morkihacoy

Zayna sudah siap dengan posisi duduk di atas sofa cokelat kemerahan di ruang tamu, tempat biasa Zayna dan Hanif belajar. Hanif masih belum melihatkan batang hidungnya untuk saat ini.

“Semangat banget deh!” Nizam menghampiri sang adik yang sedang menunggu kehadiran Hanif.

“Apasih!” balas Zayna ketus.

“Assalamu'alaikum,” Suara yang ditunggu-tunggu pun terdengar diiringi dengan suara ketukan dari belakang pintu.

“Wa'alaikumussalam, suh suh sana pergi!” Zayna mendorong tubuh tinggi Nizam, meminta kakak keduanya itu untuk segera beranjak pergi dari hadapannya sekarang.

Zayna merapikan pakaiannya juga hijab berwarna peach cantik yang ia gunakan hari ini. Kakinya perlahan melangkah menuju pintu untuk mempersilahkan Hanif masuk.

“Masuk, ustadz!” pinta Zayna.

“Ada siapa?” Hanif melihat keadaan sekitar memastikan ada penghuni lain di rumah milik perempuan yang ada lumayan jauh dari tempatnya ia berdiri sekarang.

“Ada umi sama mas Nizam.” balas Zayna lalu melangkah masuk terlebih dahulu dan diikuti Hanif dari belakang.

“Aku udah siap, pokoknya kalau gak bener semua. Ustadz hukum aku aja kaya santri-santri yang lain, oke?” ujar Zayna dengan raut wajah yang penuh dengan semangat. Hanif untuk pertama kalinya melihatkan senyumannya yang sangat indah, berbeda dengan senyum yang biasanya.

“Bismillaah, saya mulai ya? Tutup bukunya!” ucap Hanif lalu merampas dengan lembut buku hitam yang sedari terbuka dan tersimpan dihadapan perempuan cantik itu. Zayna hanya tertawa malu.

“Satu, perang uhud terjadi pada hari sabtu bulan?” Hanif mulai melontarkan satu per satu pertanyaan yang sebelumnya sudah ia siapkan terlebih dahulu.

Zayna terdiam, “Aduh aku kan hafalin yang cantik luar dalam itu!” gumamnya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Bulan apa?” Hanif mengulang pertanyaannya.

“Bulan Sya... Rajab tahun 3 H!” jawab Zayna asal.

“Salah cantik,” Zayna terdiam ketika kata terakhir yang Hanif ucapkan itu. Cantik? Kini pipi miliknya mulai memerah.

“Kamu salah. Seharusnya bulan Syawal tahun 3 H.” jelas Hanif masih belum sadar dengan kalimat sebelumnya yang ia katakan.

“Pertanyaan kedua, hukum hawian dalam islam?” Hanif memalingkan tatapannya kepada Zayna lalu menunduk kembali.

note: hawian itu artinya pacaran

“Haram. Makanya harus cepet-cepet dihalalin aja biar gak jadi zina!” Zayna menjawab dengan raut wajah yang sangat percaya diri. Hanif menunduk malu karena merasa tersindir dengan beberapa kalimat terakhir yang Zayna ucapkan.

“Iya, jawaban kamu benar,” balas Hanif masih menunduk.

“Lanjut. Menjelang terjadinya hari kiamat, terdapat hari-hari dimana salah satunya adalah Al-Haraj. Nah, Al-Haraj itu artinya apa?” Hanif lagi-lagi menatap Zayna sekilas. Yang ditatap memalingkan wajahnya seraya berpikir keras untuk menjawab pertanyaan dari laki-laki itu.

“Gak tau ah!” keluh Zayna.

“Loh, kok langsung nyerah gitu? Apa saja setahunya kamu. Kalau salah saya benarkan kan?” ujar Hanif untuk bisa menyakinkan perempuan yang sedari tadi memainkan bolpoint ditangannya.

“Pembunuhan?” lagi-lagi Zayna menjawab asal. Namun, ternyata jawabannya itu tidak meleset. Hanif mengangkat jempolnya, pertanda jawaban Zayna benar.

“BENER, USTADZ?” tanya Zayna dengan nada suara yang lumayan tinggi. Hanif hanya mengangguk sebagai jawaban.

“ALHAMDULILLAAH, IH PADAHAL AKU TUH ASAL JAWAB AJA TAU, USTADZ!” lanjut Zayna. Kali ini dia berdiri dan meloncat-loncat kegirangan.

Hanif tersenyum melihat kelakuan Zayna, “Lucu ya? Mungkin gak seberapa tapi segitu saja dia sudah senang dan mau berusaha menjawab.” batin Hanif.

“Terakhir, Kiraman Katibin julukan untuk malaikat?”

“Eum, apa yah? Aku mau jawab tapi takut salah.” Zayna mengurungkan niatnya.

“Jangan takut salah!” balas Hanif meyakinkan Zayna.

“Raqib dan Atid ya?” jawab Zayna seraya menggigit bibirnya berharap jawabannya itu benar.

“Iya benar,” balas Hanif. Belum sempat mau menjelaskan lebih detail. Zayna sudah meloncat lagi karena kegirangan.

“YEAY! DAPET HADIAH,, DAPET HADIAH,,” girangnya lalu menepuk kedua tangannya. Merasa malu ia langsung kembali duduk di tempat posisinya diawal.

“Hehe,” tawa Zayna malu.

“Hadiahnya nanti saya chat saja ya? Sudah malam, saya harus pulang dan kamu juga harus istirahat. Jangan lupa lakukan kebaikan sebelum tidur. Mungkin tidak perlu saya jelaskan?” Hanif berusaha memalingkan wajahnya ketika Zayna menatapnya dengan penuh harapan.

“Gapapa, hehe Jazakallaah Khair, ustadz.” Zayna membereskan keadaan disekitarnya yang lumayan berantakan karena kelakuannya tadi.

“Saya pamit, Assalamu'alaikum.” tanpa basa-basi lagi Hanif pergi meninggalkan Zayna.

“Wa'alaikumussalam...” Zayna masih menatap bayang-bayang tubuh Hanif dari belakang yang mulai memudar dari pandangannya. Ia kembali mengukir senyumnya. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang sedari tadi datang begitu saja ketika ia bertemu dengan Hanif.

©morkihacoy

Zayna terbangun dari tidurnya lalu melihat Hanif sedang terduduk diatas sajadah sembari mengangkat kedua tangannya.

Diam-diam tubuh kecil itu mendekat ke arah Hanif.

“Kamu kok gak bangunin aku?” tanya Zayna sembari memeluk Hanif dari arah belakang.

“Kasihan, kamu tidurnya semalem kan jam dua belas lebih. Karena ngejar deadline pesanan lukisan kamu.” balas Hanif lalu membetulkan posisinya menghadap ke arah Zayna. Diciumnya kening milik Zayna dan memeluk kembali erat tubuh itu.

“Jangan cium bibir ya!” pinta Zayna.

“Kenapa?”

“Aku belum sikat gigi.” jelas Zayna sembari mengarahkan telunjuknya ke arah gigi.

“Sholat di rumah ya hari ini?” manja Zayna agar Hanif menuruti permintaannya.

“Iya, cantik. Sambil nunggu adzan kamu bersih-bersih dulu, terus murojaah dulu sebentar.” balas Hanif menyuruh Zayna untuk cepat-cepat ke kamar mandi.

Selesai sholat subuh, Zayna langsung membereskan alat sholat miliknya dan bergegas menuju ke lemari baju.

“Mas, aku keluar dulu ya sebentar lagi?” selanya sembari mencari-cari baju yang akan ia kenakan.

“Kemana sayang?” Hanif mengalihkan pandangannya dari buku Hadist yang sedang ia baca ke arah tubuh Zayna yang sedang sibuk memilah-milih baju.

“Ke warung.” balas Zayna lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.

“Pagi banget, emang udah buka?” tanya Hanif penasaran.

“Gak tau, makanya aku cek dulu.” jelas Zayna lalu mengunci pintu kamar mandi.

Hanif melanjutkan membaca lembaran buku yang ia genggam. Tidak mencurigai perkataan Zayna. Karena sebenarnya, Zayna akan pergi ke apotik di depan komplek perumahannya untuk sekedar membeli alat pengecek kehamilan, tespek.

“Aku berangkat ya?” izin Zayna lalu mencium tangan suaminya.

“Gak perlu saya antar?” tawar Hanif. Namun, Zayna hanya menggeleng sebagai jawaban tidak perlu.

“Hati-hati ya?” Hanif mencium kembali kening milih Zayna.

Zayna melangkah dengan terburu-buru. Takut Hanif mengikutinya dari belakang. Zayna sengaja menyembunyikannya karena jika nanti hasilnya positif. Ini akan menjadi kejutan untuk Hanif. Sebenarnya ia sangat takut untuk mencobanya. Namun, dibulan ini hari 'libur' nya tidak kunjung datang. Ia telat datang bulan.

Sesampainya ia di rumah. Zayna langsung menuju ke arah kamar kecil. Hanya memberi salam dan menghiraukan Hanif yang ada di hadapannya tadi.

“Loh, belanjaannya mana?” tanya Hanif kebingungan. Zayna tidak menjawab.

Ia perlahan membuka bungkus yang membaluti alat tersebut. Bingung bagaimana cara memakai alat yang sedang ia genggam ditangannya itu. Perlahan matanya membaca setiap kata yang ada di belakang bungkus berwarna merah muda itu.

“Gimana sih?” tanyanya kepada diri sendiri sembari membulak-balikkan bungkus.

“Oh,” ujarnya kala paham setelah membaca petunjuk dibelakang bungkus.

“Ih, kok gak ada garisnya? Jangan-jangan gak jadi lagi.” keluh Zayna kala melihat alat tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang mengandung.

“Jelek nih!” lanjutnya sembari melempar alat tersebut ke sembarang arah, lalu sesegera mungkin mencuci tangannya di wastafel yang ada di kamar mandi.

“Sayang, ini tukang sayurnya emang belum buka ya? Saya belanja aja ya ke mini maret?” terdengar teriakan dari arah dapur.

“Ngga usah sayang, aku aja. Sebentar aku lagi pipis dulu.” balas Zayna langsung membersihkan bajunya dan membuka knop pintu kamar mandi.

“Lama banget,” protes Hanif. Zayna hanya tersenyum ke arah Hanif sebagai jawaban.

“Kamu diem aja, mas. Biar aku ke depan sendiri.” pinta Zayna sembari mengantar Hanif untuk duduk di kursi meja makan.

“Saya ikut!” Hanif membantah.

“Ga!” ketus Zayna dengan muka marah namun berganti menjadi senyum terpaksa. Hanif memang tidak bisa membantah permintaan Zayna. Jika Zayna mengatakan iya, berarti iya. Kalau tidak, ya tidak.

Zayna pergi meninggalkan Hanif sendirian di rumahnya. Sebenarnya, nanti siang Hanif di undang dalam acara dakwah di pesantren sekitar kota Bandung.

Entah mengapa hari ini dia tidak mau berjauh-jauh dari sosok Zayna. Dirinya selalu tertarik untuk selalu ada di samping perempuannya itu.

Hanif beranjak dari duduknya lalu pergi ke kamar kecil. Sesampainya di sana, ia melihat benda yang cukup panjang mirip sebuah termometer. Tangannya beralih untuk mengambil alat aneh tersebut.

“Zayna sakit?” tanyanya kepada diri sendiri.

“Eh, bentuk termometer terbaru emang gini ya?”

“Oh, bukan. Garis dua...”

“Garis dua??” Hanif terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Zayna hamil?

“Ya Allaah,” ujarnya lalu berlari keluar untuk menghampiri Zayna. Tapi, ia lupa Zayna sedang tidak ada di rumah.

Dengan sigap, ia langsung mengambil kunci mobil dan pergi menuju mini market untuk menjemput Zayna.

Begitu sampai, ia masuk dan menghiraukan salam dari petugas kasir yang biasanya selalu menyapa para pelanggan.

Melihat sosok itu dari kejauhan. Hanif langsung menghampiri perempuan yang ia maksud.

Ia memeluk dari arah belakang, “Astagfirullaah, kaget. Ngapain kesini?” tanya Zayna terkejut dengan kedatangan Hanif yang mendadak.

“Jemput kamu!” balas pria yang kini malah bersikap manja di tempat yang bukan semestinya.

“Aneh,” balas Zayna lalu memilih bahan apa saja yang ia butuhkan untuk satu minggu kedepan.

Hanif mengandeng tangan kecil milik Zayna. Netranya tidak berpaling dari perut datar perempuannya. Sebenarnya ia pura-pura bersikap tidak tahu akan kehamilan Zayna. Karena Hanif berpikir Zayna akan memberikan kejutan seperti kebanyakan istri ketika dirinya sedang mengandung.

“Apasih?” tanya Zayna risih karena sedari tadi Hanif terus mengikutinya.

“Mau apa? Mau susu?” tawar Zayna kepada suaminya. Hanif menggeleng.

“Kayak bayi aja ngintilin aku!” protes Zayna.

Hanif terus saja menggoda Zayna. Ia tidak sabar Zayna akan memberitahu dirinya tentang bayi kecil yang sekarang berada di perut Zayna.

©morkihacoy

18+ paham kan?

Hanif mengikuti langkah Zayna yang sedang menikmati semilir angin pantai di sore hari.

Pandangannya tidak lepas dari sosok itu. Sosok yang sampai kapan pun akan menjadi teman hidupnya di sini dan di surga nanti.

“Cantik, udah sore. Kita pulang ke hotel ya?” Hanif melangkahkan kakinya lebih cepat agar sejajar dengan tubuh Zayna.

“Nanti, mau foto dulu!” pinta Zayna sembari mengeluarkan kamera yang ia bawa sedari tadi.

“Sini biar saya yang fotoin kamu,” tawar Hanif dan mengambil kamera yang diberikan Zayna.

Satu per satu jepretan foto pun ia ambil, “Cantik, kamu selalu cantik!” bisik nya diam-diam.

Zayna sosok yang memang bisa dibilang hampir sempurna. Wajahnya cantik sekali, ditambah sinar matahari yang kian mulai tenggelam.

“Udah?” tanya Zayna.

Hanif buyar ditengah lamunannya, “Udah, sayang.” balasnya.

Mereka kembali menuju hotel yang letaknya tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Zayna yang meminta hotelnya untuk tidak jauh dari indahnya pantai. Hanif tidak mungkin menolak. Maka dari itu, ia berusaha mencarinya sampai dapat. Walaupun sulit, karena hotel sekarang sedang penuh oleh pengunjung yang juga ikut berlibur di akhir pekan.

“Mas,” panggil Zayna setelah melaksanakan sholat isya berjama'ah bersama suaminya.

“Kenapa sayang?” lagi-lagi panggilan itu terdengar di telinga milik Zayna. Ia tersenyum setiap kata itu keluar dari bibir Hanif.

“Hehe,” Zayna malah tertawa malu. Hanif menarik sejadah yang ada dihadapannya itu, mendekati tubuh perempuannya dan mencoba mencium bibir tipis milik Zayna. Namun, sesegera mungkin Zayna menutupnya.

“Loh, gak boleh ya?” tanya Hanif heran.

“Cantik, saya haus. Boleh minta ambilin minum?” pinta Hanif. Zayna mengangguk.

“Air put-” kalimat itu terpotong kala Hanif memberitahunya dengan cepat, “Susu!” Zayna kembali mengangguk.

Zayna pergi menuju dapur hotel. Karena dari pihak hotel sudah menyediakan sedikit makanan ringan juga minuman seperti susu. Maka, Zayna tidak perlu pergi keluar untuk membelinya. Zayna kembali menghampiri Hanif.

“Ini,” ujar Zayna dan memberikan segelas susu itu kepada Zayna. Setelah meminum, ada setengah gelas lagi susu itu dan Hanif memberikannya kepada Zayna. Zayna tidak menolak dan meminumnya sedikit.

Hanif mengelus lembut pipi kemerahan milik Zayna. Tangannya terus menjelajahi setiap sudutnya. Dan terakhir, ia meletakkan tangan kanannya di atas ubun-ubun (nasyiyah) istrinya seraya menyebut nama Allaah dan mendoakan dengan keberkahan.

Hanif mulai membacakan doanya, “Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih.

Ya Qolbii, boleh ya?” tanyanya kepada Zayna. Zayna paham akan maksud suaminya itu.

Hanif menarik tangan Zayna, untuk melaksanakan sholat sunnah dua rakaat berjama'ah. Lagi-lagi setelahnya ia berdoa kepada Allaah untuk keberkahannya bersama istrinya, Zayna.

Zayna bangkit dari duduknya, “Aku ke kamar mandi dulu ya, mas?” ujarnya sembari melipat sajadah dan mukena miliknya. Hanif mengangguk.

Sudah 5 menit Zayna berada di dalam kamar mandi. Hanif terbaring diatas ranjang sembari menunggu Zayna keluar dari kamar mandi.

Suara pintu terbuka, membuat Hanif melihat ke arah sumber suara tersebut. Ia tersenyum kala melihat Zayna, yang entah mengapa malam ini begitu bersinar wajahnya.

Zayna duduk di samping ranjang, tidak berani menatap Hanif.

Hanif mencoba mendekatinya. Memeluk tubuh ramping itu dari arah kanan dan menciumi tengkuk milik Zayna.

“Kamu wangi,” ucap Hanif ditengah aktivitasnya.

“Masa?” tanya Zayna mencoba bersikap biasa saja.

“Zayn, boleh ya?” lagi-lagi pertanyaan itu terucap dari bibir Hanif. Zayna mengangguk tidak menjawab.

Ia membawa Zayna kedalam dekapannya. Memindahkan posisinya menjadi tepat ditengah ranjang. Tangannya mulai menarik selimut putih untuk menutupi tubuhnya bersama Zayna.

Allahumma jannibnasy wa jannibisy syaithon maa rozaqtanaa.” Hanif mencium kening Zayna yang berada tepat dibawahnya.

Hanif mulai menuntun Zayna. Tangan Zayna gemetar kala Hanif melakukan kegiatannya. Hanya takut yang ia rasakan saat ini. Matanya sesekali terpejam menahan sakit di bawah sana.

Melihat itu, Hanif menghentikan aktivitasnya kala melihat Zayna merintih kesakitan.

“Maaf,” ucap Hanif.

“Gapapa, gapapa sayang.” balasnya sembari tersenyum dan mencium sekilas bibir merah milik Hanif. Hanif kembali melanjutkan aktivitasnya. Melakukan secara perlahan dan sebisa mungkin menahan nafsunya untuk menjaga perasaan Zayna.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.45 pagi. Terdengar samar-samar suara Adzan pertama berkumandang. Pandangannya tidak beralih dari Zayna yang masih terbangun. Hanif kembali mencium tengkuk milik Zayna. Ia menghentikan aktivitasnya dan mengubah posisinya disamping Zayna.

“Saya sayang sekali sama kamu. Terima kasih, Zayna. Terima kasih untuk segalanya.” ucapnya menatap mata milik Zayna. Zayna membalas dengan senyuman.

Malam ini, menjadi malam yang sangat indah bagi sepasang insan ini. Bintang dan bulan pun ikut menjadi saksi atas cinta mereka yang tersalurkan lewat rasa.

©morkihacoy

Hanif melipat sajadah cokelat miliknya dan meletakkannya pada tempat yang sudah ia sediakan. Melihat sang istri yang masih terduduk di hamparan sajadah ungu dan merah mudah milik Zayna. Hanif menghampiri dan duduk di depan Zayna.

“Kok masih duduk?” tanya Hanif.

“Kamu gak mau cepet-cepet punya dedek bayikan?” tiba-tiba Zayna melontarkan pertanyaan tersebut dan membuat Hanif mengangkat sebelah halisnya, bingung.

“Maunya sih gitu. Tapi, kasihan kamu nanti pasti lebih cepet cape. Nanti aja ya, kalau kitanya udah santai?” balasnya kala mengelus lembut pipi kemerahan itu.

“Gak gitu, kalau mau sekarang ya ayo!” tawar Zayna. Namun, dengan wajah yang pura-pura tersenyum.

“Ngga, nanti aja ya?” ujar Hanif kembali menyakinkan Zayna.

“Bener?” tanya Zayna masih dalam keadaan tidak percaya.

“Bener sayang, cantik, sholehah. Nanti aja ya?” Hanif kembali menyakinkan istrinya dan sekilas mencium bibir Zayna.

Segera Hanif bangkit dari duduknya. Ia membawa buku berukuran cukup besar dan juga lumayan tebal.

“Dulu saya ngajarin kamu sampai mana ya?” tanyanya sembari membuka lembaran-lembaran halaman dibuku yang ada ditangannya itu.

“Kamu dulu janji mau tanya jawab,” balas Zayna.

“Oh iya, sebentar.” Hanif kembali menghampiri Zayna dan duduk tepat di depan perempuannya itu.

“Selama saya di Kairo, udah hafal berapa juz?” tanya Hanif kembali.

“Hehe, baru 19 juz.” mendengar itu Hanif langsung mencium tangan mungil milik Zayna.

MasyaAllaah,” ujarnya.

“Nanti saya boleh dengar ya?” Zayna mengangguk mendengar permintaan dari sang suami.

“Sekarang aku mau tanya jawab aja!” lanjut Hanif, Zayna kembali mengangguk.

“Gampang ko,”

“Neraka Saqar itu bakal dihuni sama orang yang seperti apa?” Hanif mulai bertanya.

“Yang gak rajin sholat fardhu!” jawab Zayna berharap jawabannya benar.

“Iya benar.” tanggap Hanif lagi-lagi mengelus kepala istrinya.

“Apa aja jalan mudah wanita ke surga?” Hanif melanjutkan pertanyaannya.

“Eum, sholat fardhu 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga aurat dan martabat, terus...” Zayna menggantungkan kalimatnya.

“Patuh sama suaminya!” lanjutnya sembari mencubit pelan hidung milik Hanif. Hanif membalas dengan kecupan dibibir milik Zayna.

“Kebiasaan nyosor duluan!” protes Zayna.

“Mas,” panggil Zayna.

“Kenapa cantik?” tanya Hanif penasaran.

“Aku siap kok!” Hanif kembali menatap istrinya bingung.

“Siap apa?”

“Itu, siap itu mas.” balas Zayna sambil terbata-bata karena takut dan malu.

Hanif lagi-lagi tersenyum, “Sayang, kan aku bilang gak usah di paksain. Nanti aja ya?”

“Tapi...”

“Udah, kita tidur sekarang ya? Ayo baca surah Al-Mulk dulu!” Hanif bukannya tidak mau. Namun, melihat paksaan dari wajah Zayna membuatnya tidak tega untuk mengikuti omongan Zayna. Hanif tahu bahwa, sebenarnya Zayna takut akan hal itu. Maka dari itu, iya selalu menunda menunggu waktu yang benar-benar tepat untuk dibicarakan lagi.

“Pokoknya sebelum kita punya anak. Kita harus tau dulu adab-adabnya ya? Nanti kita belajar.” Sambungnya setelah selesai membaca surah Al-Mulk.

Keduanya kini terlelap dengan keadaan Zayna dan Hanif yang saling berpelukan. Tangan Hanif mengusap surai rambut panjang itu. Mengecup sekilas kening milik Zayna.

Zayna bersembunyi ditengkuk milik Hanif. Tanpa sadar wanita itu meneteskan air matanya. Merasa bersalah, apakah Hanif benar-benar marah karena Zayna sempat menolak saat malam pertama dalam pernikahannya. Beralasan bahwa dia sedang datang bulan. Karena kemarin dia selesai pada haid di bulan ini. Maka sedari tadi dia terus menawarkan hal itu kepada Hanif. Namun, tetap saja Hanif tidak mau menurutinya.

Seperti biasa ada part 18+ :)

Hanif melangkah dari dalam mesjid menuju keluar untuk segera pulang ke rumah milik Faiz, mertuanya.

Disepanjang jalan menuju rumah. Tidak hanya satu sampai dua orang saja yang menatap dirinya sedang berjalan disekitar pesantren. Banyak para santriwati yang mencoba menyapa Hanif. Namun, cukup dengan senyuman hormat ia membalasnya. Risih, sudah pasti ia rasakan. Tapi, setidaknya ia harus berpikir positif dari sikap-sikap para santriwati tersebut.

MasyaAllaah banget ya?” kalimat itu terdengar jelas di telinga Hanif.

“Dari dulu berharap sama ustadz Hanif. Tapi tetep aja, yang jadi istrinya anak ustadz Faiz.” lanjut salah satu santri yang sedari tadi membicarakan sosok Hanif.

Hanif tak menghiraukan itu. Karena jika ia membalas kalimat yang keluar dari mulut santri itu. Sama saja, ia akan mencari gara-gara dan membuat istrinya menjadi berpikir kemana-mana.

Assalamu'alaikum,” ucap Hanif ketika dirinya sudah sampai di rumah milik mertuanya.

Wa'alaikumussalam,” balas Zayna yang langsung menghampiri sang suami sembari mencium tangan kekar itu. Zayna melirik keadaan di sekitar rumah, memastikan bahwa keadaan sedang sepi.

“Cium nya?” tawar Hanif.

cup

Sesegera mungkin Zayna mencium pipi Hanif karena takut ada salah satu dari penghuni rumah ini yang memergoki mereka.

“Bibir nggak?” tawar Hanif kembali sembari menggoda perempuannya itu.

“Ih,” keluh Zayna. Namun, mau tidak mau ia harus mengiyakannya. Hitung-hitung menggugurkan dosa-dosanya yang sudah menumpuk itu.

cup

Bukan melepas kecupannya. Hanif malah membalasnya, yang membuat durasi waktu semakin lama. Zayna lagi-lagi pasrah dengan kelakuan suaminya itu.

Akhirnya, kegiatan yang mereka lakukan pun selesai. Untungnya tidak ada penghuni rumah yang melihat mereka. Sebab, bisa dibilang mereka melakukan itu tidak pada tempat yang seharusnya.

Hanif menempelkan keningnya pada kening Zayna. Tatapan itu kembali bertemu. Membuat Zayna kembali merasakan hal aneh di perutnya, juga kedua pipinya yang mulai memerah.

“Cantik,” ujar Hanif sembari mencium kening sang istri.

Ekhem,” suara itu tiba-tiba saja terdengar dari arah dapur, yang membuat mereka terkejut dan sesegera mungkin menghentikan kegiatan itu. Keduanya terdiam, ketika tahu siapa yang menimbulkan suara tersebut.

“Ya Allaah, dosa gak ya?” ujar seseorang tersebut dan ternyata itu adalah Nizam, kakak laki-laki Zayna.

“Gini banget tinggal di bumi!” lanjutnya sembari menatap langit-langit rumah.

“Gak anak, gak orang tuanya sama aja!” ia kembali menggerutu.

“Makanya nikah, mas!” seru Zayna. Lalu, dengan sengaja ia memeluk lengan kanan suaminya dan bersandar dipundak milik Hanif.

“Wah makin ngelunjak!” balas Nizam sembari menatap Zayna dengan tajam. Karena merasa iri dengan perlakuan yang Hanif dapatkan dari istrinya itu. Nizam segera beranjak pergi dari posisinya. Berharap itu hanyalah godaan-godaan yang membuat dirinya ingin cepat menikah.

“Eh itu, barang-barangnya sudah diangkut ke mobil?” tanya Hanif mengganti topik yang sebelumnya Zayna dan Nizam bahas.

“Iya, jadi kita tinggal cus pergi.” Zayna membalas pertanyaan dari suaminya dan lagi-lagi mencium sekilas benda kenyal milik Hanif. Yang dicium hanya tersenyum malu atas perlakuan perempuannya itu.

Katanya tidak jadi pindah sekarang?” batin Hanif


Hanif melajukan mobilnya mengikuti mobil yang membawa barang-barang milik Zayna dan dirinya. Kedua mobil itu melaju menuju rumah baru milik mereka. Keduanya tampak bahagia didalam sana. Membicarakan apapun yang mereka lalui hari ini dan waktu-waktu yang lalu.

Tidak membutuhkan waktu lama. Dua mobil itu sudah sampai ditempat tujuan. Barang-barang yang mereka bawa, mulai diletakan satu persatu di halaman rumah berwarna cokelat muda serta tua itu.

“Maaf ya, rumahnya tidak sebesar rumah yang lain.” kalimat itu tiba-tiba terucap dari mulut Hanif.

“Kamu ngomong gitu terus aku cium deh! Maaf-maaf aja sampe lebaran kuda!” ketus Zayna karena sudah bosan dengan sikap merasa bersalah suaminya itu.

Hubby ku sayang, ini itu udah lebih dari cukup tau gak? Aku dapetin kamu aja udah Alhamdulillaah. Jangan bilang gitu terus ya ganteng? Mau rumah besar-besar juga buat apa kalo penghuninya cuma berdua? Ya, kecuali kalo kamu bawa satu RW.” jelas Zayna sembari melingkarkan kedua tangannya di leher milik Hanif. Hanif lagi-lagi tersenyum. Ternyata, perempuannya ini pintar sekali menggombal dengan kata-kata yang begitu indah juga gemas(?)

“Kan nanti ada Hanif junior,” celetuk Hanif.

“Kan...” Zayna menatap tajam mata hitam lekat itu. Hanif mengecup-ngecup pelan pipi milik Zayna. Dan seperti perkiraannya, Zayna akan luluh dengan perlakuannya itu.

Barang-barang sudah tersusun rapi dihari itu juga. Zayna tipikal perempuan yang tidak bisa menunda-nunda pekerjaan, juga Hanif yang tidak suka jika keadaan sekitarnya tidak rapi. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk membereskan dan mengatur posisi barang-barang yang mereka bawa dari rumah.

“Haus!” protes Zayna ketika ia merasa kelelahan membereskan seisi rumahnya bersama Hanif.

Merasa paham akan maksud sang istri. Ia langsung pergi beranjak ke arah dapur yang lumayan besar tersebut dan mengambil minum untuk Zayna. Melihat itu, Zayna langsung menghampiri Hanif.

“Eh eh, itu buat siapa?” tanya Zayna.

“Buat kamu, katanya haus.” balas Hanif sembari memberikan segelas air putih kepada Zayna.

“Yang istri siapa?” Zayna terlihat protes akan perlakuan suaminya.

“Kamulah, masa saya.” balas Hanif lalu mencubit hidung mancung milik Zayna.

“Peluk!” pinta Zayna karena merasa terharu oleh sikap suaminya itu. Paham akan apa yang ia pinta, Hanif memeluk tubuh rampingnya. Memeluk dengan erat. Beralih dengan menggendong tubuh istrinya itu menuju salah satu kamar yang sudah mereka tata sebelumnya.

Hanif merebahkan tubuh sang istri. Membetulkan posisinya menjadi di atas tubuh Zayna. Menciumi setiap sisi dari wajah cantik itu.

“Jangan pergi ya? Disini terus sama saya. Jangan hilang. Karena untuk menemukan yang seperti kamu itu sulit dan cuma ada satu disini. Untungnya, Allaah memberikan kamu untuk saya. Jadi rumah saya seterusnya, kita bangun satu per satu tiangnya ya? Buat tiangnya jadi kokoh. Tapi, ketika tiang itu akan runtuh kita kuatkan lagi bangunannya. Jangan biarkan sampai hancur.” kalimat itu terucap ketika Hanif selesai menciumi perempuan kesayangannya.

“Iya, kita jalanin sama-sama ya, ustadz. Jadi milik aku seterusnya. Jangan lepas genggaman aku, kalau akunya gak mau hilang.” Hanif tertawa kecil mendengar kata-kata yang terucap dari bibir kecil Zayna. Suara yang selalu ia rindukan. Dekapan yang selalu ia nantikan di setiap detiknya.

Ia memeluk erat perempuannya. Membawanya kedalam kehangatan kasih yang selalu ia berikan.

“Kamu akan selalu menjadi alasan saya untuk pulang. Karena rumah saya itu, kamu.” bisik Hanif disela-sela kegiatan memeluknya itu. Zayna kembali mengeratkan pelukan dari Hanif. Mengusap surai rambut hitam itu.

“Iya, sayang.” balasnya.

©morkihacoy

Sebelumnya part ini sedikit ada 18+ nya. Paham dong apa?

Zayna membuka pintu kamar miliknya. Sekarang kamar itu berwarna serba putih juga terdapat kelopak bunga mawar di atas kasur miliknya.

“Ustadz, kamar aku kok jadi ada bunga mawarnya? Pagi tadi perasaan gak ada deh.” bingung Zayna sembari melihat ke arah Hanif. Hanif membalas dengan senyuman.

Masih dalam keadaan memakai baju pengantin. Merasa tidak nyaman Zayna pergi ke kamar mandi di dalam kamar miliknya itu.

“Mau kemana?” tanya Hanif ketika melihat pergerakkan tubuh Zayna ke kamar mandi.

“Pusing, kepala aku kaya nyut-nyutan gitu, ustadz.” balas Zayna yang langsung melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

“ARGH!”

Mendengar teriakan dari kamar mandi. Membuat Hanif segera pergi menghampiri suara yang dimaksud tersebut.

“Kamu kenapa?” lagi-lagi Hanif bertanya sebab khawatir apa yang terjadi didalam sana.

“Bantuin aku, ustadz!” teriak perempuan itu, Zayna.

“Saya masuk?” Izin Hanif kepada Zayna.

“Iya,”

Pintu itu terbuka, kala memperlihatkan keadaan Zayna yang sangat kacau. Kepalanya sudah tidak rapi seperti tadi lagi. Rambut dan hijabnya menyatu namun sangat tidak teratur jika ia lihat. Hanif tertawa kecil dan segera membantu Zayna untuk melepaskan hijabnya.

“Susah ih!” ujar Zayna prustasi.

“Kenapa gak bilang dari tadi aja?” tanya Hanif merasa kasihan sekaligus gemas karena tingkah perempuannya ini.

Selesai sudah kegiatan yang cukup menguras tenaga sepasang suami istri itu. Mereka akhirnya merebahkan tubuhnya di ranjang kamar Zayna yang sudah menjadi milik kamar Hanif juga

“Cape gak?” Hanif memulai pembicaraan kala merebahkan tubuhnya di atas ranjang berbalut seprai putih.

“Nggak,” balas Zayna.

Hanif terheran-heran akan jawaban yang Zayna lontarkan. Ini kode rahasia atau memang Zayna merasa tidak kelelahan ketika acara tadi? Yang jelas Hanif terlihat sangat kelelahan dalam acara pernikahannya bersama Zayna.

“Aku boleh nyentuh kamu gak sih?” celetuk Zayna, Hanif mengerjit heran.

“Boleh,”

“Mau pegang-” kalimatnya terpotong kala ia akan menyentuh pipi putih milik Hanif. Namun, malah meleset ke bibir berwarna merah muda itu.

“Maksud aku-” lanjutnya lagi-lagi terpotong karena ulah Hanif. Kini wajah itu terlihat sangat dekat. Kedua mata insan itu saling menatap. Desiran nafas saling menyatu ditengah keheningan yang mereka ciptakan. Zayna memejamkan matanya sejenak. Merasa sadar tidak ada benda apapun yang menyetuh bibir miliknya. Membuat ia kembali membuka mata. Ia masih berada tepat di depan wajah Zayna. Namun, sambil tersenyum memandangnya.

“Cantik banget!” ujar Hanif.

Pipi Zayna mulai memanas kala mendengar kalimat itu terdengar di telinganya.

Hanif malah beralih menciumi tengkuk milik Zayna, membuat Zayna geli.

“Ngapain sih?” tanya Zayna sembari tertawa kecil.

“Kamu wangi,” balas Hanif.

Hanif kembali menatap wajah itu. Pergerakan matanya kini kembali beralih pada bibir merah muda segar milik Zayna.

“Cium mah cium aja kal-mpphh” baru saja ingin berbicara. Kalimatnya kembali terpotong kala benda kenyal milik Hanif menyentuh miliknya.

Terkejut, takut, bingung yang Zayna rasakan membuat Hanif melepaskan tautan miliknya dari Zayna. Ia menunduk, “Maaf, harusnya saya tidak terburu-buru.” keluh Hanif sadar akan apa yang baru saja ia lakukan tadi.

“Ngomong apa sih? Kan aku udah jadi istri kamu. Kamu bebas mau cium aku, peluk aku, pegangan tangan aku, terus apalagi ya? Ya pokoknya bebas. Jangan kaya gitu ah. Jadi, mau cubit pipi mbulnya!” ujar Zayna meyakinkan Hanif.

“Maaf,” lagi kata itu terlontarkan dari bibir Hanif.

“Dari pada maaf-maaf terus karena belum lebaran. Mending di pake cium lagi.” Zayna menunjuk pada salah satu sisi wajahnya, yaitu pipi kemerahan miliknya.

“Mau ini, ini, ini, sama...ini!” pinta Hanif lalu kembali mencium seluruh daerah wajah milik Zayna dan yang terakhir bibir merah tipis itu lagi.

Kini Zayna membalas tautan itu. Dan yang ia rasa pun bukan ketakutan lagi. Melainkan rasa bahagia sampai ia tidak sadar bahwa, air matanya perlahan menetes keluar dari ujung matanya.

©morkihacoy

Zayna melirik jam yang kian berputar, menandakan waktu semakin berjalan. Wajahnya begitu cantik, ditambah riasan sederhana dari penata rias. Ia tersenyum, “Mbak MasyaAllaah, wajahnya cantik sekali.” ujar sang penata rias sembari mengoleskan blush on di kedua pipi Zayna.

“Alhamdulillaah, Aamiin.” balasnya.


Disamping itu, Hanif yang sedang mengoreksi hafalan surah Ar-Rahman untuk dibacakannya nanti. Hatinya gelisah kala mengingat hari ini adalah hari yang sangat ia dan juga Zayna nantikan. Senang, sedih, takut bercampur aduk didalam pikiran dan hatinya. Masih tidak percaya perempuan itu beberapa jam lagi akan menjadi miliknya.

“Lima belas menit lagi, Nif!” abi Samir menghampiri putranya, yang sedang fokus membuka tutup Al-Qur'an berwarna emas di genggamanya.

“Iya bi,” balas Hanif.

“Bismillaah, semoga Allaah lancarkan sampai akhir acara nanti, Aamiin.” Samir menepuk bahu Hanif.

“Aamiin,” ucap Hanif.

Waktu sudah menunjukan pukul 06.50 pagi. 10 menit lagi acaranya ini akan di mulai. Hanif segera duduk dikursi yang sudah disediakan. Faiz duduk tepat di depan Hanif, begitu juga pak penghulu yang siap menjadi saksi atas janji suci yang akan di ucapkan Hanif nanti. Selesai membaca surah Ar-Rahman, Hanif menatap abinya Samir juga Faiz secara bergantian.

“Bismillaah, kita mulai saja pak?” tanya pak penghulu kepada Faiz. Faiz mengangguk sembari tersenyum.

Faiz mulai menyambat tangan Hanif. Faiz tersenyum kala melihat laki-laki yang ada di hadapannya ini begitu yakin dan terlihat sangat tampan.

Bismillaahirrohmanirrohim, Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zayna Jumayra Naseeba alal mahri hallan.” Faiz mulai melantunkan ijab kepada Hanif.

Hanif menarik nafas, “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha Zayna Jumayra Naseeba binti Faiz Fajrin Naseeba alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq.” balas Hanif dengan qobul yang begitu lancar.

“Bagaimana sah?” tanya pak penghulu kepada para hadirin.

“Sah!” balas semua hadirin.

“Alhamdulillaahirobbil'alamin!” lanjut semua.

Keadaan yang sempat mencekam pun sekarang terganti dengan tawa yang bahagia. Tidak sadar mata Hanif mengeluarkan air mata. Masih dalam keadaan tidak percaya, bahwa kini ia akan menjadi pemimpin untuk perempuannya.

Zaenab dan Farrah berjalan menuju kursi pengantin sembari menggandeng tangan mungil milik Zayna. Cantik, cantik sekali. Wajah itu terlihat begitu indah. Maka, siapapun yang memandangnya akan terpesona termasuk kini yang sudah menjadi suaminya, Hanif.

Zayna tersenyum ke arah Hanif, begitu juga sebaliknya. Tangan Hanif mengusap surai kepada hijab putih milik Zayna, “Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltahaa alaih.” doa itu ia berikan seraya mencium kening Zayna untuk keberkahan dalam berumah tangganya, terutama menjaga sang istri.

Zayna mencium punggung tangan kekar milik Hanif.

“MasyaAllaah, ini bidadari dari surga yang mana ya?” rayu Hanif ketika keduanya sudah duduk dikursi pengantin.

“Dari mana ya?” jawab Zayna pura-pura tidak tahu. Keduanya tertawa bahagia.

“Ikuti saya ya, Zayna? Ikuti saya menuju surga bersama kamu.” kalimat itu terucap dibibir Hanif. Zayna menggenggam tangan kekar itu lagi.

“Iya, pasti. Sehidup sesurga ya sama aku?” lagi-lagi bibir itu mencium kening perempuannya.

©morkihacoy

Ini sudah tahun ketiga Hanif berada di universitas Al-Ahgaff, Yaman. Semua tugasnya dalam mendalami ilmu disana sudah selesai. Walaupun begitu, iya tetap harus mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya.

Keluarganya sudah menunggu kepulangan Hanif. Rindu, semua merindukannya. Terutama, Zayna.

Gadis yang kini sudah berusia 22 tahun. Gadis yang selalu jadi alasan Hanif untuk pulang.

Umi Hanif mencium kening sang anak. Menangis dalam dekapannya. Masih tidak percaya putranya kini berada tepat di depan matanya.

“Ya Allaah, anak umi. Anak umi makin tampan saja.” ucap sang umi kala mengusap lembut rambut hitam lekat itu. Hanif hanya tersenyum. Berusaha menahan kesedihan atas kerinduan kepada satu-satunya malaikat surga miliknya ini.

Semua keluarganya kini sudah berada di rumah yang lumayan cukup luas milik abi Hanif.

“Umi, abi, kepulangan Hanif kesini, selain memang sudah selesai pendidikan Hanif disana. Ada alasan lain juga. Hanif ingin mengkhitbah perempuan yang sudah Hanif yakini sebagai pilihan Hanif,” kini Hanif mulai berbicara.

“Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujar sang abi ketika mendengar niat baik putranya yang satu ini.


Gugup yang kini menyelimuti hati Hanif, tidak menggubris niatnya untuk mengkhitbah perempuan yang di maksud, Zayna. Campur aduk dalam pikirannya. Persiapan apa saja yang akan ia bicarakan nanti di depan orang tua Zayna.

“Sudah siap?” suara itu kembali terdengar. Suara yang selalu menjadi penenang dikala hatinya dilanda kegelisahan.

“InsyaAllaah umi, Bismillaah,” yakin Hanif sembari tersenyum menghadap cermin besar miliknya. Umi pun ikut tersenyum.

Mobil itu sudah berada tepat di depan rumah milik Zayna. Gadis itu tersenyum, bukan malah gelisah tapi kini ia sangat amat terlihat bahagia. Doa-doa disetiap sujudnya terdengar hingga ke langit.

“Nanti ustadz bilang apa ya? 'Ustadz Faiz dan Ustadzah Farrah, izinkan saya untuk menjadikan putri kalian sebagai perempuan yang akan selalu menemani saya disetiap harinya,' “ ucap Zayna sembari tertawa memeragakan nanti akan bagaimana Hanif membicarakan soal ini.

“Hayo, lagi apa?” Zaenab masuk kedalam kamar milik Zayna, yang sontak membuat Zayna terkejut.

“Hehe,” tawa kecil itu membalas pertanyaan milik Zaenab.

“Seneng?” Zaenab bertanya kembali. Sebab, kini adik bungsu satu-satunya itu memancarkan wajah yang begitu terlihat bahagia.

“Ya gitu deh,” Zayna berjalan menuju jendela kamarnya yang langsung menghadap ke lantai bawah. “Bentar lagi pasti umi manggil!” duganya.

“Zayna, Zaenab, sini nak turun!” belum sampai satu menit suara yang dimaksud sudah terdengar dari ruang sebelah.

“Bismillaah,” batin Zayna.

Ruangan yang biasa Zayna gunakan untuk belajar, kini sudah ramai didatangi oleh keluarga Hanif.

Hanif terdiam, “MasyaAllaah,” batinnya. Langsung ia palingkan pandangannya ke sembarang arah.

“Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Samir!” ujar abi Faiz kala melihat kedatangan teman lamanya itu─abi Hanif─.

“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas abi Samir sembari memberi pelukkan rindu kepada Faiz.

“Gue bilang juga ape, nih bocah mau kita jodohin atau kagak tetep jodoh, Iz.” lanjut Samir. Faiz tersenyum mendengar kalimat yang Samir ucapkan.

Sedari tadi Zayna hanya menatap ke arah sosok pria yang memakai baju kemeja berwarna putih. Banyak sekali hal yang Samir dan Faiz bicarakan. Menjadi penghambat maksud kedatangan yang sebenarnya itu.

“Nahkan, kita yang ngobrol. Sampai lupa gue mau ngapain.” sadar Samir sembari melirik ke arah Hanif putranya itu.

“Ekhem,” Hanif mengatur suara dan posisi duduknya dengan segera. Gugup sekali, rasanya ingin cepat-cepat pulang dan mengunci kamar rapat-rapat.

Bismillaah,”

“Maksud dan tujuan saya kesini ingin meminta izin untuk mengkhitbah putri bungsu ustadz Faiz dan ustadzah Farrah, Zayna Jumayra Naseeba.” ujar Hanif sembari menahan gemetar dalam tubuhnya.

“Begitu saja?” tanya Faiz yang membuat Hanif makin merasa gugup. Karena pasalnya, pertanyaan itu sedikit menganggap kalimatnya terlihat main-main.

“Izinkan saya untuk menjadikan Zayna sebagai pendamping dihidup saya. Menemani saya disetiap langkah menuju keridhoan Allaah SWT, menjadi penyejuk hati dikala hati ini sedang tidak baik-baik saja, menjadi tangan yang selalu saya genggam saat senang maupun susah, menjadi sosok yang selalu saya utamakan setelah ibu saya, menjadi perempuan yang selalu saya rindukan kepulangannya. Saya berjanji akan menerima semua kekurangan yang ada didalam diri Zayna, juga saya akan selalu membahagiakan dia sebagaimana saya membahagiakan surga saya, umi. Maka dari itu, atas izin Allaah saya ingin meminang Zayna Jumayra Naseeba menjadi ibu dari anak-anak saya nanti.” jelas Hanif berusaha meyakinkan Faiz.

Faiz tertawa, “Semua jawaban ada di putri saya.” balasnya kala menepuk bahu milik Hanif.

Semua menatap tertuju kepada Zayna, yang ditatap hanya menunduk malu. Yang pasti mana mungkin Zayna akan menolak pinangan dari lelaki yang sudah ia tunggu bertahun-tahun itu.

“Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ustadz Hanif atas niat baiknya ini. Karena telah menanamkan pilihan juga hatinya kepada saya. Bismillaahirrohmanirrohim, atas ridho Allaah SWT, juga diiringi restu kedua orang tua saya. Maka, InsyaAllaah saya bersedia menerima lamaran ustadz Hanif.” jelasnya menjawab semua pertanyaan yang Hanif lontarkan tadi.

Lega, perasaan takut yang ia tahan pun sekarang terganti dengan rasa bahagia. Semua tersenyum kala mendengar jawaban dari Zayna. Umi Farrah mengelus surai hijab milik Zayna. Senang akan jawaban yang ia berikan tadi. Sedih dan senang semua bercampur aduk. Dan akhirnya, acara mengkhitbah ini selesai.

Perjalan dua insan untuk saling memiliki pun masih belum usai. Karena ada satu hari lagi, dimana Hanif akan mengucapkan janji sucinya untuk Zayna.

©morkihacoy

Adzan pertama terdengar di kala keheningan pagi hari. Zayna terbangun, jam menunjukkan pukul tiga lebih enam menit.

Ia ingat hari ini ada janji untuk bercerita. Bercerita kepada sang pemilik hati, Allaah.

Diambilnya air untuk berwudhu, juga mukena dan sajadah yang sudah ia siapkan sebelum menuju kamar mandi.

Baru saja rakaat pertama dalam sholatnya. Zayna sudah meneteskan air mata yang cukup membuat kedua pipinya basah. Takut dan bingung akan apa yang sedang ia hadapi saat ini.

Dalam sujud terakhirnya, apapun yang membuat Zayna kalut dalam kegelisahan, ia sebutkan dalam hatinya. Sajadah menjadi saksi atas tangisnya malam ini.

Selesai membaca doa setelah melaksanakan sholat istikharah, serta membaca surah Al-Insyirah tiga kali dan menyebut nama seseorang yang sudah ia tunggu sejak lama.

“Ya Allaah, Ya Tuhanku, Tuhan pemilik hatiku, Tuhan Maha Pengampun, dan Tuhan Yang Maha Petunjuk. Tunjukilah jalan keluar atas masalah yang sedang menimpaku saat ini. Berikanlah jalan terbaik menurut-Mu, ya Rabb. Berikanlah kemudahan dalam segala urusanku, ya Rabb.” kini, pipi itu sudah amat sangat basah. Bibirnya pun bergetar kala meminta doa kepada Sang Semesta.

“Ya Allaah, jika Engkau izinkan aku untuk bertemu dengannya lagi. Maka pertemukan lah lagi aku dengannya, ya Allaah. Tuntun aku menuju kedalam dekapannya, ya Allaah. Dekatkanlah hatiku kepada hatinya. Jagalah perasaan kami berdua, ya Allaah.” tangis Zayna kini semakin menjadi-jadi.

“Ya Allaah, jauhkanlah aku dari rasa kecewa, rasa marah, rasa sedih, dan rasa benci atas apa yang telah Engkau takdir kan. Jauhkan aku darinya jika memang aku dan dia bukanlah insan yang bisa saling memiliki. Jadikanlah rasa cinta ini sebagai rasa cinta terhadap-Mu juga, ya Allaah. Aku sangat amat ingin bersamanya, ingin menjadi penumpang dalam nahkodanya, ingin menjadi pelengkap di setiap langkahnya menuju ridho-Mu. Maka kabulkan lah permintaanku ini, Ya Allaah. Aku hanya berserah diri kepada-Mu, wahai Tuhan Pemilik Alam.” selesai ia mengadu kepada Sang Pencipta. Zayna masih dalam keadaan kalut didalam hatinya.

Dan dibelahan bumi lain. Satu makhluk Tuhan juga sedang mengadu. Mengadu atas kegelisahannya, perasaan yang selama berhari-hari ini terus mengganggunya. Waktu yang sama, ia pastikan di setiap sujud dan doanya. Selalu tersebut nama perempuan yang dikagumi.

“Jagalah ia Ya Allaah, jaga hatinya untukku, berilah kemudahan dalam urusannya. Aku mencintainya karena-Mu ya Tuhanku Yang Maha Penyayang. Jadikanlah aku pemimpin dalam langkahnya menuju Surga Tertinggi-Mu, ya Allaah. Jadikanlah niatku ini sebagai ibadah terhadap-Mu. Ampunilah segala dosaku dan dosanya, ya Allaah. Berikan ketenangan dalam rindu yang belum bisa menjadi temu ini, ya Allaah. Aku sangat amat memohon kepada-Mu. Engkau satu-satunya Tuhan Pemilik Alam ini. Maka jadikanlah doaku yang paling pertama di dalam hidupku, ya Allaah. Aamiin...” Hanif mengusap wajahnya dengan kedua tangan putih bercahaya itu.

Kini keduanya masih dalam keadaan kalut. Namun, seiring berjalannya waktu. Hati masing-masing dari kedua insan itu. Kini perlahan mendapat ketenangan.

Dulu jarak mungkin saja menjadi pemisah antara hatiku dan hatinya. Namun, ketika langit mulai mendengar tangisanku. Mendengar kerinduanku. Maka, jarak itu bukanlah satu-satunya masalah di antara aku dan dirinya.

©morkihacoy

Faiz keluar dari kamarnya untuk sekedar menggambil minum menuju dapur. Melihat ada seseorang yang tengah beranjak pergi dari ruang depan. Membuat Faiz mengurungkan niatnya itu.

“Loh, Jahiz!” panggilnya sembari menghampiri sosok yang ia maksud.

“Assalamu'alaikum ustadz Faiz,” ujar Jahiz sembari tersenyum dan mencium punggung tangan Faiz─Jahiz juga salah satu murid didik Faiz. Namun, ia juga masih menjadi pelajar di pondok pesantren Al-Assalam. Belum seperti Hanif yang sudah mendapat gelar sebagai seorang Ustadz

“Wa'alaikumussalam, kenapa malah pulang lagi? Zayna nya mana?” tanya Faiz heran karena melihat Jahiz sendirian di ruang tamu.

“Anu ustadz, katanya Zayna tidak bisa melanjutkan bimbingan materi untuk hari ini. Oleh karena itu, saya izin pamit.” jelasnya kala mendapat respon bingung dari wajah Faiz.

“Sebentar, saya panggilkan dulu Zayna.” Faiz langsung berjalan menuju lantai dua rumah miliknya.

Melihat pintu kamar sang putri bungsu tidak tertutup rapat. Membuat ia mengintip, memastikan sedang apa putrinya sekarang.

“Assalamu'alaikum,” ucapnya sembari mengetuk pintu.

“Wa'alaikumussalam, eh abi?” balas Zayna cukup terkejut atas kehadiran sang abi.

“Turun yuk kebawah!?” pinta Faiz sembari memberikan senyum kepada putrinya.

Zayna langsung menuruti perintah Faiz. Karena mau tidak mau, ia harus patuh akan perintah orang tuanya.

Keduanya menuruni anak tangga satu per satu. Dan benar saja, sosok yang tidak ingin Zayna lihat masih menunggunya di lantai bawah, ruang tamu.

“Pasti ngadu ke abi!” batin Zayna sembari memalingkan wajahnya kepada Jahiz ketika ia sudah berada tepat di depan lelaki itu.

“Kenapa izin?” tanya Faiz.

“Abi, aku kan mau istirahat dulu. Aku masih punya tugas kuliah. Abi gak liat tadi meja belajar aku seberantakan apa?” ungkap Zayna.

“Jadi, lebih pilih tugas kuliah dari pada urusan akhirat?” tanya Faiz kembali, sembari merebut kuas kecil milik Zayna yang ia bawa sedari tadi.

“Abi sudah bilang kan? Jangan terlalu fokus sama apa yang tidak bisa kamu gapai, Zayna!” bentak Faiz lalu melemparkan kuas kecil berwarna biru itu ke sembarang arah.

“Apa untungnya melukis seperti itu? Abi bilang boleh melukis asal tidak menyerupai apa yang Allaah ciptakan! Memang, memang banyak ulama yang masih memperdebatkan soal hadist ini. Tapi, apa sebaiknya kita berjaga-jaga? Kita belum tentu bisa mempertanggung jawabkan ini di akhirat, Zayna.” jelas Faiz sembari menatap mata lekat milik Zayna yang sudah memerah.

“Kenapa sih, bi? Aku kan cuma ngasah bakat yang aku punya dari Allaah. Lagian, selama ini aku gak pernah minta alat-alat keperluannya sama abi. Aku beli sendiri pake uang aku. Aku juga bisa ngasilin uang aku dari semua lukisan aku!” timpal Zayna yang dimana air mata itu sudah beberapa kali jatuh di kedua pipinya.

Melihat kejadian itu, Jahiz jadi merasa bersalah. Mungkin, Zayna mengira dia sudah mengadu soal hari ini, yang dimana Zayna tidak bisa melanjutkan materi yang akan dia bahas.

“Afwan, mungkin sebelumnya saya tidak sopan. Tapi ustadz, untuk hari ini Zayna sudah izin dan juga saya tidak mempermasalahkannya ustadz. Jadi, menurut saya Zayna juga butuh istirahat. Karena seperti yang dia bilang, dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya yang menumpuk. Saya sangat memaklumi itu, ustadz. Saya harap masalah ini tidak menjadi masalah yang besar.” bela Jahiz ketika ia tidak tega melihat Zayna menjadi sasaran utama atas perkaranya ini.

“Bukan begitu, Jahiz. Tapi saya-” belum sempat melanjutkan kalimatnya, Jahiz langsung berpamitan dan meminta maaf atas apa yang telah terjadi hari ini.

“Afwan sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan itu. Sama sekali tidak. Jadi, lebih baik saya pamit dari sini ustadz, Wassalamu'alaikum.” ucapnya sembari mencium tangan Faiz dan tersenyum ke arah Zayna, lalu pergi meninggalkan dua orang yang sedang berdebat itu.

“Zayn-” kalimatnya kembali terpotong kala Zayna pergi meninggalkannya.

Kini Faiz merasa bersalah, mengingat tentang ia yang tidak sadar telah membentak putri bungsunya itu. Karena, ini bukan sekali dua kali Zayna izin untuk tidak ikut bimbingan. Membuat Faiz geram, karena begitu banyak alasan yang Zayna gunakan agar bisa bolos.

Ia kebingungan sekarang. Melihat seseorang dari arah kamar mulai menghampirinya dan memberikan Faiz segelas air agar amarahnya segera mereda.

“Abi, jangan terlalu keras sama Zayna. Kasihan, umi lihat semenjak ustadz Hanif pergi Zayna jadi sulit memahami materi. Sepertinya ia juga tidak nyaman di ajarkan oleh Jahiz.” ucap orang yang menghampiri Faiz, yang ternyata itu adalah sang istri, Farrah.

“Abi seperti ini juga untuk kebaikan Zayna,” ucapnya prustasi karena masih merasa bersalah setelah kejadian yang membuat sang putri menangis.

“Pelan-pelan, bi. Zayna itu anaknya keras kepala. Kita sebagai orang tua harus sabar mendidiknya. Jadi, jangan keras-keras kalau mau menasihati Zayna.” rayu Farrah agar suaminya itu bisa lebih memahami karakter Zayna yang sangat keras kepala.

“Iya, Habibati.” ujar Faiz kala menciumi tangan sang istri dan menidurkan kepalanya di paha milik Farrah. Farrah hanya membalas dengan mengusap rambut-rambut berwarna hitam lekat itu. Yang di usap hanya diam sambil memejamkan matanya sejenak. Berpikir apa yang harus ia mulai agar Zayna bisa memahami situasi sekarang ini.

Habibati panggilan sayang untuk istri.

©morkihacoy