Yang Bener Yang Mana?

Zayna terbangun dari tidurnya lalu melihat Hanif sedang terduduk diatas sajadah sembari mengangkat kedua tangannya.

Diam-diam tubuh kecil itu mendekat ke arah Hanif.

“Kamu kok gak bangunin aku?” tanya Zayna sembari memeluk Hanif dari arah belakang.

“Kasihan, kamu tidurnya semalem kan jam dua belas lebih. Karena ngejar deadline pesanan lukisan kamu.” balas Hanif lalu membetulkan posisinya menghadap ke arah Zayna. Diciumnya kening milik Zayna dan memeluk kembali erat tubuh itu.

“Jangan cium bibir ya!” pinta Zayna.

“Kenapa?”

“Aku belum sikat gigi.” jelas Zayna sembari mengarahkan telunjuknya ke arah gigi.

“Sholat di rumah ya hari ini?” manja Zayna agar Hanif menuruti permintaannya.

“Iya, cantik. Sambil nunggu adzan kamu bersih-bersih dulu, terus murojaah dulu sebentar.” balas Hanif menyuruh Zayna untuk cepat-cepat ke kamar mandi.

Selesai sholat subuh, Zayna langsung membereskan alat sholat miliknya dan bergegas menuju ke lemari baju.

“Mas, aku keluar dulu ya sebentar lagi?” selanya sembari mencari-cari baju yang akan ia kenakan.

“Kemana sayang?” Hanif mengalihkan pandangannya dari buku Hadist yang sedang ia baca ke arah tubuh Zayna yang sedang sibuk memilah-milih baju.

“Ke warung.” balas Zayna lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.

“Pagi banget, emang udah buka?” tanya Hanif penasaran.

“Gak tau, makanya aku cek dulu.” jelas Zayna lalu mengunci pintu kamar mandi.

Hanif melanjutkan membaca lembaran buku yang ia genggam. Tidak mencurigai perkataan Zayna. Karena sebenarnya, Zayna akan pergi ke apotik di depan komplek perumahannya untuk sekedar membeli alat pengecek kehamilan, tespek.

“Aku berangkat ya?” izin Zayna lalu mencium tangan suaminya.

“Gak perlu saya antar?” tawar Hanif. Namun, Zayna hanya menggeleng sebagai jawaban tidak perlu.

“Hati-hati ya?” Hanif mencium kembali kening milih Zayna.

Zayna melangkah dengan terburu-buru. Takut Hanif mengikutinya dari belakang. Zayna sengaja menyembunyikannya karena jika nanti hasilnya positif. Ini akan menjadi kejutan untuk Hanif. Sebenarnya ia sangat takut untuk mencobanya. Namun, dibulan ini hari 'libur' nya tidak kunjung datang. Ia telat datang bulan.

Sesampainya ia di rumah. Zayna langsung menuju ke arah kamar kecil. Hanya memberi salam dan menghiraukan Hanif yang ada di hadapannya tadi.

“Loh, belanjaannya mana?” tanya Hanif kebingungan. Zayna tidak menjawab.

Ia perlahan membuka bungkus yang membaluti alat tersebut. Bingung bagaimana cara memakai alat yang sedang ia genggam ditangannya itu. Perlahan matanya membaca setiap kata yang ada di belakang bungkus berwarna merah muda itu.

“Gimana sih?” tanyanya kepada diri sendiri sembari membulak-balikkan bungkus.

“Oh,” ujarnya kala paham setelah membaca petunjuk dibelakang bungkus.

“Ih, kok gak ada garisnya? Jangan-jangan gak jadi lagi.” keluh Zayna kala melihat alat tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang mengandung.

“Jelek nih!” lanjutnya sembari melempar alat tersebut ke sembarang arah, lalu sesegera mungkin mencuci tangannya di wastafel yang ada di kamar mandi.

“Sayang, ini tukang sayurnya emang belum buka ya? Saya belanja aja ya ke mini maret?” terdengar teriakan dari arah dapur.

“Ngga usah sayang, aku aja. Sebentar aku lagi pipis dulu.” balas Zayna langsung membersihkan bajunya dan membuka knop pintu kamar mandi.

“Lama banget,” protes Hanif. Zayna hanya tersenyum ke arah Hanif sebagai jawaban.

“Kamu diem aja, mas. Biar aku ke depan sendiri.” pinta Zayna sembari mengantar Hanif untuk duduk di kursi meja makan.

“Saya ikut!” Hanif membantah.

“Ga!” ketus Zayna dengan muka marah namun berganti menjadi senyum terpaksa. Hanif memang tidak bisa membantah permintaan Zayna. Jika Zayna mengatakan iya, berarti iya. Kalau tidak, ya tidak.

Zayna pergi meninggalkan Hanif sendirian di rumahnya. Sebenarnya, nanti siang Hanif di undang dalam acara dakwah di pesantren sekitar kota Bandung.

Entah mengapa hari ini dia tidak mau berjauh-jauh dari sosok Zayna. Dirinya selalu tertarik untuk selalu ada di samping perempuannya itu.

Hanif beranjak dari duduknya lalu pergi ke kamar kecil. Sesampainya di sana, ia melihat benda yang cukup panjang mirip sebuah termometer. Tangannya beralih untuk mengambil alat aneh tersebut.

“Zayna sakit?” tanyanya kepada diri sendiri.

“Eh, bentuk termometer terbaru emang gini ya?”

“Oh, bukan. Garis dua...”

“Garis dua??” Hanif terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Zayna hamil?

“Ya Allaah,” ujarnya lalu berlari keluar untuk menghampiri Zayna. Tapi, ia lupa Zayna sedang tidak ada di rumah.

Dengan sigap, ia langsung mengambil kunci mobil dan pergi menuju mini market untuk menjemput Zayna.

Begitu sampai, ia masuk dan menghiraukan salam dari petugas kasir yang biasanya selalu menyapa para pelanggan.

Melihat sosok itu dari kejauhan. Hanif langsung menghampiri perempuan yang ia maksud.

Ia memeluk dari arah belakang, “Astagfirullaah, kaget. Ngapain kesini?” tanya Zayna terkejut dengan kedatangan Hanif yang mendadak.

“Jemput kamu!” balas pria yang kini malah bersikap manja di tempat yang bukan semestinya.

“Aneh,” balas Zayna lalu memilih bahan apa saja yang ia butuhkan untuk satu minggu kedepan.

Hanif mengandeng tangan kecil milik Zayna. Netranya tidak berpaling dari perut datar perempuannya. Sebenarnya ia pura-pura bersikap tidak tahu akan kehamilan Zayna. Karena Hanif berpikir Zayna akan memberikan kejutan seperti kebanyakan istri ketika dirinya sedang mengandung.

“Apasih?” tanya Zayna risih karena sedari tadi Hanif terus mengikutinya.

“Mau apa? Mau susu?” tawar Zayna kepada suaminya. Hanif menggeleng.

“Kayak bayi aja ngintilin aku!” protes Zayna.

Hanif terus saja menggoda Zayna. Ia tidak sabar Zayna akan memberitahu dirinya tentang bayi kecil yang sekarang berada di perut Zayna.

©morkihacoy