Lama
18+ sedikit
Hanif membuka pintu mobil untuk Zayna. Zayna masuk begitu saja tanpa melirik Hanif sedikit pun.
“Kenapa?” tanya Hanif heran melihat raut wajah istrinya itu.
“Lama!” cetus perempuannya.
“Maaf,”
“Tadi selesain dulu kerjaannya, biar bisa pacaran sama kamu.” lanjut Hanif dengan wajah sedikit memelas. Zayna yang tidak tahan dengan tingkah menggemaskan dari suaminya itu, langsung mencium pipi kiri Hanif. Pria itu seketika mengembangkan senyumnya.
“Mau mampir kemana dulu?” tanya Hanif seraya menyalakan mesin mobilnya.
“Ke... kemana, ya?” balas Zayna kebingungan.
“Kalau gak mau kemana-mana, ya langsung pacaran aja di rumah.” ujar Hanif. Zayna hanya terdiam.
Mobilnya ia lajukan dengan kecepatan sedang. Bandung saat itu, baru saja diguyur hujan deras dan suasananya selalu khas. Pedagang-pedagang dipinggir jalan tengah sibuk membereskan barang jualannya sebelum kota itu semakin ramai, karena banyak orang yang sering keluar pada malam hari. Sekedar untuk jalan-jalan atau menongkrong ditepi jalan raya.
Mesin mobil itu, Hanif matikan ketika sudah sampai dikediamannya. Sepi, kadang Zarina selalu paling heboh jika sudah sampai rumah. Tapi, khusus malam ini, putri cantiknya itu mereka titipkan kepada umi Farrah.
Zayna menyiapakan baju sebelum Hanif bersiap-siap untuk masuk ke kamar mandi. Ia, menyodorkan handuk putih kepada Hanif. Hanif membalasnya dengan satu kecupan dikening milik Zayna.
Selesai Hanif mandi, kini bergantian dengan Zayna. Hanif menunggu istrinya selesai bersih-bersih untuk melaksanakan sholat isya berjama'ah.
“Aamiin Allahumma Aamiin...” ujar Hanif kala menyelesaikan doanya diikuti dengan Zayna.
Hanif memundurkan posisinya, lalu berebahkan kepala dari arah depan keatas paha Zayna. Tangan mulus itu menyambut rambut hitam milik suaminya.
“Sudah lama ya, tidak pacaran.” Hanif membuka pembicaraan. Zayna mengangguk pelan.
Hanif bangkit dari tidurnya dan menghadap kearah Zayna. Iya, netranya saling bertemu. Kini wajah itu mendekat ke wajah milik istrinya. Zayna memejamkan matanya sejenak dan satu kecupan lolos mendarat diatas bibir Zayna.
Hanif memeluk tubuh itu, tubuh yang selalu ia rindukan kehangatannya. “Kangen peluk kamu.” ujar Hanif.
Zayna membalas pelukan itu, “Iya, aku juga.” balasnya.
“Gak apa-apa ya, Zee. Bunanya yayah pinjem dulu sehari penuh. Mau yayah peluk biar gak cemberut terus.” gumannya, seolah-olah Zarina ada di sampingnya. Zayna tersenyum.
“Tiga tahun sibuk sama kerjaan masing-masing. Jarang lagi kayak gini, ya?” tanya Hanif yang masih memeluk tubuh Zayna.
Kini, posisinya beralih kembali seperti semula. Ia membuka mukena yang Zayna kenakan. Perlahan tangannya mengelus surai rambut panjang itu.
“Cantik,” gumamnya.
“Masih kayak dulu, gak pernah berubah.”
“Cantiknya, sifatnya, rasa sayang saya ke kamu juga gak pernah berubah. Ini juga,” goda Hanif kala menunjuk bagian favoritenya yang ada pada diri Zayna. Bibir tipis dengan warna merah muda.
“Kamu juga, gantengnya, baiknya, nyebelinnya, kaya buayanya. Gak pernah berubah!” balas Zayna sembari mencubit-cubit pelan hidung Hanif.
Hanif menggendong tubuh ramping milik Zayna. Ia, memindahkannya keatas ranjang tempat mereka melepas penat ketika melewati hari yang melelahkan.
“Sekarang pacarannya peluk aja, ya? Setahun lagi baru sambil bikin adik buat Zarina.” Lagi-lagi Hanif menggoda Zayna.
“Ih, apasih!” protes perempuannya.
©morkihacoy