Belakang Tembok
Zayna dan Zoya sudah menunggu sekitar sepuluh menit di perbatasan asrama putra dan putri yang dibatasi dengan tembok yang cukup tinggi.
“Lama banget, aku takut, Zayn!” Zoya sudah ingin pergi dari sini. Karena perbatasan ini tepat di paling belakang masing-masing asrama. Membuat bulu kuduknya perlahan berdiri. Zayna menggenggam tangan Zoya untuk meyakinkannya.
“Moh kamu dulu, gus!” suara itu tiba-tiba saja terdengar dibalik tembok bata berwarna putih.
“Ass-Assalamu'alaikum, dek Zoya,” Lukman menyapa terlebih dahulu.
“Wa'alaikumussalam,” jawab Zoya lalu menyuruh Zayna untuk melanjutkan kalimatnya.
“Wa'alaikumussalam, ustadz Hanif?” tanyanya menyakinkan bahwa Hanif juga ikut bersama Lukman.
“Iya, saya disini!” Hanif menatap tembok itu.
Zayna menarik nafasnya agar dirinya lebih tenang dan tidak terbata-bata ketika akan berbicara nanti.
“Ustadz, aku minta maaf ya kalau misal ustadz tadi chat aku. Handphone aku ilang ustadz. Eh, bukan ilang sih lupa nyimpen. Aku juga minta maaf kalau tadi kita gak belajar materi lagi. Tapi ustadz, aku udah isi semua quiz yang ustadz kasih. Di kertas lembarkan? udah kok. Aku yakin pasti bener semua. Soalnya semalem aku ngafalin, ustadz. Satu lagi aku juga udah siap setor hafalan juz 2 aku. Besok bisakan?” Zayna terus saya berbicara tanpa henti. Hanif dibalik tembok itu hanya tersenyum.
“Alhamdulillaah bagus, saya belum kasih hadiah untuk quiz yang sebelumnya ya?” tanya Hanif masih dengan menatap tembok putih itu, berharap bisa melihat wajah cantik milik Zayna.
“Gapapa deh, itu nanti aja. Aku lagi semangat buat setoran, ustadz!” balas Zayna juga ikut tersenyum. Walaupun yang dapat melihat sekarang hanyalah sahabatnya, Zoya.
Lukman mulai menguap, ia sudah sangat mengantuk. Melihat Hanif seperti orang gila yang sedang berbicara dengan tembok yang jelas-jelas itu adalah benda mati. Tapi, dia tidak enak jika meninggalkan Hanif sendirian disini. Ya, walaupun dia yakin pasti mereka akan dipergoki oleh penjaga keamanan yang setiap malam pasti berkeliling di setiap sudut pesantren.
“Saya sudah janji, nanti saya kasih hadiahnya.”
“Zayna,” panggil Hanif dari sebrang sana. Zayna terdiam.
“Nanti setoran selanjutnya bukan sama saya lagi tidak apa-apa, kan?” Kalimat itu akhirnya terdengar di telinga Zayna. Membuat Zayna mengerutkan keningnya bingung.
“Mau kemana?” Zayna memberanikan dirinya untuk bertanya agar rasa penasarannya itu hilang.
“Saya mau melanjutkan pendidikan saya di luar negeri. Kemungkinan ustadz Faiz akan mencari guru pengganti untuk kamu. Seharusnya, ini menjadi hari terakhir saya mengajar kamu. Ada banyak materi yang mau saya sampaikan sebenarnya. Saya kira kamu sibuk. Makanya saya memutuskan untuk tidak datang ke rumah kamu. Tidak apa-apa, kan?” jelas Hanif yang jelas membuat senyum Zayna kian memudar di sebrang sana.
“Lama ya? Zayn, maunya sama ustadz Hanif.” keluh perempuan itu, yang tanpa sadar air matanya mulai menetes membasahi kedua pipinya.
“Lama, saya lama disana. Jangan putus semangat buat terus mencari ilmu. Saya disana juga sama, sedang mencari ilmu. Belajar sama siapa saja ya? Kamu pasti bisa!” Hanif mendengar tangisan itu. Walaupun sebenarnya Zayna menahan agar Hanif dan Lukman tidak menyadarinya.
“Jangan nangis,” lanjut Hanif.
“Saya juga pulang nanti. Janji ya? Setelah semuanya selesai, terlepas kita akan bertemu lagi atau tidak. Kamu tetap harus menjadi Zayna yang saya kenal.” Hanif terus mencoba meyakinkan perasaan Zayna. Lagi dan lagi suara tangis itu semakin menjadi-jadi.
“Tetap jadi perempuan yang saya rindukan senyumannya.” batin Hanif.
“Aku gak bisa, ustadz!” Zoya mencoba menenangkan Zayna yang sedang menangis. Tangannya mengusap lembut bahu milik Zayna.
“Bisa, kamu bisa! Saya saja yakin masa kamu tidak?”
“Sudah ya? Saya pamit. Jangan nangis lagi, saya masih ada di bumi. Tapi, nanti dibelahan bumi lain.” lanjut Hanif seraya menunduk dan tersenyum tipis.
Ia juga sebenarnya tidak tega mengatakan hal ini kepada Zayna. Mau tidak mau secepatnya hal ini harus ia bicarakan agar Zayna bisa menerima dan terbiasa. Tinggal menghitung hari untuk kepergiannya ke kota Yaman.
“Zayna, masih disana?” Hanif memastikan karena sedari tadi suara tangis itu mulai menghilang.
Rintik hujan mulai berjatuhan. Hanif panik karena setiap tetesnya semakin lama semakin banyak.
“Zayna pulang, sudah hujan!” pintanya dari sebrang sana.
“Iya ustadz, kita kembali ke asrama. Kalian juga, maaf ya sudah menganggu waktu istirahatnya.” Zoya kini mulai berbicara karena sedari tadi Zayna hanya menangis tanpa suara.
“Wassalamu'alaikum,” lanjut Zoya.
“Wa'alaikumussalam,” jawab Hanif dan Lukman. Suara sendal bergesekan dengan tanah mulai terdengar bersamaan dengan air hujan yang sudah membasahi sebagian tanah dan juga rumput.
Mereka kembali dengan perasaan yang tidak terpikirkan. Kiranya akan membawa tawa. Namun, salah. Ternyata, tawa itu ditakdirkan menjadi sedih untuk kedua pasang insan itu.
©morkihacoy