Bertemu
Pagi-pagi sekali, keluarga besar abi Faiz dan umi Farrah sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju pondok pesantren yang ada di Bogor.
Begitu juga dengan Nizam dan Zayna, yang sudah berada di dalam mobil milik Nizam yang berwarna hitam.
Kakak perempuan Zayna, yang bernama Zaenab pun ikut untuk berkunjung ke pondok pesantren milik kakek mereka bertiga.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama mereka mengunjungi pondok pesantren tersebut. Karena, sudah cukup lumayan lama tidak bertemu dengan para pengurus dan santriwan-satriwati di sana. Akhirnya hari ini, keluarga besar abi Faiz menyempatkan untuk sekedar berkunjung. Walaupun, hanya dalam waktu yang tidak lama.
“Lama banget deh abi sama umi!” keluh Zayna ketika ia sudah duduk cantik tepat di kursi belakang supir.
“Bawel banget sih!” cetus Nizam yang sudah bosan. karena, Zayna terus saja mengoceh sejak berada di dalam mobil.
Dari arah pintu besar berwarna putih. Terdapat sepasang suami-istri yang sedang berjalan ke arah mobil dan juga sudah siap dengan pakaian berwarna cokelat muda bercampur motif yang juga berwarna cokelat tua.
“Idih couple lagi bajunya.” gerutu Zayna kala melihat kedua orang tuanya baru selesai berias, saat kedua anaknya sudah menunggu cukup lama di dalam mobil.
“Iri aja anak umi,” balas sang umi sembari mencubit pipi kemerahan milik putri bungsunya itu.
___
Setelah sekitar ±3 jam mereka berkendara. Akhirnya, sampailah mereka berempat di pondok pesantren Al-Zikra milik orang tua Faiz sekaligus kakek dari Zayna, Nizam dan juga Zaenab.
“Alhamdulillaah, sampai dengan selamat,” tutur abi Faiz ketika keluarganya masih dalam perlindungan Allaah dan di jauhkan dari marabahaya ketika di perjalanan.
“Alhamdulillaah,” lanjut tiga orang yang berada di samping dan di belakangnya.
Kehadiran keluarga ustadz Faiz di sambut bahagia oleh para santriwan-santriwati serta para pengurus pondok di sana. Semuanya terlihat begitu sangat hangat, kala melihat keadaan pondok masih sama seperti dulu. Selalu damai dan sangat bersih lingkungannya.
“Ih, Zayna kangen banget sama Shafira! Dia udah segede apa ya sekarang?” lirih Zayna ketika melihat seorang santriwati yang sepertinya berumur 12-14 tahun melewati dirinya.
“Assalamu'alaikum,” salam abi Faiz ketika dirinya dan juga anak-istrinya sudah berada di ruangan milik pendiri pondok tersebut, Habib Syakir.
“Wa'alaikumussalam,” balas orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut.
Zayna mengerjit heran, kala melihat laki-laki yang sedang membolak-balikan buku setebal dua senti di pojok kanan kursi ruangan tersebut.
“Loh ustadz Hanif?” panggilnya.
Iya, Hanif hanya tersenyum saat melihat perempuan yang selalu ia pinjam namanya di sepetiga malam itu.
“Kok, umi sama abi gak bilang ada ustadz Hanif?” bisik Zayna kepada kedua orang tuanya. Yang ditanya hanya mengangkat bahu mengisyaratkan bahwa mereka berdua pura-pura tidak tahu.
Akhirnya, setelah membicarakan hal panjang tentang bagaimana berjalannya pondok pesantren ini selama tiga tahun kebelakang, juga pengurus-pengurus serta para santriwan-santriwati yang seiring berjalannya waktu semakin bertambah. Mereka semua memutuskan untuk mengelilingi pondok pesantren Al-Zikra sembari menunggu adzan ashar berkumandang.
“Ustadz!” panggil Zayna sembari memakai sepatu pentofel miliknya.
“Tunggu!” lanjutnya.
Hanif lagi-lagi menuruti perintah Zayna tanpa ia sadari. Ia selalu menuruti apa kata Zayna sejak mereka sering sekali bertemu.
“Pesantrennya bersih banget ya? Gak berubah,” Zayna mulai membuka topik pembicaraan. Hanif hanya mengangguk paham.
“Senyum dong! Aneh tau cemberut mulu!” lagi-lagi Zayna terus saja mengoceh untuk mencairkan suasana yang begitu kaku.
“Nanti,” balas Hanif yang matanya tidak sama sekali melirik ke arah Zayna berada.
“Kapan?” tanya perempuan itu, yang langsung berlari kecil mendahului Hanif.
“Kalau sudah halal.” bisik Hanif yang masih bisa terdengar di telinga Zayna.
“Aku gak tuli loh ustadz! Semua cowok tuh emang buaya ya?” simpulnya yang terus saja berjalan di depan Hanif.
“Saya bukan buaya, nanti saya akan buktikan dengan ucapan yang saya katakan tadi!” bela Hanif kala menampakkan senyum di belakang perempuan yang memakai pakaian cokelat bermotif bunga-bunga itu.
Mereka mungkin akan bertemu lewat takdirnya masing-masing. Keduanya masih samar-samar dalam perasaan yang ada di hatinya. Namun salah satu dari mereka yakin akan takdir Allaah. Maka, satu di antaranya selalu memohon untuk bertemu dan bertemu lagi dengan dia, yang menjadi sosok perempuan yang di kaguminya. Takdir atau pun bukan, tetap yakin bahwa ternyata pilihan Allaah lebih baik dari pada pilihan kita yang hanya mengira-ngira saja.
©morkihacoy