Demi Kamu
Hanif perlahan membuka pintu utama rumahnya. Ia sangat hati-hati karena takut anak perempuannya atau istri tercintanya itu sedang beristirahat.
Ditangannya, ia membawa sebuah kantung plastik yang berisikan sate untuk Zayna. Namun, tadinya akan ia simpan didalam lemari es dan keesokan harinya ia akan menghangatkannya kembali.
Ternyata, istrinya itu sedang bersantai didepan televisi sembari memakan sebuah cemilan ringan ditangannya.
“Assalamu'alaikum,” ucap Hanif seraya memeluk dan mencium Zayna.
“Wa'alaikumussalam,” balas Zayna.
“Saya kira kamu sudah tidur sama Zee. Ini satenya.” tawar Hanif lalu netranya menatap wajah Zayna. Berharap mendapat senyuman cantik karena sudah memberikan apa yang istrinya itu inginkan.
“Lukman gak pake sarung kan?” tanya Zayna dengan tatapan tajam ke arah Hanif.
“Ngga, ini fotonya.” Hanif menunjukan sebuah foto seseorang dengan pakaian baju koko, kopeah hitam, dan tidak lupa dengan celana pendek yang sedang orang itu kenakan.
“Mau makan sekarang?” lanjut Hanif lalu melangkah kakinya menuju ke arah dapur, namun langsung dihentikan oleh jawaban dari istrinya.
“Gak usah!”
“Lho, mau buat besok saja satenya?” tanya Hanif kembali menghadap ke arah Zayna.
“Ngga, cuma mau liat aja sate buatan Lukman. Tapi, kalau kamu mau makan, tinggal makan aja. Aku gak mau.” jelas Zayna memudarkan senyum milik Hanif.
Hanif memutarkan bola matanya seraya tersenyum paksa dihadapan Zayna. “Oke, gak apa-apa demi kamu.” ujarnya menahan emosi.
Setelah perbincangan tersebut, Hanif segera membersihkan tubuhnya yang sudah sangat legket karena keringat. Walaupun sebenarnya, ia tidak memiliki bau badan seperti, tidak memakai wewangian ataupun jarang mandi. Namun, Zayna akan selalu menganggapnya bau. Iya, akhir-akhir ini sikap istrinya itu berubah 180° dari biasanya.
Hanif sengaja tidak memakai kaos tidur dan membiarkan dada bidangnya itu bisa terlihat oleh Zayna. Zayna yang sedang fokus membaca buku, kini beralih ke arah sosok pria dengan gestur tubuh tinggi yang berada disampingnya sekarang.
“Pake baju!” pinta Zayna.
“Wangi gak?” Hanif malah bertanya.
“Bau.” balas Zayna singkat. Kini tubuh itu sedikit menjauh dari Zayna dan sesekali menciumi bau badannya. Walaupun, ternyata yang ia hirup adalah wangi dari sabun yang tadi ia pakai ketika mandi.
“Ngga bau,” gumamnya pelan.
“Zee kemana, bun?” lanjutnya ketika sadar tidak ada kehadiran anak perempuannya itu.
“Mau tidur di rumah Umi. Soalnya, dia besok mau ikut sama santri-santri senam.” balas Zayna.
“Lho, berarti dari tadi saya di Pesantren. Ada Zee disana?” tanya Hanif kebingungan. Zayna hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari suaminya itu.
“Berarti, boleh dong peluk cium?” goda Hanif seraya mendekatkan wajahnya ke arah wajah Zayna yang sibuk membaca buku.
“Boleh,” Zayna tidak menolak.
Perlahan wajah itu saling mendekat. Hanif berhasil mencium benda kenyal yang selalu menjadi spot favorite nya itu. Namun, baru saja beberapa detik ia akan melanjutkan kegiatannya. Zayna mendorong dengan keras tubuh Hanif sehingga lebih menjauh darinya.
“IH KOK CIUM AKU?” bentak Zayna yang sontak membuat Hanif terkejut.
“Kan tadi aku udah izin?” Hanif menjawab dengan nada suara yang sedikit bergemetar. Karena, memang baru kali ini ia melihat dan mendengar istrinya semarah itu.
“GAK SOPAN!” Kini Zayna beranjak dari duduknya dan pergi keluar kamar meninggalkan Hanif yang masih kebingungan.
“Saya kan suami kamu.” gumamnya pelan, lalu mengikuti langkah tubuh yang kini sedang berisi anak keduanya itu.
“Aku kan udah izin, sayang.” Lagi-lagi suara serak itu terdengar ditelinga milik Zayna. Zayna menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arah Hanif.
“Iya ya?” tanya Zayna kebingungan. Lalu membalik badannya untuk kembali menuju kamar.
“Mau kemana lagi?” ujar Hanif yang sudah benar-benar pusing dengan tingkah laku istrinya itu.
“Ke kamar lah! Katanya mau cium?”
“Oh iya, ayo!” Iya, kini dengan jawaban yang Zayna berikan membuat senyumnya terukir kembali.
Walaupun, ia tidak biasa dengan sikap baru dari istrinya. Ia akan tetap menanggapinya dengan sabar. Iya, selalu terbisik ditelinganya, “Demi kamu, Zayna.”
©morkihacoy