walaupun Zarina masih sangat kecil. Namun, ajaran Hanif dan Zayna mudah teringat dalam ingatannya. Bagaimana cara berwudhu dan sholat yang baik dan benar. Meskipun, masih belum sesempurna itu.

Hanif memakaikan mukena kecil milik Zarina. Ia menghamparkan sejadah didepan putrinya itu. Tak lama bibirnya mengucap takdir.

Selesai menunaikan sholat tahajjudnya. Zarina masih terduduk manis seraya memperhatikan Ayahnya yang masih fokus berdzikir. Perlahan tangan kecil itu terangkat dan bibirnya mulai bergumam.

“Ya Allaah, Zee kemalin liat Adam sama Jihan punya dedek bayi balu. Bayi na cowo. Zee juga nau puna dedek bayi cowo kaya Adam sama Jihan. Zee nau puna temen main biyar nanti Zee bisa main baleng-baleng di kantol na buna. Aamiin...” Iya, ternyata suara lembut itu sedang meminta sesuatu kepada Tuhannya.

Hanif sadar akan hal itu, ia langsung fokus kepada Zarina yang masih mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya. Ia menghampiri tubuh kecil itu dan mendekapnya perlahan.

“Zee mau punya dedek bayi?” tanya Hanif seraya menatap mata bulat kecokelatan itu. Zarina mengangguk.

“Yayah, kalau Zee cudah minta dedek bayi na tadi. Nanti pagi apa dedek bayi na cudah ada didepan lumah kita?” Zarina dengan polosnya menanyakan itu kepada Hanif. Hanif tertawa mendengar itu.

Putrinya kini sudah sangat besar dan semakin pintar.

Adzan subuh berkumandang, Zarina menghampiri ibunya yang masih terlelap dalam tidurnya.

Ia menggoyang-goyangkan tubuh Zayna, “Buna ayo kita cholat duwu!” ucap Zarina yang masih belum bisa fasih ketika berbicara.

Zayna perlahan membuka matanya. “Zee sayang, sudah bangun?” tanya Zayna karena melihat putrinya itu sudah siap untuk melaksanakan sholat.

Ketiganya selesai berdoa, masih dengan kalimat yang sama. Zarina terus saja memohon untuk bisa memiliki adik baru. Zayna sebenarnya mendengar doa yang Zarina ucapkan sehabis sholat tahajjud. Ia masih dalam masa pemulihan. Maka dari itu, ia tidak ikut sholat bersama suami dan putrinya itu.


Zayna menyiapkan sarapan pagi dihari minggunya. Seperti biasa Hanif dan Zayna selalu memilih libur dihari minggu agar bisa meluangkan waktu bersama putri kecilnya.

“Buna, Zee boleh ke lumah Adam cama Jian?” Zarina turun dari meja makan, lalu berlari keluar untuk bermain bersama tetangga di samping rumahnya. Zayna mengangguk seraya menampakan senyumnya kepada Zarina.

Tangannya membereskan beberapa piring kotor yang sudah mereka pakai dan mencucinya. Hanif menghampiri perempuannya dan memeluknya dari belakang.

“Zee katanya mau adik baru.” bisik Hanif ditelinga Zayna.

“Terus?” tanya Zayna pura-pura tidak paham dengan maksud Hanif.

“Mau?” tanya Hanif kembali.

“Lagi red day. Kapan-kapan aja, ya?” Selesai membersihkan piring-piring itu. Zayna mencium sekilas pipi Hanif, lalu pergi meninggalkan Hanif sendirian.

“Zayn, tapi ini bukan tanggalnya.” gumam Hanif ketika bayangan istrinya itu sudah tidak terlihat lagi.

Hanif tahu betul kapan istrinya datang bulan. Meskipun terlalu cepat ia juga tahu, karena ada beberapa sikap yang berubah dari Zayna. Namun, hari ini tidak. Ia merasa Zayna sedang tidak dapat. Dan mungkin, Zayna mencoba menghindarinya.

©morkihacoy

Hanif melipat sajadah yang selalu ia bawa ketika berpergian keluar rumah. Dari kejauhan ada sosok pria dikursi ujung lorong sedang memperhatikannya, lalu perlahan melangkah ke arah Hanif.

Pria itu menepuk bahu milik Hanif, “Maaf sebelumnya, saya boleh duduk disini?” tanya pria itu. Hanif mengangguk dan tersenyum manis menjawab pertanyaannya.

“Oh iya, perkenalkan nama saya Rasyid.” lanjut pria yang ternyata bernama Rasyid.

“Hanif,” balas Hanif seraya membalas salam tangan dari Rasyid.

“Anu, kenapa kamu sholat disini? Bukannya ada Mushola, ya?” tanya Rasyid penasaran. Karena memang itu menarik perhatiannya. Hanif sholat disamping kursi tunggu didepan kamar Zayna dirawat. Entah apa yang ada dipikiran Hanif, sehingga ia memilih untuk beribadah ditempat itu.

“Oh, istri saya lagi sakit. Kalau saya sholat di Mushola, saya takut nanti istri saya merasakan sakit atau meminta bantuan saya tidak ada disampingnya. Kalau saya sholat didalam, saya takut menganggu istri saya istirahat, kasihan.” Jelas Hanif membuat Rasyid sedikit terkagum dengan ucapan yang Hanif lontarkan. Iya, sangat kagum melihat pria lain yang begitu mencintai istrinya sendiri.

“MasyaAllaah, saya kagum sama kamu. Oh iya, kamu kalau tidak salah ustadz pemilik Pesantren Al-Assalam, ya?” tanya Rasyid yang tidak asing dengan wajah Hanif.

Hanif tersenyum, lalu menunduk. “Bukan milik saya, itu milik ayah istri saya. Saya hanya disuruh menggantikan untuk mengurus Pesantren itu.” jelas Hanif.

“Loh, bukannya kamu juga anak Habib Samir?” Rasyid bertanya kembali.

“Iya, tapi Pesantren abi saya itu masih diurus oleh beliau.” balas Hanif. Rasyid hanya mengangguk paham.

“Kalau begitu, saya izin pamit, ya? Mau beli makanan keluar.” Kini Hanif mulai beranjak dari duduknya dan pamit kepada Rasyid. Rasyid tersenyum dan mempersilahkan Hanif pergi.

Harusnya saya juga seperti itu,” batin Rasyid.


Hanif membuka kantung belanjaannya dan memberikan salah satu minuman kepada istrinya.

“Lama banget!” protes Zayna.

“Maaf, tadi ada mas-mas ajak ngobrol saya. Kasihan dia sendirian.” balas Hanif perlahan tangannya menyuapi sesuatu kepada Zayna. Zayna menggeleng, menolak pemberian dari Hanif.

“Harus makan, biar sembuh.” pinta Hanif dengan nada sedikit meninggi. Melihat suaminya yang sepertinya akan marah jika ia tidak makan. Mau tidak mau, Zayna harus membuka mulutnya.

“Badan aku lengket banget belum mandi.” Zayna mengusap-usap keringat yang keluar dari belakang tengkuknya.

“Mau saya lap pakai air hangat? Biar nanti tidurnya nyenyak.” tawar Hanif lalu keluar untuk meminta handuk juga air hangat kepada suster.

Zayna tersenyum, tanpa diminta apapun. Laki-lakinya itu selalu tahu apa yang dia inginkan.

Hanif kembali dengan tanganya yang membawa handuk juga air hangat untuk Zayna. Tanganya mulai membuka kerudung yang Zayna kenakan. Ia mengusap wajah pucat itu dengan handuk tadi.

“Kamu baru beberapa hari sakit aja, sudah kurusan badannya. Saya bilang juga apa, kan? Sesibuk-sibuknya kamu melayani permintaan client -client kamu. Harus tetap makan, minum juga yang banyak. Kamu itu suka lupa semua kalau sudah sibuk. Kayak saya dong, sibuk-sibuk juga harus makan. Apa aja dimakan walaupun cuma sedikit.” Hanif mulai mengoceh dan ya, Zayna hanya memutar matanya karena mendengar ocehan suaminya itu.

“Iya, bawel.” balas Zayna.

Selesai membersihkan tubuh Zayna. Hanif baru akan memulai makannya. Ia sebenarnya sedari tadi ia sedang menahan lapar. Tapi, melihat Zayna yang sulit untuk makan. Maka, ia harus memaksanya dan menyuapi Zayna agar mau.

Kini Zayna sudah terlelap dalam tidurnya. Walaupun wajahnya begitu pucat, cantiknya tidak hilang. Hanif menciumi seluruh sudut yang ada pada wajah pucat itu. Ia masih khawatir dengan kondisi istrinya. Walaupun, menurut dokter kondisi Zayna kian membaik. Tapi, wajah milik istrinya itu tidak bisa berbohong. Zayna terlihat sangat kesakitan. Tubuhnya yang selalu lemas, bahkan untuk duduk saja perlu Hanif bantu.

“Sembuh ya, cantik?” Ia tidur dikursi samping ranjang. Hanif sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya itu. Maka, apapun itu akan dia lakukan, walaupun dirinya juga yang akan merasa sakit.

©morkihacoy

18+ sedikit

Hanif membuka pintu mobil untuk Zayna. Zayna masuk begitu saja tanpa melirik Hanif sedikit pun.

“Kenapa?” tanya Hanif heran melihat raut wajah istrinya itu.

“Lama!” cetus perempuannya.

“Maaf,”

“Tadi selesain dulu kerjaannya, biar bisa pacaran sama kamu.” lanjut Hanif dengan wajah sedikit memelas. Zayna yang tidak tahan dengan tingkah menggemaskan dari suaminya itu, langsung mencium pipi kiri Hanif. Pria itu seketika mengembangkan senyumnya.

“Mau mampir kemana dulu?” tanya Hanif seraya menyalakan mesin mobilnya.

“Ke... kemana, ya?” balas Zayna kebingungan.

“Kalau gak mau kemana-mana, ya langsung pacaran aja di rumah.” ujar Hanif. Zayna hanya terdiam.

Mobilnya ia lajukan dengan kecepatan sedang. Bandung saat itu, baru saja diguyur hujan deras dan suasananya selalu khas. Pedagang-pedagang dipinggir jalan tengah sibuk membereskan barang jualannya sebelum kota itu semakin ramai, karena banyak orang yang sering keluar pada malam hari. Sekedar untuk jalan-jalan atau menongkrong ditepi jalan raya.

Mesin mobil itu, Hanif matikan ketika sudah sampai dikediamannya. Sepi, kadang Zarina selalu paling heboh jika sudah sampai rumah. Tapi, khusus malam ini, putri cantiknya itu mereka titipkan kepada umi Farrah.

Zayna menyiapakan baju sebelum Hanif bersiap-siap untuk masuk ke kamar mandi. Ia, menyodorkan handuk putih kepada Hanif. Hanif membalasnya dengan satu kecupan dikening milik Zayna.

Selesai Hanif mandi, kini bergantian dengan Zayna. Hanif menunggu istrinya selesai bersih-bersih untuk melaksanakan sholat isya berjama'ah.

“Aamiin Allahumma Aamiin...” ujar Hanif kala menyelesaikan doanya diikuti dengan Zayna.

Hanif memundurkan posisinya, lalu berebahkan kepala dari arah depan keatas paha Zayna. Tangan mulus itu menyambut rambut hitam milik suaminya.

“Sudah lama ya, tidak pacaran.” Hanif membuka pembicaraan. Zayna mengangguk pelan.

Hanif bangkit dari tidurnya dan menghadap kearah Zayna. Iya, netranya saling bertemu. Kini wajah itu mendekat ke wajah milik istrinya. Zayna memejamkan matanya sejenak dan satu kecupan lolos mendarat diatas bibir Zayna.

Hanif memeluk tubuh itu, tubuh yang selalu ia rindukan kehangatannya. “Kangen peluk kamu.” ujar Hanif.

Zayna membalas pelukan itu, “Iya, aku juga.” balasnya.

“Gak apa-apa ya, Zee. Bunanya yayah pinjem dulu sehari penuh. Mau yayah peluk biar gak cemberut terus.” gumannya, seolah-olah Zarina ada di sampingnya. Zayna tersenyum.

“Tiga tahun sibuk sama kerjaan masing-masing. Jarang lagi kayak gini, ya?” tanya Hanif yang masih memeluk tubuh Zayna.

Kini, posisinya beralih kembali seperti semula. Ia membuka mukena yang Zayna kenakan. Perlahan tangannya mengelus surai rambut panjang itu.

“Cantik,” gumamnya.

“Masih kayak dulu, gak pernah berubah.”

“Cantiknya, sifatnya, rasa sayang saya ke kamu juga gak pernah berubah. Ini juga,” goda Hanif kala menunjuk bagian favoritenya yang ada pada diri Zayna. Bibir tipis dengan warna merah muda.

“Kamu juga, gantengnya, baiknya, nyebelinnya, kaya buayanya. Gak pernah berubah!” balas Zayna sembari mencubit-cubit pelan hidung Hanif.

Hanif menggendong tubuh ramping milik Zayna. Ia, memindahkannya keatas ranjang tempat mereka melepas penat ketika melewati hari yang melelahkan.

“Sekarang pacarannya peluk aja, ya? Setahun lagi baru sambil bikin adik buat Zarina.” Lagi-lagi Hanif menggoda Zayna.

“Ih, apasih!” protes perempuannya.

©morkihacoy

Hanif menggenggam tangan kecil putrinya. Dan matanya fokus ke arah perempuan cantik didepan sana. Zarina menarik-narik tangan Hanif.

“Yayah, Gendong!” pintanya seraya mengangkat kedua tangannya. Hanif tersenyum melihat tingkah lucu si kecil.

Kini langkahnya, ia sejajarkan dengan tubuh Zayna. Sadar akan hal itu, Zayna langsung melihat ke arah Hanif dan Zarina.

“Ih, manja banget minta digendong!” protes Zayna seraya mencubit pelan hidung Zarina.

“Yayah, tuwun-tuwun!” Zarina mengoyang-goyangkan kakinya meminta Hanif untuk menurunkannya.

Zarina langsung berlari ke arah danau ditengah taman kota. Ia mengejar kupu-kupu cantik yang sedari tadi menarik perhatiannya. Hanif menghampiri Zayna yang sedari tadi hanya terdiam.

Tangannya menggenggam tangan milik Zayna, “Kenapa?” tanya Hanif. Zayna menggeleng.

“Tadi katanya mau jalan-jalan? Tapi, kok malah cemberut gitu?” lanjut Hanif.

“Salah ya, kalau aku bahagia sama kamu?” ujar Zayna membuat Hanif ngerutkan keningnya.

“Kenapa bicara seperti itu?” Hanif mengelus lembut pipi kemerahan milik istrinya itu. Dan benar saja, air mata itu keluar dari kedua mata Zayna.

“Hei, kenapa nangis, cantik?” Hanif mengusap air mata itu.

“Harusnya bukan aku sama kamu yang ada disini sekarang. Harusnya bukan aku yang jadi perempuannya kamu. Aku disini cuma jadi penghancur buat orang lain. Aku jahat, ya?” Zayna menatap mata teduh itu.

“Ngga, kamu gak salah. Karena semesta saya itu, kamu. Dunianya saya juga kamu. Surganya saya juga bersama kamu. Kamu gak pernah jadi penghancur untuk orang lain. Justru kamu sumber kebahagiaan saya juga orang disekitar kamu. Jangan nangis! Makin cantik soalnya.” Zayna mencubit pelan perut Hanif karena kalimat terakhir yang Hanif ucapkan.

“Dua bunga saya sudah tumbuh dengan baik. Tapi, mungkin saya belum bisa menjaganya dengan baik. Kamu dan Zarina adalah anugrah dari Allaah yang paling saya syukuri. Kamu yang akan selalu menjadi pelengkap dengan kekurangan yang saya punya. Kalian lebih sempurna dari seribu bulan di semesta ini. Jangan pernah berpikir bahwa kamu salah. Kamu sama sekali gak salah atas penderitaan orang lain. Justru orang itu yang membuat diri sendirinya menderita dan berpikir bahwa itu semua kesalahan dari orang yang ada disekitarnya. Senyum, ya? Saya juga sakit kalau melihat cantiknya saya ini menangis. Lihat kedepan, jangan kembali lagi ke masa lalu. Jangan takut, karena tubuh saya akan siaga menjaga kamu dari jahatnya orang diluar sana.” jelas Hanif menyakinkan Zayna. Ia memeluk perempuannya. Memberikan kehangatan yang terpancar dari rasa cintanya kepada Zayna.

Iya, pelukan sederhana itu selalu membuat Zayna lagi dan lagi jatuh untuk kesekian kalinya kepada Hanif. Pria yang akan selalu berada didepan untuk mengusap tangisnya, juga yang akan selalu menjadi yang pertama untuk mengukir senyum dibibirnya.

©morkihacoy

Hari menunjukkan pukul 01.35 WIB. Hanif dan Zayna sudah tertidur lelap, begitu juga dengan si kecil Zarina. Hanif memeluk tubuh Zayna dari belakang. Sejak seminggu lalu, waktu tidurnya menjadi tidak teratur. Karena Zayna masih dimasa pemulihan setelah operasi. Hanif yang jadi menggantikan posisi Zayna. Jika Zarina menangis, ia yang akan selalu menggendongnya juga membuat susu asi yang sudah Zayna siapkan dari dalam kulkas.

Suara tangis itu seketika terdengar dikedua telinga Hanif dan Zayna. Mendengar itu, Hanif langsung beranjak dari kasurnya dan menghampiri anak pertamanya itu. Ia melihat ke arah popok dan benar saja bayinya itu sudah buang air kecil. Zayna paham akan hal itu dan langsung menghampiri Hanif.

“Maaf ya, kalau soal ini saya gak bisa urus. Soalnya anak pertama kitakan perempuan.” ujar Hanif merasa kasihan karena mengganggu jam tidur Zayna. Zayna hanya tersenyum ke arah Hanif.

Ia langsung menganti popok bayinya itu, “Aduh, bayi cantiknya Buna sama Ayah kenapa nangis? Pipis ya?”

Selesai mengganti popoknya, Zarina tetap tidak mau berhenti menangis. Hanif langsung mengendong anak perempuannya itu. Dan seperti biasa, didekapan sang ayah, Zarina selalu tenang. Karena memang begitu, pelukan Hanif itu sangat candu jika menurut Zayna.

“Ini mah sama kaya Bunanya. Mau dipeluk terus!” ejek Hanif seraya melihat Zayna yang terduduk dipinggir ranjang.

“Tidur sana!” pinta Hanif.

“Kamu?” Zayna terlihat ragu ketika Hanif menyuruhnya untuk istirahat terlebih dahulu.

“Saya nyusul.” balas Hanif lalu menggendong Zarina keluar kamar.

Setelah selesai menidurkan Zarina. Hanif kembali menghampiri istrinya dan ikut tertidur disamping Zayna. Tangannya melingkar dipinggang milik Zayna dan ia selalu menciumi tengkuk istrinya itu sebelum tidur.

“Maaf ya, kamu jadi harus bangun malem. Terus Zarina kalau disurub bobo suka lama.” Iya, ternyata sedari tadi Zayna tidak tidur. Ia menunggu suaminya kembali.

“Gak apa-apa, cantik. Sekarang tidur ya? I love u.” balas Hanif dengan mata yang tertutup.

“More.”

*©morkihacoy