Pulang

Jumat pagi, Hanif dan keluarga kecilnya pergi kembali ke Rumah Sakit untuk menjenguk istri tercintanya. Tak lupa ia akan selalu membawakan satu buket bunga mawar untuk Zayna.

Hampir setengah abad didalam hidupnya ia habiskan bersama kekasih tercantiknya. Perempuan cantik yang kian hari kulitnya semakin mengkerut. Mata yang semakin hari semakin sayu. Begitu juga dengan sang suami, Hanif.

“Assalamu'alaikum,” Suara itu terdengar dari luar sana diiringi dengan pintu yang perlahan mulai terbuka.

“Wa'alaikumussalam,” balasnya dengan suara yang sangat pelan.

Suara mesin monitor menjadi suara paling khas ketika memasuki ruangan ini. Hanif menghampiri tubuh yang terkapar lemas diatas ranjang yang dipenuhi dengan alat-alat medis lainnya. Perempuannya itu seperti robot yang kehabisan energy dan harus segera diperbaiki lagi.

Senyum itu nampak indah ketika melihat sang pujaan hati yang menghampirinya. “Kenapa sudah kembali lagi?” ujarnya.

“Saya selalu merasa takut. Karena itu saya tidak bisa meninggalkan kamu sendirian.” balas Hanif seraya memberikan bunga mawar cantik untuk Zayna.

“Saya selalu disini, tidak akan hilang.” lanjut perempuannya.

Hanif mencium pucuk kepala Zayna. Disamping itu kedua anaknya pun sudah terbiasa dengan perlakuan mereka berdua. Tanpa sadar keduanya meneteskan air mata menyaksikan dua insan yang cintanya selalu abadi itu. Akhirnya, mereka memutuskan untuk keluar dan memberi ruang hanya untuk mereka berdua.

“Kapan kamu sembuh?” Hanif perlahan duduk disamping ranjang Rumah Sakit.

“Kalau sembuh, memangnya mau apa?” Zayna menatap mata yang beberapa tahun ini begitu sayu termakan usia.

“Apapun, melakukan apapun asalkan bersama kamu.” balas Hanif lalu tangan itu mengangkat tangan lain yang tidak akan pernah bosan untuk digenggamnya.

Zayna menarik nafasnya dalam-dalam, “Sudah tua, waktunya istirahat. Kamu pulang saja.” ucapnya.

“Saya pulang, jika kamu pulang.” Hanif mengusap pipinya yang mulai basah karena air mata.

“Jangan sakit,”

Zayna mengusap rambut yang sudah memutih itu. Bibirnya selalu saja menampakan lengkungan manisnya. “Namanya manusia, gak selalu kuat kan? Jangan sedih, saya juga ikut sedih.”

“Zayn, kamu perempuan milik saya. Hanya milik saya dan akan selalu menjadi milik saya. Saya hanya mau bersama dengan kamu. Jangan hilang sekarang.” Iya, Hanif selalu mengatakan hal itu seumur hidupnya selama bersama Zayna.

Keduanya kini sudah terlihat sangat tua. Yang mereka butuhkan hanyalah waktu bersama untuk beristirahat. Berjemur dibawah sinar matahari dipagi hari, berkebun diwaktu luang, ataupun menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan di taman kota. Namun ternyata lain, dimasa tuanya mereka hanya menghabiskan masa hidupnya di ruangan bising ini. Terkadang tempat yang mungkin paling nyaman disini hanyalah taman yang tidak jauh dari bangunan ini berada.

Adzan Ashar mulai berkumandang. Hanif menengok ke arah jam dinding disudut sana. Melihatkan waktu yang akan semakin gelap.

“Saya mau sholat di Mushola. Tapi saya takut ketika kamu membutuhkan saya, saya sedang tidak berada disisi kamu. Mungkin saya bisa saja sholat disini. Tapi saya kasihan mungkin akan mengganggu waktu istirahat kamu.” ujar Hanif lalu beranjak dari posisi duduknya.

Ketika akan melangkah, tangannya tak bergerak karena Zayna yang terus menggenggamnya. “Disini saja.” pinta Zayna.

“Saya juga mau sholat. Imami saya mungkin untuk yang terakhir kalinya.” lanjut perempuannya.

“Jangan bicara seperti itu. Sampai kapanpun saya akan selalu menjadi imam kamu, Zayn.”

Hanif kembali menghampiri perempuannya. Membantunya untuk berada diposisi yang paling nyaman. Hamparan sejadah ia gelarkan disamping ranjang istrinya itu. Perlahan tangannya terangkat menyebut nama Sang Rabb.

“Allaahu Akbar...”

Hingga dipenghujung sholatnya, tubuh itu kian tak mau bangkit dari sujudnya. Tidak terdengar lagi deru nafas yang keluar dari hidungnya. Hening, hening sekali keadaan kala itu. Dan ia, perempuan terkasihnya pun terlihat tertidur sangat pulas diatas bangsal dengan warna serba putih yang khas. Air mata yang baru saja mengalir dan senyum yang selalu terukir indah dibibirnya.

Ternyata, mereka sama-sama pulang menuju rumah. Rumah yang akan selalu menjadi tempat peristirahatannya.

“Saya mau menua bersama...” Beberapa kalimat yang selalu teringat.

“Jangan hilang....”

“Saya pulang jika kamu pulang....”

Pintu kamar terbuka perlahan. Beberapa orang mulai memasuki kedalam ruangan. Keadaan sangat genting sebab mesin monitor dengan bunyinya yang semakin bising.

Zarina dan Zayyed sedang berusaha membangungkan sang ayah dari sujudnya. Mereka sama sekali tidak berpikir jika ayahnya juga ikut pulang bersama sang ibunda.

Tangan kekar itu meraih denyut nadi yang berada pada pergelangan tangan Hanif. “Gak ada, kak!” ujarnya.

“Apasih, Zay. Jangan becanda!” bentak Zarina kepada adiknya. Zayyed terdiam kaku dan seketika tubuhnya lemas. Mencoba kuat dengan apa yang baru saja terjadi.

“Gak mungkin kan, dek?” tanya Zarina masih tidak percaya.


“Buna, Ayah...” lirih Zarina sembari menahan tangisnya.

“Selamat menua bersama, selamat hari jadi pernikahan kalian. Selamat bertemu kembali kelak di Surga milik Allaah. Zee janji ayah, Zee janji sama buna.” lanjutnya dan tangisan itu seketika pecah.

Sesak juga sakit didadanya begitu menyeruak. Zayyed memeluk kakak perempuannya itu. Memcoba lebih kuat agar sedikit bisa menenangkan kakaknya, Zarina.

“Hal paling indah ketika Allaah menyuruh saya untuk pulang bersama jiwa milikmu, Zayna. Selamat tidur cantiknya saya.”

©morkihacoy