Hari-H
Ini hari terakhir Hanif ada di pondok pesantren Al-Assalam. Hari terakhir juga bisa melihat wajah-wajah yang InsyaAllaah menjadi penghuni surga-Nya Allaah.
Ia pasti akan selalu merindukan moment – moment ketika ia menjadi santri dan akhirnya menjadi pengajar juga di pondok pesantren ini.
Di tengah lapangan pesantren Al-Assalam, seluruh santriwan-santriwati sedang menunggu ustadz Hanif keluar dari ruang pengurus pesantren. Habib Shalim pemilik pesantren pun ikut untuk mengantarkan ustadz Hanif menuju bandara.
Semenjak Hanif sibuk mengurusi urusan keberangkatannya ke Yaman. Zayna dan Hanif tidak pernah berkomunikasi, untuk sekedar membicarakan, tentang Hanif yang sudah tidak bisa mengajarkannya lagi. Zayna kecewa. Namun, itu adalah pilihan Hanif dan Sang Rabb.
“Saya izin pamit, tiga jam lagi InsyaAllaah saya sudah memulai penerbangan. Doakan saya semoga selamat sampai tujuan, Habib.” ucap Hanif kala mencium punggung tangan sang guru besar di pondok pesantren ini.
“Selalu Hanif, selalu!” balas Habib Shalim sembari mencium kening dan memeluk erat tubuh Hanif.
Hanif kemudian mengililingi semua guru-guru pengajar yang ada di pondok pesantren Al-Assalam. Sekedar meminta doa dan bersalaman. Sampai akhirnya, orang yang terakhir itu adalah Zayna Jumayra.
Netranya tidak berani menatap mata lekat hitam milik Zayna. Namun, Zayna sedari tadi terus saja memperhatikan Hanif dengan mata yang sudah memerah menahan tangis.
“Saya izin pamit,” ucap Hanif dan langsung melewati tubuh kecil itu begitu saja.
Tanpa basa-basi lagi, Hanif segera menaiki kendaraan beroda empat yang akan mengantarkannya ke bandara.
Zayna terus saja memperhatikan tubuh lelaki itu, hingga hilang dari pandangannya. Sakit, rasa sakit itu tiba-tiba menyeruak dalam hatinya. Entah perasaan senang atau sedih yang ia rasakan ini. Tapi, yang ia sadari adalah, ia mungkin mulai mengagumi sosok yang selama dua bulan ini menjadi pembimbingnya dalam belajar ilmu agama.
“Jangan nangis,” bujuk Zoya sembari memeluk tubuh Zayna dari arah sebelah kanan. Zayna berusaha terus menghapus air matanya yang sedari tadi sudah membasahi kedua pipinya.
“Iya, ini gak nangis,” balas Zayna lalu melihatkan senyum terpaksa ke arah Zoya.
Entah pertemuan ini sudah usai atau malah masih berjalan. Karena, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Dan di setiap perpisahan pasti ada kesedihan. Mereka harap ini bukan yang terakhir. Masih ada banyak lembaran kertas yang belum mereka isi untuk sekedar saling bercerita. Semoga pembatas ini, hanya sekedar pembatas untuk melanjutkan cerita selanjutnya. Bukan pembatas untuk mengakhiri ceritanya.
©morkihacoy