morkihacoy

Ini hari terakhir Hanif ada di pondok pesantren Al-Assalam. Hari terakhir juga bisa melihat wajah-wajah yang InsyaAllaah menjadi penghuni surga-Nya Allaah.

Ia pasti akan selalu merindukan moment – moment ketika ia menjadi santri dan akhirnya menjadi pengajar juga di pondok pesantren ini.

Di tengah lapangan pesantren Al-Assalam, seluruh santriwan-santriwati sedang menunggu ustadz Hanif keluar dari ruang pengurus pesantren. Habib Shalim pemilik pesantren pun ikut untuk mengantarkan ustadz Hanif menuju bandara.

Semenjak Hanif sibuk mengurusi urusan keberangkatannya ke Yaman. Zayna dan Hanif tidak pernah berkomunikasi, untuk sekedar membicarakan, tentang Hanif yang sudah tidak bisa mengajarkannya lagi. Zayna kecewa. Namun, itu adalah pilihan Hanif dan Sang Rabb.

“Saya izin pamit, tiga jam lagi InsyaAllaah saya sudah memulai penerbangan. Doakan saya semoga selamat sampai tujuan, Habib.” ucap Hanif kala mencium punggung tangan sang guru besar di pondok pesantren ini.

“Selalu Hanif, selalu!” balas Habib Shalim sembari mencium kening dan memeluk erat tubuh Hanif.

Hanif kemudian mengililingi semua guru-guru pengajar yang ada di pondok pesantren Al-Assalam. Sekedar meminta doa dan bersalaman. Sampai akhirnya, orang yang terakhir itu adalah Zayna Jumayra.

Netranya tidak berani menatap mata lekat hitam milik Zayna. Namun, Zayna sedari tadi terus saja memperhatikan Hanif dengan mata yang sudah memerah menahan tangis.

“Saya izin pamit,” ucap Hanif dan langsung melewati tubuh kecil itu begitu saja.

Tanpa basa-basi lagi, Hanif segera menaiki kendaraan beroda empat yang akan mengantarkannya ke bandara.

Zayna terus saja memperhatikan tubuh lelaki itu, hingga hilang dari pandangannya. Sakit, rasa sakit itu tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Entah perasaan senang atau sedih yang ia rasakan ini. Tapi, yang ia sadari adalah, ia mungkin mulai mengagumi sosok yang selama dua bulan ini menjadi pembimbingnya dalam belajar ilmu agama.

“Jangan nangis,” bujuk Zoya sembari memeluk tubuh Zayna dari arah sebelah kanan. Zayna berusaha terus menghapus air matanya yang sedari tadi sudah membasahi kedua pipinya.

“Iya, ini gak nangis,” balas Zayna lalu melihatkan senyum terpaksa ke arah Zoya.

Entah pertemuan ini sudah usai atau malah masih berjalan. Karena, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan di setiap perpisahan pasti ada kesedihan. Mereka harap ini bukan yang terakhir. Masih ada banyak lembaran kertas yang belum mereka isi untuk sekedar saling bercerita. Semoga pembatas ini, hanya sekedar pembatas untuk melanjutkan cerita selanjutnya. Bukan pembatas untuk mengakhiri ceritanya.

©morkihacoy

Zayna segera keluar dari kamar dan turun menyusuri anak tangga. Ia melihat jelas Hanif sudah duduk di atas kursi ruang tamu rumahnya.

“Assalamu'alaikum, maaf ustadz kelamaan.” ujarnya sambil terengah-engah karena menuruni anak tangga yang lumayan cukup banyak.

“Wa'alaikumussalam, jangan lari-lari!” omel Hanif kala takut melihat Zayna jatuh dari atas sana.

“I-iya,” balas Zayna.

“Lanjut ya, materi tentang akhlak.” ucap Hanif memulai pembahasan sembari membuka lembaran-lembaran buku yang sudah ia siapkan.

“Kemarin itu sampai, jika hatinya baik, maka baik pula akhlaknya?” tanya Hanif yang hanya mendapat anggukkan dari Zayna.

“Dalam islam, Akhlak itu di bagi menjadi dua yaitu, Akhlakul Karimah dan Akhlakul Mazmumah,” lanjut Hanif.

“Akhlakul Mazmumah apa?” tanyanya tiba-tiba kepada Zayna.

“Eum... Akhlak tercela!” jawab Zayna girang.

“Contohnya?” tanya Hanif kembali.

“Iri, dengki, takabur, sombong, suka ghibah, banyak deh pokoknya!” jawab Zayna sembari berpikir keras apalagi yang termasuk dalam contoh kepada Akhlakul Mazmumah.

“Suka ghibah?” lagi-lagi Hanif bertanya.

Bukan malah menjawab, Zayna hanya terkekeh malu. Bagaimana tidak, sepertinya apa yang selalu ia bicarakan bersama Zoya itu adalah salah satu dari ghibah.

“Kalau akhlak dan ilmu lebih utama yang mana?” tanya Hanif lagi. Sebenarnya, Hanif hanya mengetes sejauh mana pengetahuan Zayna tentang materi yang sedang ia bahas kali ini. Karena sebelumnya, pasti ia sudah dahulu mendapat penjelasan dari sang abi, Faiz.

“Ilmu?” jawab Zayna ragu-ragu.

“Kenapa ilmu?”

“Soalnya kan semuanya berawal dari ilmu.” jelas Zayna asal yang mendapat senyum nipis dari Hanif.

“Memang kalau menolong orang lain harus punya ilmu dulu?” Kini Hanif mulai menatap mata Zayna. Yang ditatap juga menatap balik.

“Ngga sih,” balas Zayna kala sadar dengan apa yang ia jawab ternyata salah atas pertanyaan dari Hanif tadi.

“Berarti akhlak!” Zayna kembali menjawab.

“Iya akhlak dulu. Karena kalau ilmu dulu iblis pun bisa. Bahkan, iblis lebih bisa menguasai. Iblis juga lebih pintar dari kita. Makanya, disamping ilmu juga harus ada akhlak dan iman, Zayna.” jelasnya, Zayna hanya terdiam sembari memperhatikan penjelasan Hanif tadi.

“Akhlak itu tetep nomor 1!” lanjut Hanif.

“Karena Rasulullah ﷺ bersabda : أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ “Yang paling banyak dimasukkan ke dalam surga adalah orang yang bertakwa kepada Allah dan mempunyai akhlak yang terpuji.”(HR. Tirmidzi)”

“Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Akal cerdas tanpa akhlak mulia, ibarat seorang yang pemberani tanpa senjata.” Jadi, kamu harus punya akhlak terpuji kalau mau di cintai Allaah dan makhluk-Nya!” jelas Hanif kala melihat Zayna yang begitu tekun memperhatikannya.

“Kaya ustadz ya?” tanya Zayna tiba-tiba.

“Aamiin, InsyaAllaah.” balas Hanif malu. Malu karena akhlak dan ilmu yang ia punya belum seberapa dengan ilmu orang-orang yang lebih darinya. Tapi, dengan niat dan tekat karena Allaah. Dia siap berbagi atas ilmu yang dimilikinya saat ini. Walaupun hanya sebesar biji zarah. Tapi, InsyaAllaah atas ridho-Nya ilmu ini menjadi berkah dan manfaat bagi dirinya juga orang di sekitarnya.

Waktu sudah semakin larut, penjelasan masih sangat panjang. Melihat Zayna yang sudah tidak bersemangat seperti di awal. Membuat Hanif memutuskan untuk mengakhiri pada penjelasan hari ini. Ia akhirnya pamit kepada Zayna juga keluarga yang ada di sana. Berharap, akan selalu ada hari esok untuk membawa perempuan itu menuju jalannya Allaah. Ia yakin dengan rencana Tuhan hari ini, esok, dan hari selanjutnya.

©morkihacoy

Pagi-pagi sekali, keluarga besar abi Faiz dan umi Farrah sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju pondok pesantren yang ada di Bogor.

Begitu juga dengan Nizam dan Zayna, yang sudah berada di dalam mobil milik Nizam yang berwarna hitam.

Kakak perempuan Zayna, yang bernama Zaenab pun ikut untuk berkunjung ke pondok pesantren milik kakek mereka bertiga.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama mereka mengunjungi pondok pesantren tersebut. Karena, sudah cukup lumayan lama tidak bertemu dengan para pengurus dan santriwan-satriwati di sana. Akhirnya hari ini, keluarga besar abi Faiz menyempatkan untuk sekedar berkunjung. Walaupun, hanya dalam waktu yang tidak lama.

“Lama banget deh abi sama umi!” keluh Zayna ketika ia sudah duduk cantik tepat di kursi belakang supir.

“Bawel banget sih!” cetus Nizam yang sudah bosan. karena, Zayna terus saja mengoceh sejak berada di dalam mobil.

Dari arah pintu besar berwarna putih. Terdapat sepasang suami-istri yang sedang berjalan ke arah mobil dan juga sudah siap dengan pakaian berwarna cokelat muda bercampur motif yang juga berwarna cokelat tua.

“Idih couple lagi bajunya.” gerutu Zayna kala melihat kedua orang tuanya baru selesai berias, saat kedua anaknya sudah menunggu cukup lama di dalam mobil.

“Iri aja anak umi,” balas sang umi sembari mencubit pipi kemerahan milik putri bungsunya itu.

___

Setelah sekitar ±3 jam mereka berkendara. Akhirnya, sampailah mereka berempat di pondok pesantren Al-Zikra milik orang tua Faiz sekaligus kakek dari Zayna, Nizam dan juga Zaenab.

“Alhamdulillaah, sampai dengan selamat,” tutur abi Faiz ketika keluarganya masih dalam perlindungan Allaah dan di jauhkan dari marabahaya ketika di perjalanan.

“Alhamdulillaah,” lanjut tiga orang yang berada di samping dan di belakangnya.

Kehadiran keluarga ustadz Faiz di sambut bahagia oleh para santriwan-santriwati serta para pengurus pondok di sana. Semuanya terlihat begitu sangat hangat, kala melihat keadaan pondok masih sama seperti dulu. Selalu damai dan sangat bersih lingkungannya.

“Ih, Zayna kangen banget sama Shafira! Dia udah segede apa ya sekarang?” lirih Zayna ketika melihat seorang santriwati yang sepertinya berumur 12-14 tahun melewati dirinya.

“Assalamu'alaikum,” salam abi Faiz ketika dirinya dan juga anak-istrinya sudah berada di ruangan milik pendiri pondok tersebut, Habib Syakir.

“Wa'alaikumussalam,” balas orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

Zayna mengerjit heran, kala melihat laki-laki yang sedang membolak-balikan buku setebal dua senti di pojok kanan kursi ruangan tersebut.

“Loh ustadz Hanif?” panggilnya.

Iya, Hanif hanya tersenyum saat melihat perempuan yang selalu ia pinjam namanya di sepetiga malam itu.

“Kok, umi sama abi gak bilang ada ustadz Hanif?” bisik Zayna kepada kedua orang tuanya. Yang ditanya hanya mengangkat bahu mengisyaratkan bahwa mereka berdua pura-pura tidak tahu.

Akhirnya, setelah membicarakan hal panjang tentang bagaimana berjalannya pondok pesantren ini selama tiga tahun kebelakang, juga pengurus-pengurus serta para santriwan-santriwati yang seiring berjalannya waktu semakin bertambah. Mereka semua memutuskan untuk mengelilingi pondok pesantren Al-Zikra sembari menunggu adzan ashar berkumandang.

“Ustadz!” panggil Zayna sembari memakai sepatu pentofel miliknya.

“Tunggu!” lanjutnya.

Hanif lagi-lagi menuruti perintah Zayna tanpa ia sadari. Ia selalu menuruti apa kata Zayna sejak mereka sering sekali bertemu.

“Pesantrennya bersih banget ya? Gak berubah,” Zayna mulai membuka topik pembicaraan. Hanif hanya mengangguk paham.

“Senyum dong! Aneh tau cemberut mulu!” lagi-lagi Zayna terus saja mengoceh untuk mencairkan suasana yang begitu kaku.

“Nanti,” balas Hanif yang matanya tidak sama sekali melirik ke arah Zayna berada.

“Kapan?” tanya perempuan itu, yang langsung berlari kecil mendahului Hanif.

“Kalau sudah halal.” bisik Hanif yang masih bisa terdengar di telinga Zayna.

“Aku gak tuli loh ustadz! Semua cowok tuh emang buaya ya?” simpulnya yang terus saja berjalan di depan Hanif.

“Saya bukan buaya, nanti saya akan buktikan dengan ucapan yang saya katakan tadi!” bela Hanif kala menampakkan senyum di belakang perempuan yang memakai pakaian cokelat bermotif bunga-bunga itu.

Mereka mungkin akan bertemu lewat takdirnya masing-masing. Keduanya masih samar-samar dalam perasaan yang ada di hatinya. Namun salah satu dari mereka yakin akan takdir Allaah. Maka, satu di antaranya selalu memohon untuk bertemu dan bertemu lagi dengan dia, yang menjadi sosok perempuan yang di kaguminya. Takdir atau pun bukan, tetap yakin bahwa ternyata pilihan Allaah lebih baik dari pada pilihan kita yang hanya mengira-ngira saja.

©morkihacoy

Hari ini Hanif datang lebih awal dari sebelumnya. Ia harap hari ini rencananya lebih baik dari hari kemarin.

Ia mengetuk pintu dan memberi salam ketika sampai di rumah Ustadz Faiz. Terlihat bahwa, Zayna sudah duduk tepat di kursi ruang tamu rumahnya. Ada perasaan semangat yang ia rasakan saat ini.

“Assalamu'alaikum Ustadz Hanif,” ucapnya sembari tersenyum senang.

Yang di panggil hanya me jawab salam dan langsung menundukkan kepalanya.

“Hari ini belajar apa? Kitab nikah kan ya?” tanya Zayna dengan raut wajah yang semakin sumbringah.

“Kita bahas itu nanti saja ya? Sekarang ada materi yang mungkin cocok buat kamu.” jawab Hanif lalu mencari lembaran kertas yang berisikan materi-materi yang akan ia bahas hari ini.

“Catet gak?” Zayna kembali bertanya.

“Kalau otak kamu bisa menangkap dengan cepat dan tidak mudah lupa, ya tidak usah.” ujar Hanif singkat.

“Materi ini tentang Cantik Luar Dalam.” Hanif mulai membahas materi yang akan dia sampaikan. Zayna dengan sigap menulis judul materi tersebut di kertas kosong yang sudah ia siapkan sedari tadi.

“Menurut Qur'an surah At-Tin ayat empat. Menjelaskan tentang, bagaimana Allaah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya.”

“Ada dua cantik menurut islam yaitu, cantik dari dalam dan cantik dari luar.”

“Cantik dari dalam menurut islam maksudnya di sini ialah hatinya. Pesan dari Habib Umar bin Hafidz, Sebagaimana kamu membersihkan wajahmu agar indah dipandang orang, maka bersihkanlah hatimu agar indah dipandang oleh Allaah SWT.”

“Lalu yang kedua itu, cantik dari luar menurut islam maksudnya, orang yang menutup auratnya dan menjaga dirinya dari yang bukan mahram. Bukan mereka yang memperlihatkan dan menebar pesona kepada lawan jenisnya.”

“Menurut surah Al-Ahzab ayat lima puluh sembilan, yang dimana Allah berfirman,“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita (keluarga) orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan atas diri mereka (ke seluruh tubuh mereka) jilbab mereka. Hal itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal (sebagai para wanita muslimah yang terhormat dan merdeka) sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

“Ustadz, kalau cantik rupa menjamin cantik hatinya juga gak?” potong Zayna kala Hanif sedang menjelaskan materi yang sedang ia bahas.

“Tidak, cantik rupanya tidak menjamin cantik hatinya juga. Tapi jika seorang muslim memiliki keduanya itu lebih baik.”

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim)”

“Jika hatinya baik, maka baik pula akhlaknya. Rasulullah pun pernah bersabda, “Sebaik-baiknya manusia ialah mereka yang paling baik akhlaknya.” (HR. Thabrani)” jelas Hanif panjang lebar. Namun, kalimatnya cukup mudah di pahami dan membuat Zayna bisa cukup mengerti atas materi yang Hanif jelaskan hari ini.

“Sampai sini dulu ya? Besok kita bahas tentang akhlak.” lanjut Hanif sembari membereskan lembaran-lembaran kertas yang sempat ia keluarkan tadi.

“Kamu nyatat materinya?” tanya Hanif tiba-tiba yang sontak menyadarkan Zayna dari lamunannya.

“Nyatat kok! Nih kalo gak percaya.” ucapnya sembari memberikan buku kosong yang sekarang terisi penuh dengan materi yang disampaikan Hanif tadi.

“Ngerti?” tanya Hanif lagi.

“Ngerti dong!” jawab perempuan yang memakai gamis biru muda langit itu.

“Alhamdulillaah, kalau begitu saya izin pamit? Maaf ya, belum bisa menunggu Ustadz Faiz pulang.” lirih Hanif yang sudah siap-siap untuk pergi berpamitan.

“Gapapa,” jawab Zayna singkat.

“Kalau begitu saya duluan, Wassalamu'alaikum.” salam Hanif dan segera beranjak pergi dari dalam rumah pemilik pesantren Al – Assalam itu.

“Wa'alaikumussalam,” balas Zayna sembari tersenyum diam-diam menatap bayang-bayang yang mulai menghilang dari hadapannya.

©morkihacoy

Zayna berlari sekencang mungkin, kala ia merasa tidak enak hati kepada Hanif yang sudah mau menunggu kepulangannya dari tadi.

Begitu membuka pintu, terlihat jelas seorang laki-laki berpakaian gamis sedang terlelap dengan posisi duduk setengah merebahkan tubuhnya dan kopeah yang menutupi sebagian wajah laki-laki itu.

“Ih sampe ketiduran, ya Allaah!” paniknya merasa bersalah dan segera beranjak pergi menuju lantai atas.

Iya, Zayna mengambil sebuah selimut bermotif kotak-kotak biru miliknya, untuk sekedar menutupi sebagian tubuh laki-laki itu.

Iya, dia adalah Hanif Aqeel Ad-Dzikri.

Sejak selesai menunaikan sholat isya. Hanif segera pergi untuk menepati janji kepada guru besarnya, Ustadz Faiz. Orang tua dari perempuan yang sekarang akan menjadi tanggung jawabnya dalam mendalami ilmu agama. Tidak lupa membawa kitab dan beberapa kertas berisikan materi yang akan ia bahas malam ini.

Namun, baru saja ia sampai. Nizam─kakak laki-laki Zayna Jumayra─mengabarkan bahwa, adiknya sedang tidak berada di rumah dan pergi keluar bersama sahabat perempuannya.

Assalamu'alaikum,” ucap Hanif sembari mengetuk pintu berwarna putih yang ada di hadapannya.

Wa'alaikumussalam, sebentar,” jawab suara laki-laki dari dalam yang ternyata itu adalah Nizam.

“Ustadz,” panggil Nizam sembari menampakkan gigi kelinci kecilnya untuk sekedar tersenyum kepada Hanif.

“Zayna nya tadi keluar. Mungkin, sebentar lagi pulang. Masuk saja dulu ustadz!” pinta Nizam.

Hanif menuruti perintah Nizam untuk sekedar duduk sembari menunggu Zayna pulang.

Merasa bosan, karena perempuan yang dimaksud tak kunjung datang. Ia membetulkan posisi duduknya menjadi sedikit rebahan dan menutup setengah wajahnya dengan kopeah yang ia kenakan tadi.

Tidak terasa ia tertidur begitu lelap. Hingga, saat matanya mulai terbuka dan samar-samar melihat ada sesuatu yang menutupi tubuhnya. Ia segera bangkit dari posisi yang sebelumnya.

Dari tempat itu, ia melihat perempuan yang menggunakan hijab berwarna cokelat dan sweater hijau tua, yang kepalanya berada di atas meja tamu. Wanita itu sedang menunduk. Ternyata, ia juga sedang tertidur di kala keheningan malam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45 malam. Iya, mereka tertidur lumayan lama. Hanif sempat ingin berpamitan. Tapi, ia tidak sampai hati untuk membangunkan Zayna.

Ia juga khawatir, melihat posisi tidur Zayna yang kurang nyaman. Karena Zayna tidur sambil terduduk dan kedua tangan Zayna menjadi tumpuan untuk kepalanya.

“Eh mas Nizam!” panggilnya karena melihat Nizam masih berlalu lalang di tengah keheningan malam.

“Lho, Zayna nya tidur?” tanya Nizam yang melihat adiknya sedang tertidur lelap di atas lantai yang dibaluti karpet merah tua.

“Saya sama dia sepertinya ketiduran, mas.” jelas Hanif kepada Nizam.

“Oh, pantesan dari tadi saya dengar kok sepi-sepi aja ngajarnya. Kirain sambil bisik-bisik.” ucap Nizam dan segera menggendong adik perempuannya itu kedalam dekapannya, untuk menghantarkan tidur di kamar milik Zayna.

Setelah beberapa menit Nizam pergi ke lantai atas. Ia segera menghampiri Hanif yang sedang terduduk menunggu kedatangannya.

“Aduh, afwan ya? Ustadz malah jadi ketiduran karena nungguin Zayna.” maaf Nizam karena merasa tidak enak atas apa yang baru saja terjadi.

“Tidak apa-apa, kalau begitu saya izin pamit mas Nizam. InsyaAllaah besok saya akan datang lebih cepat. Karena ini kesalahan saya yang datang terlalu malam dan mengganggu waktu istirahat Zayna.” ujar Hanif yang langsung berpamitan dengan Nizam.

©morkihacoy

*Ketiduran

Zayna berlari sekencang mungkin, kala ia merasa tidak enak hati kepada Hanif yang sudah mau menunggu kepulangannya dari tadi.

Begitu membuka pintu, terlihat jelas seorang laki-laki berpakaian hoodie hitam sedang terlelap dengan posisi duduk setengah merebahkan tubuhnya dan kopeah yang menutupi sebagian wajah laki-laki itu.

“Ih sampe ketiduran, ya Allaah!” paniknya merasa bersalah dan segera beranjak pergi menuju lantai atas.

Iya, Zayna mengambil sebuah selimut bermotif kotak-kotak biru miliknya, untuk sekedar menutupi sebagian tubuh laki-laki itu.

Iya, dia adalah Hanif Aqeel Ad-Dzikri.


Sejak selesai menunaikan sholat isya. Hanif segera pergi untuk menepati janji kepada guru besarnya, Ustadz Faiz. Orang tua dari perempuan yang sekarang akan menjadi tanggung jawabnya dalam mendalami ilmu agama. Tidak lupa membawa kitab dan beberapa kertas berisikan materi yang akan ia bahas malam ini.

Namun, baru saja ia sampai. Nizam─kakak laki-laki Zayna Jumayra─mengabarkan bahwa, adiknya sedang tidak berada di rumah dan pergi keluar bersama sahabat perempuannya.

“Assalamu'alaikum,” ucap Hanif sembari mengetuk pintu berwarna putih yang ada di hadapannya.

“Wa'alaikumussalam, sebentar,” jawab suara laki-laki dari dalam yang ternyata itu adalah Nizam.

“Ustadz,” panggil Nizam sembari menampakkan gigi kelinci kecilnya untuk sekedar tersenyum kepada Hanif.

“Zayna nya tadi keluar. Mungkin, sebentar lagi pulang. Masuk saja dulu ustadz!” pinta Nizam.

Hanif menuruti perintah Nizam untuk sekedar duduk sembari menunggu Zayna pulang.

Merasa bosan, karena perempuan yang dimaksud tak kunjung datang. Ia membetulkan posisi duduknya menjadi sedikit rebahan dan menutup setengah wajahnya dengan kopeah yang ia kenakan tadi.

Tidak terasa ia tertidur begitu lelap. Hingga, saat matanya mulai terbuka dan samar-samar melihat ada sesuatu yang menutupi tubuhnya. Ia segera bangkit dari posisi yang sebelumnya.

Dari tempat itu, ia melihat perempuan yang menggunakan hijab berwarna cokelat dan sweater hijau tua, yang kepalanya berada di atas meja tamu. Wanita itu sedang menunduk. Ternyata, ia juga sedang tertidur di kala heningnya malam.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45 malam. Iya, mereka tertidur lumayan lama. Hanif sempat ingin berpamitan. Tapi, ia tidak sampai hati untuk membangunkan Zayna.

Ia juga khawatir, melihat posisi tidur Zayna yang kurang nyaman. Karena Zayna tidur sambil terduduk dan kedua tangan Zayna menjadi tumpuan untuk kepalanya.

“Eh mas Nizam!” panggilnya karena melihat Nizam masih berlalu lalang di tengah heningnya malam.

“Lho, Zayna nya tidur?” tanya Nizam yang melihat adiknya sedang tertidur lelap di atas lantai yang dibaluti karpet merah tua.

“Saya sama dia sepertinya ketiduran, mas.” jelas Hanif kepada Nizam.

“Oh, pantesan dari tadi saya dengar kok sepi-sepi aja ngajarnya. Kirain sambil bisik-bisik.” ucap Nizam dan segera menggedong adik perempuannya itu kedalam dekapannya, untuk menghantarkan tidur di kamar milik Zayna.

Setelah beberapa menit Nizam pergi ke lantai atas. Ia segera menghampiri Hanif yang sedang terduduk menunggu kedatangannya.

“Aduh, afwan ya? Ustadz malah jadi ketiduran karena nungguin Zayna.” maaf Nizam karena merasa tidak enak atas apa yang baru saja terjadi.

“Tidak apa-apa, kalau begitu saya izin pamit mas Nizam. InsyaAllaah besok saya akan datang lebih cepat. Karena ini kesalahan saya yang datang terlalu malam dan mengganggu waktu istirahat Zayna.” ujar Hanif yang langsung berpamitan dengan Nizam.

©morkihacoy

Suara gerbang rumah terbuka dan terdengar jelas Kala ditarik oleh seseorang. Faiz─abi Zayna Jumayra─segera beranjak ke arah jendela, kala melihat putranya Nizam Al-Fakhri dan si bungsu Zayna keluar dari mobil berwarna hitam.

Dari luar Zayna sudah bisa melihat jelas abinya yang sedari tadi menunggu kepulangannya dari kampus.

Zayna Jumayra, perempuan yang bulan lalu baru beranjak 19 tahun itu. Kini sudah beranjak dewasa. Pakaian yang ia kenakan pun tidak merubah kepribadiannya menjadi lebih dewasa. Makanya kenapa, sang abi selalu waspada karena kepolosan putrinya yang satu ini.


Kedatangannya disambut bahagia oleh abi dan uminya. Merasa ada yang janggal disekitarnya, Zayna langsung membuang muka kala melihat laki-laki yang baru saja tadi pagi bertemu dengannya.

“Ini mah bukannya ustadz yang mahal senyum, bi!?” umpatnya kala mendapat cubitan kecil dari kakak laki-lakinya, Nizam.

“Aku salah emang?” bukannya meminta maaf Zayna malah terus melanjutkan pertanyaannya. Yang tak lain dan tak bukan, membuat laki-laki yang Zayna maksud itu terlihat menahan malu.

“Afwan ustadz, Zayna memang seperti ini,” ujar sang abi ketika ia juga merasa malu karena kelakuan anak bungsunya itu.


“Jadi, bagaimana ustadz Hanif? Apa ustadz berkenan untuk menjadi guru private putri saya?” kini setelah melaluin pembicaraan panjang. Abi Faiz langsung menuju inti dari pembahasan yang sebenarnya.

Melihat perempuan yang berada tepat di belakang Faiz sedang menyilang-nyilangkan tangan─ memberi tanda untuk menolak permintaan tersebut─Hanif malah tidak menghiraukan dan menjawab setuju untuk mengajar Zayna di rumah milik ustadz Faiz.

“InsyaAllaah, saya berkenan ustadz.” ucapnya kala melihat wajah Zayna kecewa karena keputusan yang diambilnya.

“Alhamdulillaah kalau begitu bagai-” belum sempat melanjutkan kalimatnya. Zayna sudah memotong perkataan sang abi.

“Abi kan kita belum muhrim? Kalo aku belajar sama dia, terus bisa aja kan bi, setan macem-macem sama kita. Abis tuh jadi ada hal yang tidak diinginkan gimana, bi?” bukan mendapat jawaban. Zayna malah mendapat cubitan untuk kedua kalinya dari Nizam.

“Ya masa abi langsung nikahin kalian? Hitung-hitung ta'aruf ya ustadz?” ujar abi Faiz sembari mengedipkan matanya kala menggoda Hanif yang berada di kursi samping dimana ia sedang terduduk sekarang.

“Ya udah iya, tapi awas aja ya sampe situ macem-macem sama saya!” protes Zayna sembari menatap tajam ke arah Hanif. Yang ditatap masih terus menunduk bingung. Bukan takut, tapi sepertinya Zayna ini kurang nyaman ketika bertemu dengannya.

©morkihacoy

Suara gerbang rumah terbuka dan terdengar jelas kala ditarik oleh seseorang dari luar sana. Faiz─abi Zayna Jumayra─segera beranjak dari tempat duduknya ke arah jendela yang menghadap ke halaman depan rumahnya, kala melihat putranya Nizam Al-Fakhri dan si bungsu Zayna keluar dari mobil berwarna hitam.

Dari luar Zayna sudah bisa melihat jelas abinya yang sedari tadi menunggu kepulangannya dari kampus.

Zayna Jumayra, gadis yang bulan lalu baru beranjak 19 tahun itu. Kini sudah beranjak dewasa. Pakaian yang ia kenakan pun tidak merubah kepribadiannya menjadi lebih dewasa. Makanya kenapa, sang abi selalu waspada karena kepolosan putrinya yang satu ini.


Kedatangannya disambut bahagia oleh abi dan uminya. Merasa ada hal yang janggal disekitarnya, Zayna langsung membuang muka ketika melihat laki-laki yang baru saja tadi pagi ia temui.

“Ini mah bukannya ustadz yang mahal senyum itu ya, bi!?” umpatnya lalu langsung mendapat cubitan kecil dari kakak laki-lakinya, Nizam.

“Aku salah emang?” Bukannya meminta maaf Zayna malah terus melanjutkan pertanyaannya itu. Yang tak lain dan tak bukan, membuat laki-laki yang Zayna maksud itu terlihat menahan malu.

“Afwan ustadz, Zayna memang seperti ini,” ujar sang abi ketika ia juga merasa malu karena kelakuan anak bungsu satu-satunya ini.


“Jadi, bagaimana ustadz Hanif? Apa ustadz berkenan untuk menjadi guru private putri saya?” Kini setelah melaluin pembicaraan panjang. Faiz langsung saja menuju inti dari pembahasan yang sebenarnya akan ia sampaikan.

Melihat perempuan yang berada tepat di belakang Faiz sedang melakukan gerakan menyilang-nyilangkan tangan─ memberi tanda untuk menolak permintaan tersebut─Hanif malah tidak menghiraukan dan menjawab setuju untuk mengajar Zayna di rumah milik ustadz Faiz.

“InsyaAllaah, saya berkenan ustadz.” ucapnya kala melihat wajah Zayna kecewa karena keputusan yang diambilnya.

“Alhamdulillaah kalau begitu bagai-” Belum sempat melanjutkan kalimatnya. Zayna sudah memotong perkataan sang abi.

“Abi kan kita belum mahram? Kalo aku belajar sama dia, terus bisa aja kan bi, setan macem-macem sama kita. Abis tuh jadi ada hal yang nggak diinginkan terjadi sama kita gimana, bi?” Bukan mendapat jawaban. Zayna malah mendapat cubitan untuk kedua kalinya dari Nizam yang sudah geram dengan kelakuan adik perempuannya itu.

“Ya masa abi langsung nikahin kalian? Hitung-hitung ta'aruf ya ustadz?” ujar abi Faiz sembari mengedipkan matanya kala menggoda Hanif yang berada di kursi samping dimana ia sedang terduduk sekarang.

“Ya udah iya, tapi awas aja ya sampe situ macem-macem sama saya!” protes Zayna sembari menatap tajam ke arah Hanif. Yang ditatap masih terus menunduk bingung. Bukan takut, tapi sepertinya Zayna ini kurang nyaman ketika bertemu dengannya.

©morkihacoy