One Seat

“Lama sekali,” ucap Kaluna kala melihat Abay yang sudah berpakaian rapi dari balik pintu yang kini sudah terbuka.

Abay mengetuk pelan helm berwarna pink milik Kaluna, dengan corak bunga yang memenuhi semua bagiannya.

Kaluna mengernyit kebingungan. “Apasih ketuk-ketuk helm punyaku? Kak Abay mau aku buatin, ya?” Kaluna melepas helm miliknya.

“Gambar sendiri?” Abay mengambil alih helm yang ada digenggaman tangan milik gadis itu. Ia kembali terkagum dengan apa yang Kaluna lakukan.

Ia selalu mempunya ide menarik, yang mungkin jika dijual akan memiliki harga yang tinggi.

“Iyalah, itu lukisanku sendiri. Hebat tidak?” balas gadis itu sembari menampakkan senyum manisnya ke arah Abay.

Sial, senyuman yang terjadi hanya dalam waktu beberapa detik itu, berhasil membuat jantung laki-laki yang bernama Abay Mahendra, berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Tangannya mulai meraih kembali helm dengan nuansa serba pink cantik milik Kaluna, dan ia berpikir untuk mengenakan nya pada kepala Kaluna.

Gadis itu sedikit terkejut, tubuhnya seketika kaku tidak bisa berkutik. Netra nya tak henti-henti memandang pergerakan tubuh itu. Laki-laki yang ada di hadapannya kini, adalah orang yang selalu berada di dalam imajinasinya. Bagaimana mungkin mimpinya menjadi nyata?

Kikuk keadaan kala itu. Keduanya tidak berani saling menatap. Kaluna perlahan berjalan lebih dulu dari Abay. Abay yang mulai sadar bahwa gadis itu ingin segera pergi dari tempat ini, ia mulai mengikuti langkahnya.

Tangan mungil dengan kuku yang penuh hiasan berwarna serba merah muda itu, tengah sibuk menunjuk barisan kendaraan beroda dua di depan parkiran bangunan kost yang bertuliskan “Pondok Bu Sarah”

Tubuhnya ia dekatkan kepada salah satu motor besar Kawasaki Ninja H2 Carbon yang ada di sana. Ia mulai menaiki kendaraan itu tanpa rasa ragu.

Abay menarik tubuh kecil itu dengan cepat. “Motor gue bukan itu!” jelasnya pada Kaluna.

Gadis itu kembali terdiam. “Aku liat kakak kemarin pakai motor besar seperti ini.”

“Bukan. Motor gue yang itu.” Tunjuk Abay pada salah satu benda yang sangat jauh dari tempat benda sebelumnya yang tepat berada di ujung jalan sana.

“Itu motor kak Abay?” Kaluna kembali menatap ke arah Abay. Abay mengangguk pelan.

Abay kembali menarik tangan gadis itu. Kaluna hanya bisa mengikuti kemana langkah kaki laki-laki itu berjalan. Dan sampai di penghujung jalan tempat kendaraan itu terparkir.

“Motornya lucu sekali,” girang Kaluna ketika netra nya tertuju pada kendaraan beroda dua milik Abay.

Abay perlahan mulai menjauhkan dirinya dari Kaluna. Ia menaiki kendaraan vespa yang identik dengan warna kuning cerah, yang ternyata adalah milik Hugo.

“Naik,” pinta Abay.

Satu kursi bersama Abay? Mimpi.

Perlahan roda kendaraan itu berputar seiring dengan kecepatan mesin yang Abay naikkan.

“Kak Abay jangan ngebut...” Suara Kaluna tidak sama sekali terdengar di telinga Abay.

“Kak Abay boleh peluk?” Lanjutnya. Abay masih tidak merespon perkataan Kaluna.

Angin juga jalan yang sangat ramai. Membuat alat pendengarannya semakin minim. Belum lagi, ia sedang mendengarkan musik dengan volume yang cukup besar

“KAK ABAY BOLEH PINJAM PELUK NYA SEBENTAR?” Karena sudah kesal dengan Abay yang sama sekali tidak merespon ocehan darinya, dengan terpaksa Kaluna harus berteriak sekencang mungkin dai arah samping telinga Abay. Meskipun tertutup oleh helm hitam yang dikenakan laki-laki itu.

“Boleh,” balasnya tanpa mengatakan apapun setelahnya.

Kaluna perlahan memeluk pinggang milik Abay. Tangannya ia masukkan ke dalam dua saku cukup besar pada jaket yang Abay kenakan.

Seketika, ada hal yang menarik dari arah sudut jalan sana, netra nya tak henti menatap ke arah bangunan cantik dengan arsitektur bernuansa Belanda. Cat berwarna merah muda itu yang menjadi perhatiannya tertuju.

Kaluna perlahan mencubit perut Abay, dengan kedua tangan yang masih tersimpan di dalam saku jaket laki-laki itu. “Kak Abay mau ke situ! Mau ke situ!” hebohnya seraya menunjuk ke arah bangunan tersebut.

“Jangan dicubit!” ucap Abay ketika merasakan perih karena cubitan kecil yang Kaluna buat.

“Anter ini dulu, Kal.” Lanjutnya.

“Gak-gak, mau ke situ dulu,” rengek Kaluna seperti anak kecil. Itu ia lakukan agar Abay mau memenuhi permintaannya.

“Bawel,” celetuk Abay, yang mau tidak mau harus menuruti permintaan gadis yang selalu membuatnya terkagum, juga terheran-heran karena tingkahnya.

by @morkihacoy