Saya, penggantinya

Zayna menjatuhkan badannya keatas ranjang, setelah setengah hari dia menyelesaikan tugas kuliahnya. Walaupun belum seratus persen selesai.

Netranya menatap langit-langit kamar. Sesekali ia memejamkan matanya dan menghela nafasnya dengan kasar. Baru saja ia akan benar-benar terlelap dalam keheningannya. Suara pintu terbuka berhasil membuat Zayna kembali membuka matanya dan melirik ke arah sumber suara tersebut.

“Ada tamu di bawah!” Iya, suara selanjutnya yang terdengar adalah suara Nizam. Nizam kembali keluar dari kamar adiknya itu dan menutup pintunya dengan rapat.

Zayna beranjak bangun dari tidurnya dan merapikan pakaiannya yang sempat berantakan.

“Siapa sih?” tanyanya kepada diri sendiri.

Satu per satu anak tangga ia turuni. Langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang baru saja datang. Tidak asing, tapi dia memang tidak mengenal sosok itu.

“Nah, Zayna sini, nak!” pinta pria dengan style kaos putih oblong, sarung, dan juga kopeah putih dikepalanya. Itu abi Zayna.

Zayna kembali melangkah dan duduk dikursi samping yang tidak terlalu jauh dari sang abi.

“Ini Zayna, Jahiz.” Faiz mengenalkan putri bungsunya ini kepada pria yang sedari tadi sosoknya menjadi perhatian Zayna.

Kemeja berwarna biru donker sangat serasi dengan celana pensil hitam yang pria itu kenakan. Jam tangan yang juga sangat cantik dipergelangan tangannya. Membuat Jahiz─pria yang dimaksud Zayna─terlihat sangat tampan. Tapi, bagaimana pun penampilannya. Pria itu tidak akan bisa mengalahkan penampilan Hanif yang sederhana. Cukup kemeja atau baju gamis dan sarung yang Hanif gunakan. Sudah membuat siapapun yang melihatnya akan luluh dan kagum.

“Ini Jahiz, yang akan menggantikan ustadz Hanif.” jelas Faiz kepada Zayna. Zayna hanya menunduk tidak terlalu memperhatikan kedua orang yang ada disamping kanan-kirinya itu.

“Salam kenal Zayna, saya Jahiz yang akan menggantikan ustadz Hanif untuk membimbing kamu.” Jahiz mulai berbicara. Tapi tetap, bibir tipis Zayna masih tertutup.

“Mungkin mulai hari ini saya bisa mengajarkan kamu, Zayna.” lanjut Jahiz.

Mengetahui urusannya sudah selesai, Faiz beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka berdua untuk saling mengenal dan membahas apa saja yang mungkin akan mereka pelajari nanti.

“Mau minum apa?” bukan membalas pernyataan dari Jahiz. Zayna malah menawarkan kepada Jahiz. Supaya dirinya dan pria itu tidak banyak mengobrol.


“Maaf ya, kayaknya aku harus pergi sekarang, ada urusan. Jadi, untuk hari ini aku gak bisa belajar dulu.” Zayna menatap ponselnya yang sudah berdering sejak tadi.

“Kalau boleh saya tahu, ada urusan kemana ya? Biar saya yang antarkan.” tawar Jahiz.

“Mau kemana?” Kini Faiz kembali penghampiri dua orang yang sedari tadi terlihat sangat asing.

“Mau ke-” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Faiz sudah memotong perkataan Zayna.

“Biar Jahiz yang antarkan kamu. Tidak apa-apa kan, Nak Jahiz?” Jahiz hanya mengangguk mendengar pernyataan dari Faiz.

“Abi, tapi kan-” Lagi-lagi Faiz memotongnya.

“Kamu dibelakang, Jahiz yang menyupir. Tidak ada penolakkan. Abi, cuma takut kamu kenapa-kenapa di jalan nanti.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Zayna pergi meninggalkan Faiz dan disusul oleh Jahiz dibelakangnya.

Zayna terdiam didalam kendaraan berwarna hitam milik Jahiz. Netranya menatap setiap sujud jalan kota Bandung. Suasananya baru saja selesai turun hujan. Namun, masih banyak orang-orang yang berlalu-lalang di jalan tersebut. Jalan yang selalu menjadi tempat Zayna berkeluh kesah, jikala ia merasa tidak baik-baik saja. Sekedar berjalan-jalan kecil di pinggir jalan Braga sudah membuat suasana hatinya sedikit membaik. Melihat banyaknya lukisan-lukisan dari tangan trampil yang indah. Zayna sudah merasa cukup tenang.

“Mau kemana kita?” tanya Jahiz sembari melihat sosok perempuan dibelakangnya dari kaca mobil.

“Jalan aja.” Zayna membalas dengan seadanya. Ia kembali hanyut dalam suasana khas Bandung sehabis hujan itu.

©morkihacoy