morkihacoy

Sedari tadi tubuh milik Zayna tidak bisa diam. Sadar akan ranjang yang setiap saat terus bergoyang membuat Hanif membukakan matanya. Padahal, hari ini ia sangat lelah karena ada pekerjaan tambahan. Melihat Zayna yang terus berguling kesana-kemari. Hanif memeluk tubuh itu.

“Kenapa? Gerah?” tanya Hanif. Biasanya semenjak Zayna Hamil, ia selalu siap dengan ac kamar yang harus menyala. Karena semakin perutnya membesar membuat Zayna semakin sulit bernafas, juga mudah berkeringat. Dan itu sedang terjadi sekarang pada Zayna.

“Sakit,” keluh Zayna sembari meremas perutnya perlahan.

Mendengar itu Hanif langsung beranjak bangun dari posisi tidurnya. Ia sangat panik ketika Zayna menunjuk bagian perutnya. Beruntungnya, malam ini mereka menginap dikediaman orang tua Zayna. Hanif membuka pintu kamar dengan panik dan mencoba membangunkan penghuni rumah yang masing-masing tengah sibuk dengan mimpinya.

tuk tuk

“Assalamu'alaikum, abi, umi,” ujarnya seraya mengetuk pintu kamar milik Faiz dan Farrah. Mendengar itu Farrah langsung membukakan pintunya dan mendapati menantu satu-satunya itu yang langsung memperlihatkan wajah panik.

“Wa'alaikumussalam, kenapa, Hanif?” tanya Farrah ikut merasa panik.

Hanif segera mengajak Farrah menuju kamar yang dulu sempat pernah ia tinggali bersama istrinya itu. Iya, Zayna masih dengan posisi yang sama. Farrah langsung menghampiri putrinya yang sedang merasa kesakitan tersebut.

“Sakit, nak? Mana sayang? Kita ke Rumah Sakit sekarang ya?” tanya Farrah panik.

Disusul sekarang dengan Faiz dan Nizam yang mendengar kegaduhan dari kamar Zayna. Mereka juga ikut panik. Nizam menyiapkan mobil, Faiz yang sibuk dengan ponselnya memberitahu kerabat sekitar, juga Hanif dan Farrah yang sibuk membantu Zayna untuk berjalan menuju lantai bawah.

“Kuat? Saya gendong ya?” tawar Hanif. Zayna menggeleng.

Zayna meremas setiap benda yang ada didekatnya. Sesekali menggigit bibirnya sendiri untuk menahan rasa sakit. Hanif yang selalu berada disampingnya pun mengorbankan tangannya ketika Zayna kini menyalurkan rasa sakitnya kepada dirinya.

Setengah jam sudah mereka melewati perjalanan menuju Rumah Sakit. Akhirnya, sampai. Nizam keluar lebih dulu menyuruh suster yang ada disana untuk segera membantunya. Roda ranjang Rumah Sakit terdengar sangat nyaring ketika beberapa orang mendorongnya untuk menuju ke ruang operasi. Nyatanya, setelah diperiksa kembali. Zayna harus melahirkan dengan cara operasi caesar. Karena ternyata bayi yang ada didalam perutnya itu memiliki berat badan lebih besar dibanding bayi pada umumnya.

Hanif ikut masuk untuk menemani istrinya bersalin. Suara mesin monitor mulai mengelilingi keadaan sekitar. Lampu perlahan mulai menyala. Kepala dan badan bagian bawah diberi pembatas agar Zayna tidak bisa melihat proses operasi. Dokter mulai menyuntikan obat bius kepada Zayna. Walaupun, sangat berpengaruh pada kesadaran Zayna. Obat tersebut tidak dapat melelapkan matanya.

Tangan kanan dan bibirnya sibuk berdzikir. Begitu juga dengan Hanif yang terus mengelus-elus keningnya, juga sesekali mencium. Batinnya tidak pernah berhenti untuk meminta pertolongan kepada Sang Rabb.

Tidak butuh waktu lama, suara bayi menangis begitu nyaring mengisi setiap sudut ruangan. Sekujur tubuh Hanif merinding, tangannya bergetar ketika untuk pertama kalinya mendengar tangis putri kecilnya.

“Nangis, ya?” tanya Zayna yang masih seratus persen belum benar-benar sadar. Hanif mengangguk, mencium kening istrinya yang sudah berjuang sangat keras untuk bertahan hingga saat ini.

“Terima kasih, ya? Terima kasih, cantik.” ujarnya kembali menciumi kening milik Zayna.

Para Suster yang membantu Dokter dalam menjalani persalinan mulai memindahkan bayi kecil itu. Membersihkan dari darah juga kotoran yang penuh karena air ketuban.

Cantik, cantik sekali. Suster itu mulai menyerahkan bayi dari dekapannya kepada Hanif. Dengan tangan yang sangat gemetar. Perlahan ia mulai menimang putri kecilnya itu. Karena Zayna yang masih dalam pengaruh obat bius, juga Dokter yang masih sibuk menyelesaikan operasinya. Suster itu memberikan terlebih dahulu kepada ayahnya.

Hanif mengucap doa ditelinga sang anak dan mulai mengucap adzan setelahnya, “Allaahu Akbar Allaahu Akbar

Ia kembali menangis, senang sekaligus sedih bercampur aduk saat ini.

“Cantik, seperti kamu Zayna.” bisiknya disela-sela tangis bahagia itu.

©morkihacoy

“Nah, jadi, Rin. Kurang lebih penjelasannya tuh kaya gitu. Paham gak? Maaf ya, aku emang masih belajar juga.” Zayna menutup buku yang memiliki tebal lebih dari dua sentimeter yang digenggamnya.

“Ih mba, aku ngerti kok! Makasih ya mba, buat ilmu nya.” balas Karina seraya merapikan jilbab yang sedari tadi tidak nyaman saat ia memakainya.

Zayna mendekat kepada Karina. Tangannya mulai merapikan jilbab milik orang yang sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.

“Arin, aku boleh minta sesuatu gak?” tanya Zayna setelah selesai merapikan jilbab milik Karina. Karina tidak sama sekali menjawab. Namun, tatapannya tetap menghadap ke arah Zayna.

Zayna menundukkan kepalanya perlahan. “Disinikan yang bukan mahram itu, kamu dan suami aku. Aku boleh minta gak? Ya, sekalian belajar aja untuk pake hijab. Jangan sampai aurat kamu terlihat sama mas Hanif.”

Karina memutarkan matanya ke arah kanan. “Aku coba ya, mba?”

Bilang aja lo cemburu! batin Karina seraya menampakkan senyumnya dengan tidak ikhlas. Zayna hanya mengangguk.

Suara mesin mobil dari luar sana semakin mendekat ke arah rumah milik Zayna. Iya, seperti biasa. Suaminya itu baru saja pulang setelah selesai mengerjakan kewajibannya diluar sana. Tanpa basa-basi, perempuan yang kini sedang berbadan dua itu pun. Segera beranjak pergi dan meninggalkan Karina di ruang tengah sendirian. Nyatanya, Zayna akan pergi menyambut kepulangan suaminya itu.

“Mas,” ujarnya. Lalu, mencium tangan milik suaminya dan dilanjut dengan mencium spot lain. Begitu sebaliknya dengan Hanif.

Hanif dan Zayna memasuki rumahnya dan melihat sosok Karina yang masih terduduk diatas sofa ruang tengah. Dengan pakaian yang cukup menutup auratnya. Kini, Hanif tidak perlu membuang muka secara sengaja. Walaupun, sebenarnya selama ini ia tidak pernah menatap perempuan lain selain istrinya.

“Aku baru selesai ngajarin Karina!” Girang Zayna seraya melangkahkan kakinya menuju Karina.

“Alhamdulillaah,” balas Hanif tidak sama sekali menatap ke arah dua sosok perempuan yang ada dihadapannya itu. Ia lebih fokus membuka jam tangan yang sedari tadi melingkar dipergelangan tangannya.

“Lucu ya suasananya. Kaya istri muda dan istri tua lagi akur.” ceplos Karina diantara keheningan yang baru saja terjadi.

Hanif mengerutkan keningnya. Merasa tidak suka dengan kalimat yang baru saja keluar dari mulut perempuan itu.

“Ih, Karina tuh cuma becanda, mas!” Sela Zayna lalu tertawa karena menganggapnya sebagai gurauan semata. Perempuan itu juga ikut tertawa.

Hanif tidak peduli dengan perkataan dari Zayna. Kenapa istrinya itu malah membelanya, yang jelas-jelas semakin hari kelakuan Karina semakin menjadi-jadi.

“Loh, kok malah pergi?” tanya Zayna kala melihat tubuh suaminya itu mulai meninggalkan dirinya dengan Karina. Mereka malah lanjut menertawakan hal tadi.

©morkihacoy

ting tong

Suara bel rumah terdengar sangat nyaring dari dalam. Zayna yang sedang mengobrol bersama 'teman barunya' itu. Langsung beranjak dan menghampiri sumber suara tersebut. Seseorang telah pulang.

“Sebentar, ya?” ujar Zayna seraya menepuk pelan teman barunya itu.

“Hehe, ini namanya Karina.” Suara itu kembali terdengar kala Zayna yang sudah menyambut suaminya yang baru saja pulang itu. Mata Hanif tidak sama sekali melirik ke arah orang yang dimaksud istrinya itu.

“Hai, Hanif. Apa kabar?” Iya, itu adalah Karina. Teman baru Zayna sekaligus teman semasa kecil Hanif. Hanif terdiam sejenak.

“Alhamdulillaah baik,” balasnya dan langsung pergi meninggalkan Karina dan diikuti Zayna dibelakangnya.

Seperti biasa, perempuannya itu selalu menyediakan handuk dan pakaian ketika suaminya selesai pulang dari kegiatannya diluar. Hanif memenggang kedua pipi Zayna dengan tangannya. Lalu, mengecup-ngecup singkat bibir milik istrinya itu. Zayna hanya tersenyum, lalu segera menyuruh suaminya untuk cepat mandi. Sebelum itu, ia tidak pernah absen untuk mencium bayi kecil yang selalu ia tunggu kehadirannya di semesta ini.

Selesai mandi, Hanif melaksanakan sholat Isya bersama Zayna. Ia mulai meminta Zayna untuk bermurojaah dan sesekali membenarkan bacaan tajwidnya jika Zayna salah. Ia selalu melakukan ini setelah semua kegiatannya selesai. Iya, menarik sejadah milik istrinya agar mendekat dengan tubuh Hanif. Mungkin sekarang tidak bisa sedekat dulu. Karena, sekarang perut istrinya itu sudah mulai membesar dan kadang menghalangi Hanif untuk dapat memeluknya dari arah depan.

“Mau apa?” tanya Zayna kala wajah itu semakin mendekat ke arahnya.

Hanif mengangkat jari telunjuknya seraya berkata, “Sekali aja.”

“Ngga ah, aku jadi sesek nanti!” Zayna mencoba melarang Hanif. Tapi, apalah Hanif yang tidak akan menurut jika Zayna melarangnya untuk mengekspos semua yang ada pada diri istrinya itu.

cup

Satu kecupan mendarat dibibir Zayna. Iya, itu hanya kecupan biasa. Karena, Hanif merasa kasihan jika harus mendapatkannya dengan waktu lama. Sedetik saja sudah cukup untuk Hanif.

“Anak pinter!” Zayna mengelus surai rambut hitam Hanif. Ia senang jika suaminya itu paham akan kondisinya sekarang.

Hanif langsung menidurkan dirinya diatas paha Zayna. Tidak lama, suara pintu kamar terbuka pelan. Membuat mereka berdua sedikit terkejut. Mereka baru saja ingat. Bahwa, sekarang sudah ada penghuni baru di rumahnya.

“Ya Allaah, lupa!” teriak Zayna yang langsung beranjak dari tempat duduknya. Hanif yang langsung terangkat kepalanya sontak kembali dengan posisi semula.

“Gangguan apalagi, Ya Allaah?” gumamnya.

“Ih maaf, Kak Karina. Aku lupa, ya Allaah. Sekarang kita makan aja gimana?” ujar Zayna yang sudah berada dihadapan Karina. Karina hanya tersenyum.

“Gapapa, aku udah masak kok! Kalian kan mungkin lagi sibuk(?) Jadi, inisiatif aja aku masak dari pada diem aja.” balas Karina sesekali matanya mencuri pandang ke arah Hanif yang ada didalam kamar.

“Ih, jadi ngerepotin kan!” Ia istrinya itu malah merasa tidak enak hati tanpa mencurigai gerak-gerik perempuan yang ada dihadapannya itu.

“Ayo, mas!” tawarnya ketika melihat Hanif yang sudah berganti posisi didalam sana.

©morkihacoy

Sudah menjadi kebiasaan bagi Hanif ketika dirinya sudah menyelesaikan tugasnya diluar sana. Ia akan langsung memeluk istrinya. Walaupun, istrinya itu kadang risih.

“Saya bawa bunga!” ucap Hanif dan memberikan satu buket bunga mawar putih kesukaan Zayna seraya memeluknya dari arah belakang.

“Cantik,”

“Iya, kaya kamu.” Hanif kini menciumi tengkuk milik Zayna.

Zayna mulai menjauh dari Hanif. Akhir-akhir ini, ia selalu merasa sesak nafas jika Hanif mulai memeluknya. Mungkin, karena kini perutnya yang sudah mulai membesar.

“Assalamu'alaikum bayi kecil ayah,” Hanif mengalihkan pandangannya ke arah perut Zayna seraya mengusap lembut bayi kecil yang ada diperut istrinya itu.

“Hari ini nakal gak sama bunanya? Kasihan dong bunanya.” lanjutnya lalu menatap Zayna yang sedang memperhatikan percakapan antara ayah dan anaknya itu.

“Nda, yayah. Hali ini aku nda nakal. Aku selalu bantuin buna.” balas Zayna seraya menirukan suara seperti anak kecil.

“Bagus,” Seperti biasa kini Hanif dan bayi kecil yang ada diperut Zayna itu sudah memiliki High Five khusus.

“Tos!” ujar Hanif kala menyelesaikan High Five bersama bayi kecilnya itu.

“Mandi, yayah. Bau!” Iya, suara tiruan yang akhir-akhir ini selalu terdengar ditelinga Hanif. Suara perempuan yang juga selalu menjadi suara paling favorite untuk Hanif dengarkan. Lebih dari suara apapun.

Hanif menciumi perut yang mulai membesar itu. Dan iya, ia juga menciumi benda kenyal milik istrinya.


“Nih,” ujar Zayna sembari memberikan hidangan makan malam untuk dia dan juga suaminya.

“Wih, enak nih!” balas Hanif antusias ketika mendapati makanan kesukaannya, ikan goreng saus pedas manis.

“Mas,” Kini Zayna mulai memberanikan untuk meminta penjelasan kepada Hanif.

“Kenapa, cantik?” tanya Hanif sedikit penasaran.

“Iya ya, kamu punya sahabat cewe dulu?” Hanif menghentikan aktivitas menguyahnya sebentar.

“Eum, dulu waktu aku belum pesantren. Ya, masih anak kecil lah. Kamu tahu dari mana?” jelas Hanif dan kembali melakukan kegiatannya itu lagi.

“Dia dm aku di Twitter.” Hanif sempat tersedak ketika mendengar kalimat itu dari bibir Zayna.

“Ih, minum dulu!” Zayna memberikan satu gelas air putih kepada Hanif.

“Kok bisa?” Hanif kembali bertanya sebelum makanan yang ada dimulutnya itu selesai ia cerna semuanya.

“Habisin dulu!” pinta Zayna seraya melihatkan senyumnya kepada suaminya itu.

“Gak tau. Tapi, dia tiba-tiba ketemu sama akun Twitternya aku. Mungkin mau silaturahmi doang kali, ya?” jelas Zayna. Namun, bukan dengan tatapan yang biasa.

Hanif tidak berkutik. Ia malah melanjutkan makannya dan hanya bisa mengangguk ketika Zayna mulai menjelaskan kepadanya. Tidak ada yang salah. Mungkin, memang niat teman semasa kecilnya itu hanya untuk bersilaturahmi kepadanya. Terutama Zayna, yang kini sudah menjadi istri sahnya.

©morkihacoy

Zayna menutup Al-Qur'an yang memiliki warna putih dan emas, setelah ia mengoreksi hafalan yang baru beberapa ia kuasai. Sebisa mungkin, walaupun ia sibuk dengan kepekerjaannya sebagai istri juga seorang pelukis. Dirinya selalu meluangkan waktu untuk bermurojaah serta menambah hafalannya.

Suara mesin mobil mulai terdengar dari kejauhan sana. Sesegera mungkin ia beranjak bangun dari duduknya dan menghampiri kearah sumber suara tersebut. Ia sudah mengira, bahwa itu adalah suaminya yang baru saja pulang.

“Assalamu'alaikum,” ujar seseorang dari balik pintu. Zayna perlahan membuka pintu rumahnya seraya menjawab salam dan didapati seseorang dengan kemeja juga celana kain yang sedang berdiri tegap didepan Zayna.

Raga kedua insan itu mulai mendekat. Hanif menciumi setiap bagian sudut yang ada pada wajah istrinya itu. Zayna memeluk Hanif dengan erat.

“Kalau cape, besok aja ngajar akunya.” tawar Zayna karena kasihan melihat raut wajah Hanif yang terlihat sangat kelelahan.

“Gak apa-apa,” balasnya lalu menggandeng tangan perempuannya itu.

“Saya bersih-bersih dulu, ya?” Zayna memberikan handuk yang berukuran cukup besar kepada Hanif. Lagi-lagi Hanif malah mencium kening milik istrinya itu.

___

“Waktu belajar sama ustadz Jahiz, baru sampai materi apa?” tanya Hanif yang tidak sadar membuat raut wajah Zayna berubah menjadi kesal.

“Kok, saya tanya gak dijawab?” lanjutnya masih fokus membuka beberapa lembaran buku yang sedang ia genggam ditangannya.

Merasa tidak mendapat jawaban apapun. Hanif mengalihkan pandangannya kepada Zayna. Ternyata, perempuannya itu sedang menampakkan wajah yang terlihat sangat kesal, sembari memajukan sedikit bibir kecilnya kedepan.

“Cantiknya saya ternyata lagi cemberut. Pantes gak jawab, mau di sun ya?” Bukan malah menenangkan istrinya. Hanif malah menggoda Zayna, yang langsung mendapat cubitan kecil kearah perutnya.

“Sakit,” keluh Hanif sembari memegangi perutnya yang sebelumnya mendapat cubitan dari Zayna.

“Bukan ustadz!” ketus Zayna.

“Siapa?” tanya Hanif pura-pura tidak paham dengan kalimat yang Zayna katakan.

“Si J,” Hanif malah tertawa mendengar Zayna yang tidak mau menyebutkan nama Jahiz. Mungkin, karena Zayna masih sangat marah atas kejadian beberapa waktu lalu, yang juga membuatnya sedikit ketakutan.

“Iya, iya, Si J.” Hanif mengikuti kalimat Zayna agar istrinya itu tidak terlalu kesal.

“Sampai mana materinya?” tanya laki-laki itu lagi.

Zayna masih tidak mau menjawab, “Ya sudah, kita belajar materi... Oh jangan, saya ceritain aja kisah Siti Aisyah sama Rasulullah, mau?”

Zayna mengangguk kearah Hanif. Hanif menepuk-nepukan pahanya agar Zayna bisa menidurkan kepalanya diatas paha miliknya. Zayna membetulkan posisi kepalanya. Hanif mengusap lembut mukena yang menjadi penutup rambut panjangnya itu.

“Jadi waktu itu, Aisyah ikut keluar bersama Nabi. Rasul mengajak Aisyah bertanding lari untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya mereka sudah pernah melakukan ketika menuju perjalanan ke Madinah.” Hanif mulai menceritakan kisah tersebut kepada Zayna. Tangannya menggenggam tangan milik perempuannya itu. Zayna masih semangat mendengarkan suaminya yang sedang bercerita itu.

“Kali ini, Nabi yang menang. Karena tubuh Aisyah sudah padat dan berisi, Aisyah kalah. Dia cemberut, kayak kamu!” Disela-sela sedang bercerita. Hanif malah mencubit kecil hidung istrinya itu. Zayna kembali kesal.

“Tapi, Nabi malah meledeknya dengan senyuman. Karena waktu dulu Aisyah yang menang. Sekarang gantian jadi Nabi yang menang. Nabi itu, sangat mengetahui karakter Siti Aisyah. Dia tahu kapan jiwa perempuannya itu sensitif, tahu ketika bahagia. Ini salah satu kalimat romantis dari Nabi untuk Aisyah, 'Aku tahu kapan kamu marah, kapan kamu bahagia.' Kata Nabi gitu.” Zayna tersenyum ketika Hanif menekan setiap kalimat yang mungkin ditujukkan juga untuknya.

“Aisyah bingung, terus bertanya, 'Bagaimana bisa mengetahui suasana hati yang aku sembunyikan begitu rapi?' terus Nabi jawab, 'Jika sedang marah, kau bersumpah Demi Tuhan Ibrahim. Jika hatimu sedang lapang kau bersumpah Demi Tuhan Muhammad.”

“Ini kalau kamu bisa bilang gini pol deh jadi istri saya.” Hanif tersenyum kepada Zayna yang masih menidurkan kepalanya di atas paha Hanif.

“Apa?” tanya Zayna penasaran.

“Demi Allaah, Wahai Rasulullaah, hanya namamu yang tertinggal dihatiku.” Belum sempat melanjutkan kalimat selanjutnya Zayna malah mengikuti kalimat yang baru saja Hanif katakan.

“Demi Allaah, wahai sayangku, gantengku, suaminya aku hanya namamu yang tertinggal dihatiku.” ucapnya kala mendapat senyuman manis dari bibir Hanif.

“Karena nurut, nanti bonus dapet peluk.” balas Hanif lalu melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong oleh Zayna.

“Kisah ini juga pernah di tuliskan dalam sebuah Hadist “Saya biasa mandi bersama Nabi di satu bejana dengan satu gayung, yang di sebut faruq,” Hadist Riwayat Bukhari.” lanjut Hanif.

“Oh mau mandi...” Zayna menggantungkan kalimatnya, “Ga jadi.” Merasa malu dengan kalimatnya Zayna mengurungkan kembali niatnya. Hanif lagi-lagi tersenyum melihat tingkah lucu perempuannya ini.

“Sudah ceritanya, saya mau peluk!” Hanif merentangkan tangannya. Mendekap tubuh ramping itu untuk lebih mendekat dengannya. Sesekali mencium pipi kemerahan itu dari sisi kanannya. Zayna yang merasa geli langsung menahan dengan tangannya. Mereka tertawa bahagia dikeheningan malam. Keduanya saling menatap. Hanif menidurkan tubuh itu disampingnya. Menciumi kembali semua sudut yang ada pada Zayna.

“Cantik,” gumamnya pelan.

©morkihacoy

18+

Hanif berusaha memeluk tubuh Zayna dari belakang. Namun, Zayna terus saja menghindar dari Hanif.

“Saya mau peluk, gak boleh?” keluh Hanif ketika Zayna semakin menjauh dari dirinya. Zayna hanya menggeleng.

“Saya peluk kamu sambil doain kamu juga.” Hanif kembali membujuk perempuannya itu. Tapi, Zayna malah mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya tidak mau.

“Gak mau, kamu bau!” ketus Zayna lalu kembali melangkah mundur dari Hanif.

Hanif semakin mendekatkan dirinya kepada istrinya itu, “Tapi, saya kan sudah mandi.” ucapnya.

“Bayi mau peluk?” tawar Zayna. Namun, membuat Hanif berhenti melangkah.

“Saya bukan bayi!”

Melihat raut wajah Hanif yang kesal dan begitu lucu. Zayna tidak tega melihat suaminya itu, yang pasti akan semakin marah.

“Iya deh iya, sini!” Zayna mulai mendekati Hanif dan merentangkan tangannya untuk segera memeluk suaminya itu.

Bukan saja memeluk Zayna. Hanif malah beralih menciumi tengkuk milik Zayna yang sontak membuat Zayna terkejut karena perlakuannya itu.

“Gak sekarang ya, ganteng?” Zayna menjauh dari Hanif. Entah kenapa dirinya merasa takut dan belum siap.

Hanif tersenyum, “Saya cuma mau peluk kamu. Mungkin, kamu masih belum terbiasa. Bagaimana kalau kita ngulang materi tiga tahun lalu.” Bukan malah semakin menjauh kini tubuh kecil itu kembali mendekat dan memeluk Hanif dengan erat.

“Nggak, nanti aja. Sekarang pelukan dulu aja deh, gak papa.” Hanif menatap mata Zayna yang terlihat sangat kelelahan. Karena memang acara pernikahannya tadi sangatlah menguras energi masing-masing dari mereka. Mulai tamu yang tak kunjung habis dan beberapa sanak saudara yang banyak meminta foto kepada kedua pengantin.

“Sholat isya dulu. Baru tidur ya?” tawar Hanif lalu mencium kening Zayna. Zayna hanya mengangguk.

Ini pertama kalinya, Hanif menjadi imam dalam rumah tangganya. Bukan karena baru saja menikah. Tapi, yang masih ia belum yakini adalah perempuan yang menjadi makmumnya itu adalah seseorang yang dulu selalu ia sebutkan namanya dalam setiap doa dan sujudnya. Perempuan yang entah sampai kapan pun akan selalu ia rindukan raganya.

Zayna tertidur dipaha milik Hanif. Sedari tadi Hanif terus membacakan beberapa potongan ayat suci Al-Qur'an sesekali meminta Zayna untuk ikut mengucapkannya. Sampai suara itu semakin lama semakin hilang dari pendengarannya. Ternyata, perempuannya itu sudah terlelap dalam tidurnya.

Perlahan tangannya membuka mukena yang Zayna kenakan. Ia mengangkat istrinya itu untuk melanjutkan tidurnya diatas ranjang. Ia mengelus surai rambut panjang itu. Menciuminya sesekali lalu bibirnya mengucap doa. Hanif memeluk tubuh itu dan tak butuh waktu lama dirinya pun ikut terlelap.

©morihacoy

Lantunan ayat suci Al-Qur'an mulai Hanif bacakan. Suaranya yang begitu merdu membuat seisi ruangan terkagum-kagum dengan Hanif. Suara itu terdengar hingga ke telingan Zayna. Walaupun, tidak ada kehadiran Zayna disamping Hanif.

Zayna menahan kuat dirinya agar tidak meneteskan air mata. Namun, tetap saja nihil. Kedua matanya kian berair dan sedikit demi sedikit air itu mulai menetes.

Selesai membaca Al-Qur'an, tangan Hanif semakin bergetar dan berkeringat. Sebentar lagi, janji-janji itu akan ia ucapkan didepan seluruh tamu yang hadir. Semakin gugup ketika abi Zayna mulai memberikan tangannya kepada Hanif.

“Mulai saja ya, Pak?” tanya Pak Penghulu kepada Faiz. Faiz mengangguk setuju.

“Bismillaahirrahmanirrahim,” Faiz mulai menjabat tangan milik Hanif.

“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara/Ananda Hanif Aqeel Ad-Dzikri bin Abdul Samir Assegaf dengan anak saya yang bernama Zayna Jumayra Naseeba dengan maskawinnya berupa Mahar/mas kawin, Tunai.” Faiz mulai membacakan Ijabnya kepada Hanif.

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Zayna Jumayra Naseeba binti Muhammad Faiz Naseeba dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.” Kini bergantian dengan Hanif yang membaca Qabul.

Semua hadirin saling terdiam dan menatap satu sama lain.

“Bagaimana hadirin, Sah?” tanya Pak Penghulu.

“Sah!” jawab semua keluarga dari kedua pembelai dan seluruh tamu undangan yang hadir.

“Alhamdulillaah,” Hanif kini merasa lega. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan miliknya. Bersyukur atas kelancaran dalam membaca janji seumur hidupnya untuk Zayna. Perempuan yang kini akan menjadi milik Hanif seutuhnya.

Tidak terasa, air matanya kian berjatuhan dikedua pipinya. Air mata bahagia yang akan selalu menjadi saksi dalam acara sakralnya bersama Zayna.

Dari ujung sana, netranya kian menatap sosok yang ia tunggu sedari tadi. Sosok yang akan selalu ia lihat pertama kali ketika terbangun dari tidurnya. Iya, Zayna Jumayra Naseeba.

Jari lentik itu digenggam erat oleh dua perempuan cantik yang ada disamping kiri-kanan Zayna, Farrah dan Zaenab. Perempuan-perempuan cantik itu perlahan melangkah menuju kursi pelaminan. Mengantarkan Zayna untuk menemui Hanif, yang kini menjadi suaminya.

Hanif beranjak bangun dari duduknya. Kini tangan kekar itu yang bergantian menggenggam tangan cantik milik Zayna. Keduanya saling bertemu. Dalam hati keduanya saling terkagum.

Masih tidak percaya dengan hari ini. Hanif mulai mencium kening milik Zayna. Ia mencium dengan waktu yang cukup lama. Hanif membacakan doa untuk dirinya dan Zayna yang kini menjadi istrinya.

Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih.” Hanif melepaskan kecupannya dari kening Zayna. Ia mulai mendekatkan wajahnya dan menyatukannya kepada wajah Zayna.

“Jangan disini!” guman Zayna pelan disela-sela tatapannya. Hanif tersenyum ketika melihat wajah Zayna yang sudah memerah.

Netra itu tidak pernah berhenti menatap sosok perempuan yang ada disampingnya.

“Apasih, liat-liat mulu!” ketus Zayna merasa malu karena sedari tadi Hanif terus saja menatapnya.

“Cantik, selalu cantik,” Hanif mengelus lembut pipi kiri milik Zayna.

“Dari awal saya melihat kamu. Kamu selalu cantik!” lanjutnya.

“Oh, jadi, nikahin aku cuma karena cantik, ya?” Zayna memalingkan pandangannya ke sembarang arah dan tidak mau melihat wajah Hanif.

“Iya, saya menikahi kamu karena cantik. Cantik wajahnya, cantik segalanya. Terutama, cantik hatinya. Semua yang kamu miliki itu, menurut saya cantik. Makanya, saya nikahin kamu, cantik.” jelas Hanif meyakinkan perempuannya itu.

“Jangan senyum, makin cantik!” Lagi-lagi Hanif menggoda Zayna. Hingga wajah itu semakin memerah dan memanas seperti kepiting rebus.

“Apasih, gombal mulu. Baru juga nikah udah banyak gombal dasar buaya!” Zayna kini sudah tidak bisa menahan malunya didepan suaminya itu.

“Tidak apa-apa saya buaya. Asal pawangnya kamu!” Hanif mencium pipi kiri Zayna. Tidak peduli dengan keadaan sekitar yang semakin lama semakin ramai tamu berdatangan.

“Cantiknya saya, janji ya? Janji untuk selalu bersama saya sampai kita bertemu lagi di Surganya Allaah. Yakinkan saya untuk selalu menjadikan janji saya ini sekali seumur hidup hanya untuk kamu. Jadikan saya sebagai seseorang yang akan selalu melangkahkan kaki kamu menuju keridhoan Allaah. Saya hanya mau bersama kamu sampai kapanpun. Walaupun, mungkin maut akan memisahkan kita dan dipertemukan lagi dalam keadaan yang sangat indah nanti.” ujar Hanif kembali menciumi Zayna. Kali ini tangan milik Zayna.

“Nantikan di surga ada yang lebih cantik. Mana bidadari lagi!” Goda Zayna menghancurkan suasana.

“Secantik apapun bidadari surga. Tetap kamu yang akan menjadi perempuan tercantik saya. Saya akan jatuh lagi kepada kamu, Zayna.” Hanif terus saja meyakinkan Zayna.

“Gombal terus. Awas aja nanti kegoda bidadari lain!” ancam Zayna membuat Hanif tersenyum.

“Tidak, tidak akan pernah. Karena saya selalu memilih kamu!”

“Iya deh iya,” Zayna mulai pasrah karena sedari tadi ia mengaku kalah dengan semua jawaban Hanif untuk menyakinkannya.

©morkihacoy

“Aku udah berusaha buat yakinin kamu. Tapi apa? Kamu malah terus nunggu cowok sok alim itu!” Jahiz mulai melawan karena kesal dengan sikap Zayna yang selalu berusaha menjauh.

“Dia? Kamu, kamu yang sok alim!” balas Zayna seraya menunjuk sosok laki-laki yang ada dihadapannya itu.

“Murahan tau gak? Dibayar berapa kamu?”

Kalimat itu, kalimat yang baru saja Zayna dengar dari kedua telinganya. Kalimat yang tidak pernah orang lain katakan kepadanya. Tapi, laki-laki itu dengan mudah mengatakannya kepada Zayna.

Mata perempuan itu mulai memanas, menahan segala amarah yang ada didalam dirinya.

“Dibayar berapa, hah? Sampe segitunya sama itu cowok. Dia itu gak ada apa-apanya dibanding aku. Buka mata kamu lebar-lebar! Mau aja di embel-emebelin buat nunggu tiga tahun. Aku, yang selama ini ada buat kamu. Kamu anggap apa?” Jahiz menarik lengan kecil itu. Kulitnya menyetuh kulit milik Zayna.

“Jangan pernah sentuh aku!” Sontak mendapat perlakuan kasar dari Jahiz, Zayna langsung mendorong tubuh kekar itu untuk menjauh darinya.

Tubuh Jahiz hampir menyentuh ujung meja. Jika telat sedikit saja dirinya akan terluka. Matanya menatap tajam ke arah Zayna. Dan iya, ia mulai mendekati kembali tubuhnya kepada Zayna.

“Please, stop disitu!” teriak perempuan itu ketika dirinya hampir saja akan mendapat pukulan dari tangan Jahiz.

“Jangan berani sakiti perempuan saya!” Satu pukul lolos menghamtam hidung Jahiz. Darah mulai menetes dari hidungnya yang mungkin langsung terluka.

“Sialan! Siapa lo?” Jahiz langsung bangun dan menghajar kembali kepada seseorang yang tiba-tiba saja muncul dihadapannya.

Zayna mundur menghindari pertengkaran tersebut. Pipinya kini sudah basah karena ia sejak tadi sudah menangis. Kaki kecil itu bergetar ketakutan.

“Oh, lo!” Pukulan Jahiz tepat mengenai perut laki-laki misterius itu. Zayna tidak dapat melihat jelas sosok berpenampilan serba hitam yang laki-laki itu kenakan. Tapi, samar-samar netranya mulai mengetahuinya.

“Dia?” gumam Zayna.

Sampai akhirnya, Jahiz sudah kewalahan melawan pukulan yang diberikan laki-laki itu. Tangannya mencoba menahan ketika sepatu hitam itu akan menginjak wajah milik Jahiz.

Namun, sebelum itu. Ia kembali mengurungkan niatnya. Nafas dari kedua orang itu berderu sangat cepat tidak terkontrol.

“Saya sudah ingatkan kamu, Jahiz. Jangan sakiti perempuan saya!” ujar laki-laki itu lalu menarik kerah baju milik Jahiz. Pandangannya saling bertemu dengan salah satu menatap tajam dan yang satu terlihat sangat kewalahan. Ia melepaskan genggaman itu dari tangannya. Tubuh Jahiz kembali jatuh ke lantai, lalu secepat mungkin ia pergi dari hadapan laki-laki itu. Kini sosoknya sudah tidak terlihat dari pandangan Zayna maupun laki-laki misterius itu.

“Kamu gak apa-apa, kan?” Sosoknya kini mulai terlihat dari netra milik Zayna.

Darah bercucuran dari sudut bibir milik laki-laki itu. Tapi tetap saja, ia selalu memberikan senyuman hangat kepada Zayna. Iya, itu Hanif.

“Zayna, kamu selalu can-” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Tubuh kekar itu kini tumbang dan terjatuh dihadapan Zayna. Perempuan itu langsung panik harus bagaimana. Satu-satunya cara adalah menelepon ambulan untuk membantu membawa Hanif menuju Rumah Sakit.

©morkihacoy

Zayna menjatuhkan badannya keatas ranjang, setelah setengah hari dia menyelesaikan tugas kuliahnya. Walaupun belum seratus persen selesai.

Netranya menatap langit-langit kamar. Sesekali ia memejamkan matanya dan menghela nafasnya dengan kasar. Baru saja ia akan benar-benar terlelap dalam keheningannya. Suara pintu terbuka berhasil membuat Zayna kembali membuka matanya dan melirik ke arah sumber suara tersebut.

“Ada tamu di bawah!” Iya, suara selanjutnya yang terdengar adalah suara Nizam. Nizam kembali keluar dari kamar adiknya itu dan menutup pintunya dengan rapat.

Zayna beranjak bangun dari tidurnya dan merapikan pakaiannya yang sempat berantakan.

“Siapa sih?” tanyanya kepada diri sendiri.

Satu per satu anak tangga ia turuni. Langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang baru saja datang. Tidak asing, tapi dia memang tidak mengenal sosok itu.

“Nah, Zayna sini, nak!” pinta pria dengan style kaos putih oblong, sarung, dan juga kopeah putih dikepalanya. Itu abi Zayna.

Zayna kembali melangkah dan duduk dikursi samping yang tidak terlalu jauh dari sang abi.

“Ini Zayna, Jahiz.” Faiz mengenalkan putri bungsunya ini kepada pria yang sedari tadi sosoknya menjadi perhatian Zayna.

Kemeja berwarna biru donker sangat serasi dengan celana pensil hitam yang pria itu kenakan. Jam tangan yang juga sangat cantik dipergelangan tangannya. Membuat Jahiz─pria yang dimaksud Zayna─terlihat sangat tampan. Tapi, bagaimana pun penampilannya. Pria itu tidak akan bisa mengalahkan penampilan Hanif yang sederhana. Cukup kemeja atau baju gamis dan sarung yang Hanif gunakan. Sudah membuat siapapun yang melihatnya akan luluh dan kagum.

“Ini Jahiz, yang akan menggantikan ustadz Hanif.” jelas Faiz kepada Zayna. Zayna hanya menunduk tidak terlalu memperhatikan kedua orang yang ada disamping kanan-kirinya itu.

“Salam kenal Zayna, saya Jahiz yang akan menggantikan ustadz Hanif untuk membimbing kamu.” Jahiz mulai berbicara. Tapi tetap, bibir tipis Zayna masih tertutup.

“Mungkin mulai hari ini saya bisa mengajarkan kamu, Zayna.” lanjut Jahiz.

Mengetahui urusannya sudah selesai, Faiz beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka berdua untuk saling mengenal dan membahas apa saja yang mungkin akan mereka pelajari nanti.

“Mau minum apa?” bukan membalas pernyataan dari Jahiz. Zayna malah menawarkan kepada Jahiz. Supaya dirinya dan pria itu tidak banyak mengobrol.


“Maaf ya, kayaknya aku harus pergi sekarang, ada urusan. Jadi, untuk hari ini aku gak bisa belajar dulu.” Zayna menatap ponselnya yang sudah berdering sejak tadi.

“Kalau boleh saya tahu, ada urusan kemana ya? Biar saya yang antarkan.” tawar Jahiz.

“Mau kemana?” Kini Faiz kembali penghampiri dua orang yang sedari tadi terlihat sangat asing.

“Mau ke-” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Faiz sudah memotong perkataan Zayna.

“Biar Jahiz yang antarkan kamu. Tidak apa-apa kan, Nak Jahiz?” Jahiz hanya mengangguk mendengar pernyataan dari Faiz.

“Abi, tapi kan-” Lagi-lagi Faiz memotongnya.

“Kamu dibelakang, Jahiz yang menyupir. Tidak ada penolakkan. Abi, cuma takut kamu kenapa-kenapa di jalan nanti.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Zayna pergi meninggalkan Faiz dan disusul oleh Jahiz dibelakangnya.

Zayna terdiam didalam kendaraan berwarna hitam milik Jahiz. Netranya menatap setiap sujud jalan kota Bandung. Suasananya baru saja selesai turun hujan. Namun, masih banyak orang-orang yang berlalu-lalang di jalan tersebut. Jalan yang selalu menjadi tempat Zayna berkeluh kesah, jikala ia merasa tidak baik-baik saja. Sekedar berjalan-jalan kecil di pinggir jalan Braga sudah membuat suasana hatinya sedikit membaik. Melihat banyaknya lukisan-lukisan dari tangan trampil yang indah. Zayna sudah merasa cukup tenang.

“Mau kemana kita?” tanya Jahiz sembari melihat sosok perempuan dibelakangnya dari kaca mobil.

“Jalan aja.” Zayna membalas dengan seadanya. Ia kembali hanyut dalam suasana khas Bandung sehabis hujan itu.

©morkihacoy

Zayna dan Zoya sudah menunggu sekitar sepuluh menit di perbatasan asrama putra dan putri yang dibatasi dengan tembok yang cukup tinggi.

“Lama banget, aku takut, Zayn!” Zoya sudah ingin pergi dari sini. Karena perbatasan ini tepat di paling belakang masing-masing asrama. Membuat bulu kuduknya perlahan berdiri. Zayna menggenggam tangan Zoya untuk meyakinkannya.

“Moh kamu dulu, gus!” suara itu tiba-tiba saja terdengar dibalik tembok bata berwarna putih.

“Ass-Assalamu'alaikum, dek Zoya,” Lukman menyapa terlebih dahulu.

“Wa'alaikumussalam,” jawab Zoya lalu menyuruh Zayna untuk melanjutkan kalimatnya.

“Wa'alaikumussalam, ustadz Hanif?” tanyanya menyakinkan bahwa Hanif juga ikut bersama Lukman.

“Iya, saya disini!” Hanif menatap tembok itu.

Zayna menarik nafasnya agar dirinya lebih tenang dan tidak terbata-bata ketika akan berbicara nanti.

“Ustadz, aku minta maaf ya kalau misal ustadz tadi chat aku. Handphone aku ilang ustadz. Eh, bukan ilang sih lupa nyimpen. Aku juga minta maaf kalau tadi kita gak belajar materi lagi. Tapi ustadz, aku udah isi semua quiz yang ustadz kasih. Di kertas lembarkan? udah kok. Aku yakin pasti bener semua. Soalnya semalem aku ngafalin, ustadz. Satu lagi aku juga udah siap setor hafalan juz 2 aku. Besok bisakan?” Zayna terus saya berbicara tanpa henti. Hanif dibalik tembok itu hanya tersenyum.

“Alhamdulillaah bagus, saya belum kasih hadiah untuk quiz yang sebelumnya ya?” tanya Hanif masih dengan menatap tembok putih itu, berharap bisa melihat wajah cantik milik Zayna.

“Gapapa deh, itu nanti aja. Aku lagi semangat buat setoran, ustadz!” balas Zayna juga ikut tersenyum. Walaupun yang dapat melihat sekarang hanyalah sahabatnya, Zoya.

Lukman mulai menguap, ia sudah sangat mengantuk. Melihat Hanif seperti orang gila yang sedang berbicara dengan tembok yang jelas-jelas itu adalah benda mati. Tapi, dia tidak enak jika meninggalkan Hanif sendirian disini. Ya, walaupun dia yakin pasti mereka akan dipergoki oleh penjaga keamanan yang setiap malam pasti berkeliling di setiap sudut pesantren.

“Saya sudah janji, nanti saya kasih hadiahnya.”

“Zayna,” panggil Hanif dari sebrang sana. Zayna terdiam.

“Nanti setoran selanjutnya bukan sama saya lagi tidak apa-apa, kan?” Kalimat itu akhirnya terdengar di telinga Zayna. Membuat Zayna mengerutkan keningnya bingung.

“Mau kemana?” Zayna memberanikan dirinya untuk bertanya agar rasa penasarannya itu hilang.

“Saya mau melanjutkan pendidikan saya di luar negeri. Kemungkinan ustadz Faiz akan mencari guru pengganti untuk kamu. Seharusnya, ini menjadi hari terakhir saya mengajar kamu. Ada banyak materi yang mau saya sampaikan sebenarnya. Saya kira kamu sibuk. Makanya saya memutuskan untuk tidak datang ke rumah kamu. Tidak apa-apa, kan?” jelas Hanif yang jelas membuat senyum Zayna kian memudar di sebrang sana.

“Lama ya? Zayn, maunya sama ustadz Hanif.” keluh perempuan itu, yang tanpa sadar air matanya mulai menetes membasahi kedua pipinya.

“Lama, saya lama disana. Jangan putus semangat buat terus mencari ilmu. Saya disana juga sama, sedang mencari ilmu. Belajar sama siapa saja ya? Kamu pasti bisa!” Hanif mendengar tangisan itu. Walaupun sebenarnya Zayna menahan agar Hanif dan Lukman tidak menyadarinya.

“Jangan nangis,” lanjut Hanif.

“Saya juga pulang nanti. Janji ya? Setelah semuanya selesai, terlepas kita akan bertemu lagi atau tidak. Kamu tetap harus menjadi Zayna yang saya kenal.” Hanif terus mencoba meyakinkan perasaan Zayna. Lagi dan lagi suara tangis itu semakin menjadi-jadi.

Tetap jadi perempuan yang saya rindukan senyumannya.” batin Hanif.

“Aku gak bisa, ustadz!” Zoya mencoba menenangkan Zayna yang sedang menangis. Tangannya mengusap lembut bahu milik Zayna.

“Bisa, kamu bisa! Saya saja yakin masa kamu tidak?”

“Sudah ya? Saya pamit. Jangan nangis lagi, saya masih ada di bumi. Tapi, nanti dibelahan bumi lain.” lanjut Hanif seraya menunduk dan tersenyum tipis.

Ia juga sebenarnya tidak tega mengatakan hal ini kepada Zayna. Mau tidak mau secepatnya hal ini harus ia bicarakan agar Zayna bisa menerima dan terbiasa. Tinggal menghitung hari untuk kepergiannya ke kota Yaman.

“Zayna, masih disana?” Hanif memastikan karena sedari tadi suara tangis itu mulai menghilang.

Rintik hujan mulai berjatuhan. Hanif panik karena setiap tetesnya semakin lama semakin banyak.

“Zayna pulang, sudah hujan!” pintanya dari sebrang sana.

“Iya ustadz, kita kembali ke asrama. Kalian juga, maaf ya sudah menganggu waktu istirahatnya.” Zoya kini mulai berbicara karena sedari tadi Zayna hanya menangis tanpa suara.

“Wassalamu'alaikum,” lanjut Zoya.

“Wa'alaikumussalam,” jawab Hanif dan Lukman. Suara sendal bergesekan dengan tanah mulai terdengar bersamaan dengan air hujan yang sudah membasahi sebagian tanah dan juga rumput.

Mereka kembali dengan perasaan yang tidak terpikirkan. Kiranya akan membawa tawa. Namun, salah. Ternyata, tawa itu ditakdirkan menjadi sedih untuk kedua pasang insan itu.

©morkihacoy