Saya Khawatir

Hanif melipat sajadah yang selalu ia bawa ketika berpergian keluar rumah. Dari kejauhan ada sosok pria dikursi ujung lorong sedang memperhatikannya, lalu perlahan melangkah ke arah Hanif.

Pria itu menepuk bahu milik Hanif, “Maaf sebelumnya, saya boleh duduk disini?” tanya pria itu. Hanif mengangguk dan tersenyum manis menjawab pertanyaannya.

“Oh iya, perkenalkan nama saya Rasyid.” lanjut pria yang ternyata bernama Rasyid.

“Hanif,” balas Hanif seraya membalas salam tangan dari Rasyid.

“Anu, kenapa kamu sholat disini? Bukannya ada Mushola, ya?” tanya Rasyid penasaran. Karena memang itu menarik perhatiannya. Hanif sholat disamping kursi tunggu didepan kamar Zayna dirawat. Entah apa yang ada dipikiran Hanif, sehingga ia memilih untuk beribadah ditempat itu.

“Oh, istri saya lagi sakit. Kalau saya sholat di Mushola, saya takut nanti istri saya merasakan sakit atau meminta bantuan saya tidak ada disampingnya. Kalau saya sholat didalam, saya takut menganggu istri saya istirahat, kasihan.” Jelas Hanif membuat Rasyid sedikit terkagum dengan ucapan yang Hanif lontarkan. Iya, sangat kagum melihat pria lain yang begitu mencintai istrinya sendiri.

“MasyaAllaah, saya kagum sama kamu. Oh iya, kamu kalau tidak salah ustadz pemilik Pesantren Al-Assalam, ya?” tanya Rasyid yang tidak asing dengan wajah Hanif.

Hanif tersenyum, lalu menunduk. “Bukan milik saya, itu milik ayah istri saya. Saya hanya disuruh menggantikan untuk mengurus Pesantren itu.” jelas Hanif.

“Loh, bukannya kamu juga anak Habib Samir?” Rasyid bertanya kembali.

“Iya, tapi Pesantren abi saya itu masih diurus oleh beliau.” balas Hanif. Rasyid hanya mengangguk paham.

“Kalau begitu, saya izin pamit, ya? Mau beli makanan keluar.” Kini Hanif mulai beranjak dari duduknya dan pamit kepada Rasyid. Rasyid tersenyum dan mempersilahkan Hanif pergi.

Harusnya saya juga seperti itu,” batin Rasyid.


Hanif membuka kantung belanjaannya dan memberikan salah satu minuman kepada istrinya.

“Lama banget!” protes Zayna.

“Maaf, tadi ada mas-mas ajak ngobrol saya. Kasihan dia sendirian.” balas Hanif perlahan tangannya menyuapi sesuatu kepada Zayna. Zayna menggeleng, menolak pemberian dari Hanif.

“Harus makan, biar sembuh.” pinta Hanif dengan nada sedikit meninggi. Melihat suaminya yang sepertinya akan marah jika ia tidak makan. Mau tidak mau, Zayna harus membuka mulutnya.

“Badan aku lengket banget belum mandi.” Zayna mengusap-usap keringat yang keluar dari belakang tengkuknya.

“Mau saya lap pakai air hangat? Biar nanti tidurnya nyenyak.” tawar Hanif lalu keluar untuk meminta handuk juga air hangat kepada suster.

Zayna tersenyum, tanpa diminta apapun. Laki-lakinya itu selalu tahu apa yang dia inginkan.

Hanif kembali dengan tanganya yang membawa handuk juga air hangat untuk Zayna. Tanganya mulai membuka kerudung yang Zayna kenakan. Ia mengusap wajah pucat itu dengan handuk tadi.

“Kamu baru beberapa hari sakit aja, sudah kurusan badannya. Saya bilang juga apa, kan? Sesibuk-sibuknya kamu melayani permintaan client -client kamu. Harus tetap makan, minum juga yang banyak. Kamu itu suka lupa semua kalau sudah sibuk. Kayak saya dong, sibuk-sibuk juga harus makan. Apa aja dimakan walaupun cuma sedikit.” Hanif mulai mengoceh dan ya, Zayna hanya memutar matanya karena mendengar ocehan suaminya itu.

“Iya, bawel.” balas Zayna.

Selesai membersihkan tubuh Zayna. Hanif baru akan memulai makannya. Ia sebenarnya sedari tadi ia sedang menahan lapar. Tapi, melihat Zayna yang sulit untuk makan. Maka, ia harus memaksanya dan menyuapi Zayna agar mau.

Kini Zayna sudah terlelap dalam tidurnya. Walaupun wajahnya begitu pucat, cantiknya tidak hilang. Hanif menciumi seluruh sudut yang ada pada wajah pucat itu. Ia masih khawatir dengan kondisi istrinya. Walaupun, menurut dokter kondisi Zayna kian membaik. Tapi, wajah milik istrinya itu tidak bisa berbohong. Zayna terlihat sangat kesakitan. Tubuhnya yang selalu lemas, bahkan untuk duduk saja perlu Hanif bantu.

“Sembuh ya, cantik?” Ia tidur dikursi samping ranjang. Hanif sangat takut jika terjadi apa-apa pada istrinya itu. Maka, apapun itu akan dia lakukan, walaupun dirinya juga yang akan merasa sakit.

©morkihacoy