Hari Kedua

Zayna segera keluar dari kamar dan turun menyusuri anak tangga. Ia melihat jelas Hanif sudah duduk di atas kursi ruang tamu rumahnya.

“Assalamu'alaikum, maaf ustadz kelamaan.” ujarnya sambil terengah-engah karena menuruni anak tangga yang lumayan cukup banyak.

“Wa'alaikumussalam, jangan lari-lari!” omel Hanif kala takut melihat Zayna jatuh dari atas sana.

“I-iya,” balas Zayna.

“Lanjut ya, materi tentang akhlak.” ucap Hanif memulai pembahasan sembari membuka lembaran-lembaran buku yang sudah ia siapkan.

“Kemarin itu sampai, jika hatinya baik, maka baik pula akhlaknya?” tanya Hanif yang hanya mendapat anggukkan dari Zayna.

“Dalam islam, Akhlak itu di bagi menjadi dua yaitu, Akhlakul Karimah dan Akhlakul Mazmumah,” lanjut Hanif.

“Akhlakul Mazmumah apa?” tanyanya tiba-tiba kepada Zayna.

“Eum... Akhlak tercela!” jawab Zayna girang.

“Contohnya?” tanya Hanif kembali.

“Iri, dengki, takabur, sombong, suka ghibah, banyak deh pokoknya!” jawab Zayna sembari berpikir keras apalagi yang termasuk dalam contoh kepada Akhlakul Mazmumah.

“Suka ghibah?” lagi-lagi Hanif bertanya.

Bukan malah menjawab, Zayna hanya terkekeh malu. Bagaimana tidak, sepertinya apa yang selalu ia bicarakan bersama Zoya itu adalah salah satu dari ghibah.

“Kalau akhlak dan ilmu lebih utama yang mana?” tanya Hanif lagi. Sebenarnya, Hanif hanya mengetes sejauh mana pengetahuan Zayna tentang materi yang sedang ia bahas kali ini. Karena sebelumnya, pasti ia sudah dahulu mendapat penjelasan dari sang abi, Faiz.

“Ilmu?” jawab Zayna ragu-ragu.

“Kenapa ilmu?”

“Soalnya kan semuanya berawal dari ilmu.” jelas Zayna asal yang mendapat senyum nipis dari Hanif.

“Memang kalau menolong orang lain harus punya ilmu dulu?” Kini Hanif mulai menatap mata Zayna. Yang ditatap juga menatap balik.

“Ngga sih,” balas Zayna kala sadar dengan apa yang ia jawab ternyata salah atas pertanyaan dari Hanif tadi.

“Berarti akhlak!” Zayna kembali menjawab.

“Iya akhlak dulu. Karena kalau ilmu dulu iblis pun bisa. Bahkan, iblis lebih bisa menguasai. Iblis juga lebih pintar dari kita. Makanya, disamping ilmu juga harus ada akhlak dan iman, Zayna.” jelasnya, Zayna hanya terdiam sembari memperhatikan penjelasan Hanif tadi.

“Akhlak itu tetep nomor 1!” lanjut Hanif.

“Karena Rasulullah ﷺ bersabda : أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ الْجَنَّةَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ “Yang paling banyak dimasukkan ke dalam surga adalah orang yang bertakwa kepada Allah dan mempunyai akhlak yang terpuji.”(HR. Tirmidzi)”

“Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Akal cerdas tanpa akhlak mulia, ibarat seorang yang pemberani tanpa senjata.” Jadi, kamu harus punya akhlak terpuji kalau mau di cintai Allaah dan makhluk-Nya!” jelas Hanif kala melihat Zayna yang begitu tekun memperhatikannya.

“Kaya ustadz ya?” tanya Zayna tiba-tiba.

“Aamiin, InsyaAllaah.” balas Hanif malu. Malu karena akhlak dan ilmu yang ia punya belum seberapa dengan ilmu orang-orang yang lebih darinya. Tapi, dengan niat dan tekat karena Allaah. Dia siap berbagi atas ilmu yang dimilikinya saat ini. Walaupun hanya sebesar biji zarah. Tapi, InsyaAllaah atas ridho-Nya ilmu ini menjadi berkah dan manfaat bagi dirinya juga orang di sekitarnya.

Waktu sudah semakin larut, penjelasan masih sangat panjang. Melihat Zayna yang sudah tidak bersemangat seperti di awal. Membuat Hanif memutuskan untuk mengakhiri pada penjelasan hari ini. Ia akhirnya pamit kepada Zayna juga keluarga yang ada di sana. Berharap, akan selalu ada hari esok untuk membawa perempuan itu menuju jalannya Allaah. Ia yakin dengan rencana Tuhan hari ini, esok, dan hari selanjutnya.

©morkihacoy