Zee mau ini, Buna!

Hanif terbangun dari tidurnya, lalu matanya beralih ke arah jam digital yang ada di atas meja samping ranjangnya. Ia beranjak bangun dari tidurnya. Namun, baru saja melangkahkan kakinya, suara kecil itu memanggilnya.

“Yayah,” panggil Zarina ketika tahu Ayahnya itu sudah bangun.

“Zee bobo lagi saja, nak.” pinta Hanif menyuruh Zarina agar melanjutkan tidurnya. Namun, anak kecil itu malah merentangkan tangannya, meminta Hanif untuk cepat menggendongnya.

“Yayah mau sholat. Zee mau sholat juga?” tawar Hanif, lalu mendapat anggukan dari anak perempuannya.

Walaupun Zarina masih sangat kecil. Namun, ajaran Hanif dan Zayna mudah teringat dalam ingatannya. Bagaimana cara berwudhu dan sholat yang baik dan benar. Meskipun, masih belum sesempurna itu.

Hanif memakaikan mukena kecil milik Zarina. Ia menghamparkan sejadah didepan putrinya itu. Tak lama bibirnya mengucap takdir.

Selesai menunaikan sholat tahajjudnya. Zarina masih terduduk manis seraya memperhatikan Ayahnya yang masih fokus berdzikir. Perlahan tangan kecil itu terangkat dan bibirnya mulai bergumam.

“Ya Allaah, Zee kemalin liat Adam sama Jihan punya dedek bayi balu. Bayi na cowo. Zee juga nau puna dedek bayi cowo kaya Adam sama Jihan. Zee nau puna temen main biyar nanti Zee bisa main baleng-baleng di kantol na buna. Aamiin...” Iya, ternyata suara lembut itu sedang meminta sesuatu kepada Tuhannya.

Hanif sadar akan hal itu, ia langsung fokus kepada Zarina yang masih mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan miliknya. Ia menghampiri tubuh kecil itu dan mendekapnya perlahan.

“Zee mau punya dedek bayi?” tanya Hanif seraya menatap mata bulat kecokelatan itu. Zarina mengangguk.

“Yayah, kalau Zee cudah minta dedek bayi na tadi. Nanti pagi apa dedek bayi na cudah ada didepan lumah kita?” Zarina dengan polosnya menanyakan itu kepada Hanif. Hanif tertawa mendengar itu.

Putrinya kini sudah sangat besar dan semakin pintar.

Adzan subuh berkumandang, Zarina menghampiri ibunya yang masih terlelap dalam tidurnya.

Ia menggoyang-goyangkan tubuh Zayna, “Buna ayo kita cholat duwu!” ucap Zarina yang masih belum bisa fasih ketika berbicara.

Zayna perlahan membuka matanya. “Zee sayang, sudah bangun?” tanya Zayna karena melihat putrinya itu sudah siap untuk melaksanakan sholat.

Ketiganya selesai berdoa, masih dengan kalimat yang sama. Zarina terus saja memohon untuk bisa memiliki adik baru. Zayna sebenarnya mendengar doa yang Zarina ucapkan sehabis sholat tahajjud. Ia masih dalam masa pemulihan. Maka dari itu, ia tidak ikut sholat bersama suami dan putrinya itu.


Zayna menyiapkan sarapan pagi dihari minggunya. Seperti biasa Hanif dan Zayna selalu memilih libur dihari minggu agar bisa meluangkan waktu bersama putri kecilnya.

“Buna, Zee boleh ke lumah Adam cama Jian?” Zarina turun dari meja makan, lalu berlari keluar untuk bermain bersama tetangga di samping rumahnya. Zayna mengangguk seraya menampakan senyumnya kepada Zarina.

Tangannya membereskan beberapa piring kotor yang sudah mereka pakai dan mencucinya. Hanif menghampiri perempuannya dan memeluknya dari belakang.

“Zee katanya mau adik baru.” bisik Hanif ditelinga Zayna.

“Terus?” tanya Zayna pura-pura tidak paham dengan maksud Hanif.

“Mau?” tanya Hanif kembali.

“Lagi red day. Kapan-kapan aja, ya?” Selesai membersihkan piring-piring itu. Zayna mencium sekilas pipi Hanif, lalu pergi meninggalkan Hanif sendirian.

“Zayn, tapi ini bukan tanggalnya.” gumam Hanif ketika bayangan istrinya itu sudah tidak terlihat lagi.

Hanif tahu betul kapan istrinya datang bulan. Meskipun terlalu cepat ia juga tahu, karena ada beberapa sikap yang berubah dari Zayna. Namun, hari ini tidak. Ia merasa Zayna sedang tidak dapat. Dan mungkin, Zayna mencoba menghindarinya.

©morkihacoy