Cantiknya Ayah
Sedari tadi tubuh milik Zayna tidak bisa diam. Sadar akan ranjang yang setiap saat terus bergoyang membuat Hanif membukakan matanya. Padahal, hari ini ia sangat lelah karena ada pekerjaan tambahan. Melihat Zayna yang terus berguling kesana-kemari. Hanif memeluk tubuh itu.
“Kenapa? Gerah?” tanya Hanif. Biasanya semenjak Zayna Hamil, ia selalu siap dengan ac kamar yang harus menyala. Karena semakin perutnya membesar membuat Zayna semakin sulit bernafas, juga mudah berkeringat. Dan itu sedang terjadi sekarang pada Zayna.
“Sakit,” keluh Zayna sembari meremas perutnya perlahan.
Mendengar itu Hanif langsung beranjak bangun dari posisi tidurnya. Ia sangat panik ketika Zayna menunjuk bagian perutnya. Beruntungnya, malam ini mereka menginap dikediaman orang tua Zayna. Hanif membuka pintu kamar dengan panik dan mencoba membangunkan penghuni rumah yang masing-masing tengah sibuk dengan mimpinya.
tuk tuk
“Assalamu'alaikum, abi, umi,” ujarnya seraya mengetuk pintu kamar milik Faiz dan Farrah. Mendengar itu Farrah langsung membukakan pintunya dan mendapati menantu satu-satunya itu yang langsung memperlihatkan wajah panik.
“Wa'alaikumussalam, kenapa, Hanif?” tanya Farrah ikut merasa panik.
Hanif segera mengajak Farrah menuju kamar yang dulu sempat pernah ia tinggali bersama istrinya itu. Iya, Zayna masih dengan posisi yang sama. Farrah langsung menghampiri putrinya yang sedang merasa kesakitan tersebut.
“Sakit, nak? Mana sayang? Kita ke Rumah Sakit sekarang ya?” tanya Farrah panik.
Disusul sekarang dengan Faiz dan Nizam yang mendengar kegaduhan dari kamar Zayna. Mereka juga ikut panik. Nizam menyiapkan mobil, Faiz yang sibuk dengan ponselnya memberitahu kerabat sekitar, juga Hanif dan Farrah yang sibuk membantu Zayna untuk berjalan menuju lantai bawah.
“Kuat? Saya gendong ya?” tawar Hanif. Zayna menggeleng.
Zayna meremas setiap benda yang ada didekatnya. Sesekali menggigit bibirnya sendiri untuk menahan rasa sakit. Hanif yang selalu berada disampingnya pun mengorbankan tangannya ketika Zayna kini menyalurkan rasa sakitnya kepada dirinya.
Setengah jam sudah mereka melewati perjalanan menuju Rumah Sakit. Akhirnya, sampai. Nizam keluar lebih dulu menyuruh suster yang ada disana untuk segera membantunya. Roda ranjang Rumah Sakit terdengar sangat nyaring ketika beberapa orang mendorongnya untuk menuju ke ruang operasi. Nyatanya, setelah diperiksa kembali. Zayna harus melahirkan dengan cara operasi caesar. Karena ternyata bayi yang ada didalam perutnya itu memiliki berat badan lebih besar dibanding bayi pada umumnya.
Hanif ikut masuk untuk menemani istrinya bersalin. Suara mesin monitor mulai mengelilingi keadaan sekitar. Lampu perlahan mulai menyala. Kepala dan badan bagian bawah diberi pembatas agar Zayna tidak bisa melihat proses operasi. Dokter mulai menyuntikan obat bius kepada Zayna. Walaupun, sangat berpengaruh pada kesadaran Zayna. Obat tersebut tidak dapat melelapkan matanya.
Tangan kanan dan bibirnya sibuk berdzikir. Begitu juga dengan Hanif yang terus mengelus-elus keningnya, juga sesekali mencium. Batinnya tidak pernah berhenti untuk meminta pertolongan kepada Sang Rabb.
Tidak butuh waktu lama, suara bayi menangis begitu nyaring mengisi setiap sudut ruangan. Sekujur tubuh Hanif merinding, tangannya bergetar ketika untuk pertama kalinya mendengar tangis putri kecilnya.
“Nangis, ya?” tanya Zayna yang masih seratus persen belum benar-benar sadar. Hanif mengangguk, mencium kening istrinya yang sudah berjuang sangat keras untuk bertahan hingga saat ini.
“Terima kasih, ya? Terima kasih, cantik.” ujarnya kembali menciumi kening milik Zayna.
Para Suster yang membantu Dokter dalam menjalani persalinan mulai memindahkan bayi kecil itu. Membersihkan dari darah juga kotoran yang penuh karena air ketuban.
Cantik, cantik sekali. Suster itu mulai menyerahkan bayi dari dekapannya kepada Hanif. Dengan tangan yang sangat gemetar. Perlahan ia mulai menimang putri kecilnya itu. Karena Zayna yang masih dalam pengaruh obat bius, juga Dokter yang masih sibuk menyelesaikan operasinya. Suster itu memberikan terlebih dahulu kepada ayahnya.
Hanif mengucap doa ditelinga sang anak dan mulai mengucap adzan setelahnya, “Allaahu Akbar Allaahu Akbar“
Ia kembali menangis, senang sekaligus sedih bercampur aduk saat ini.
“Cantik, seperti kamu Zayna.” bisiknya disela-sela tangis bahagia itu.
©morkihacoy