Belajar Dulu, Baru Peluk
Zayna menutup Al-Qur'an yang memiliki warna putih dan emas, setelah ia mengoreksi hafalan yang baru beberapa ia kuasai. Sebisa mungkin, walaupun ia sibuk dengan kepekerjaannya sebagai istri juga seorang pelukis. Dirinya selalu meluangkan waktu untuk bermurojaah serta menambah hafalannya.
Suara mesin mobil mulai terdengar dari kejauhan sana. Sesegera mungkin ia beranjak bangun dari duduknya dan menghampiri kearah sumber suara tersebut. Ia sudah mengira, bahwa itu adalah suaminya yang baru saja pulang.
“Assalamu'alaikum,” ujar seseorang dari balik pintu. Zayna perlahan membuka pintu rumahnya seraya menjawab salam dan didapati seseorang dengan kemeja juga celana kain yang sedang berdiri tegap didepan Zayna.
Raga kedua insan itu mulai mendekat. Hanif menciumi setiap bagian sudut yang ada pada wajah istrinya itu. Zayna memeluk Hanif dengan erat.
“Kalau cape, besok aja ngajar akunya.” tawar Zayna karena kasihan melihat raut wajah Hanif yang terlihat sangat kelelahan.
“Gak apa-apa,” balasnya lalu menggandeng tangan perempuannya itu.
“Saya bersih-bersih dulu, ya?” Zayna memberikan handuk yang berukuran cukup besar kepada Hanif. Lagi-lagi Hanif malah mencium kening milik istrinya itu.
___
“Waktu belajar sama ustadz Jahiz, baru sampai materi apa?” tanya Hanif yang tidak sadar membuat raut wajah Zayna berubah menjadi kesal.
“Kok, saya tanya gak dijawab?” lanjutnya masih fokus membuka beberapa lembaran buku yang sedang ia genggam ditangannya.
Merasa tidak mendapat jawaban apapun. Hanif mengalihkan pandangannya kepada Zayna. Ternyata, perempuannya itu sedang menampakkan wajah yang terlihat sangat kesal, sembari memajukan sedikit bibir kecilnya kedepan.
“Cantiknya saya ternyata lagi cemberut. Pantes gak jawab, mau di sun ya?” Bukan malah menenangkan istrinya. Hanif malah menggoda Zayna, yang langsung mendapat cubitan kecil kearah perutnya.
“Sakit,” keluh Hanif sembari memegangi perutnya yang sebelumnya mendapat cubitan dari Zayna.
“Bukan ustadz!” ketus Zayna.
“Siapa?” tanya Hanif pura-pura tidak paham dengan kalimat yang Zayna katakan.
“Si J,” Hanif malah tertawa mendengar Zayna yang tidak mau menyebutkan nama Jahiz. Mungkin, karena Zayna masih sangat marah atas kejadian beberapa waktu lalu, yang juga membuatnya sedikit ketakutan.
“Iya, iya, Si J.” Hanif mengikuti kalimat Zayna agar istrinya itu tidak terlalu kesal.
“Sampai mana materinya?” tanya laki-laki itu lagi.
Zayna masih tidak mau menjawab, “Ya sudah, kita belajar materi... Oh jangan, saya ceritain aja kisah Siti Aisyah sama Rasulullah, mau?”
Zayna mengangguk kearah Hanif. Hanif menepuk-nepukan pahanya agar Zayna bisa menidurkan kepalanya diatas paha miliknya. Zayna membetulkan posisi kepalanya. Hanif mengusap lembut mukena yang menjadi penutup rambut panjangnya itu.
“Jadi waktu itu, Aisyah ikut keluar bersama Nabi. Rasul mengajak Aisyah bertanding lari untuk yang kedua kalinya. Sebelumnya mereka sudah pernah melakukan ketika menuju perjalanan ke Madinah.” Hanif mulai menceritakan kisah tersebut kepada Zayna. Tangannya menggenggam tangan milik perempuannya itu. Zayna masih semangat mendengarkan suaminya yang sedang bercerita itu.
“Kali ini, Nabi yang menang. Karena tubuh Aisyah sudah padat dan berisi, Aisyah kalah. Dia cemberut, kayak kamu!” Disela-sela sedang bercerita. Hanif malah mencubit kecil hidung istrinya itu. Zayna kembali kesal.
“Tapi, Nabi malah meledeknya dengan senyuman. Karena waktu dulu Aisyah yang menang. Sekarang gantian jadi Nabi yang menang. Nabi itu, sangat mengetahui karakter Siti Aisyah. Dia tahu kapan jiwa perempuannya itu sensitif, tahu ketika bahagia. Ini salah satu kalimat romantis dari Nabi untuk Aisyah, 'Aku tahu kapan kamu marah, kapan kamu bahagia.' Kata Nabi gitu.” Zayna tersenyum ketika Hanif menekan setiap kalimat yang mungkin ditujukkan juga untuknya.
“Aisyah bingung, terus bertanya, 'Bagaimana bisa mengetahui suasana hati yang aku sembunyikan begitu rapi?' terus Nabi jawab, 'Jika sedang marah, kau bersumpah Demi Tuhan Ibrahim. Jika hatimu sedang lapang kau bersumpah Demi Tuhan Muhammad.”
“Ini kalau kamu bisa bilang gini pol deh jadi istri saya.” Hanif tersenyum kepada Zayna yang masih menidurkan kepalanya di atas paha Hanif.
“Apa?” tanya Zayna penasaran.
“Demi Allaah, Wahai Rasulullaah, hanya namamu yang tertinggal dihatiku.” Belum sempat melanjutkan kalimat selanjutnya Zayna malah mengikuti kalimat yang baru saja Hanif katakan.
“Demi Allaah, wahai sayangku, gantengku, suaminya aku hanya namamu yang tertinggal dihatiku.” ucapnya kala mendapat senyuman manis dari bibir Hanif.
“Karena nurut, nanti bonus dapet peluk.” balas Hanif lalu melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong oleh Zayna.
“Kisah ini juga pernah di tuliskan dalam sebuah Hadist “Saya biasa mandi bersama Nabi di satu bejana dengan satu gayung, yang di sebut faruq,” Hadist Riwayat Bukhari.” lanjut Hanif.
“Oh mau mandi...” Zayna menggantungkan kalimatnya, “Ga jadi.” Merasa malu dengan kalimatnya Zayna mengurungkan kembali niatnya. Hanif lagi-lagi tersenyum melihat tingkah lucu perempuannya ini.
“Sudah ceritanya, saya mau peluk!” Hanif merentangkan tangannya. Mendekap tubuh ramping itu untuk lebih mendekat dengannya. Sesekali mencium pipi kemerahan itu dari sisi kanannya. Zayna yang merasa geli langsung menahan dengan tangannya. Mereka tertawa bahagia dikeheningan malam. Keduanya saling menatap. Hanif menidurkan tubuh itu disampingnya. Menciumi kembali semua sudut yang ada pada Zayna.
“Cantik,” gumamnya pelan.
©morkihacoy