Salah

Faiz keluar dari kamarnya untuk sekedar menggambil minum menuju dapur. Melihat ada seseorang yang tengah beranjak pergi dari ruang depan. Membuat Faiz mengurungkan niatnya itu.

“Loh, Jahiz!” panggilnya sembari menghampiri sosok yang ia maksud.

“Assalamu'alaikum ustadz Faiz,” ujar Jahiz sembari tersenyum dan mencium punggung tangan Faiz─Jahiz juga salah satu murid didik Faiz. Namun, ia juga masih menjadi pelajar di pondok pesantren Al-Assalam. Belum seperti Hanif yang sudah mendapat gelar sebagai seorang Ustadz

“Wa'alaikumussalam, kenapa malah pulang lagi? Zayna nya mana?” tanya Faiz heran karena melihat Jahiz sendirian di ruang tamu.

“Anu ustadz, katanya Zayna tidak bisa melanjutkan bimbingan materi untuk hari ini. Oleh karena itu, saya izin pamit.” jelasnya kala mendapat respon bingung dari wajah Faiz.

“Sebentar, saya panggilkan dulu Zayna.” Faiz langsung berjalan menuju lantai dua rumah miliknya.

Melihat pintu kamar sang putri bungsu tidak tertutup rapat. Membuat ia mengintip, memastikan sedang apa putrinya sekarang.

“Assalamu'alaikum,” ucapnya sembari mengetuk pintu.

“Wa'alaikumussalam, eh abi?” balas Zayna cukup terkejut atas kehadiran sang abi.

“Turun yuk kebawah!?” pinta Faiz sembari memberikan senyum kepada putrinya.

Zayna langsung menuruti perintah Faiz. Karena mau tidak mau, ia harus patuh akan perintah orang tuanya.

Keduanya menuruni anak tangga satu per satu. Dan benar saja, sosok yang tidak ingin Zayna lihat masih menunggunya di lantai bawah, ruang tamu.

“Pasti ngadu ke abi!” batin Zayna sembari memalingkan wajahnya kepada Jahiz ketika ia sudah berada tepat di depan lelaki itu.

“Kenapa izin?” tanya Faiz.

“Abi, aku kan mau istirahat dulu. Aku masih punya tugas kuliah. Abi gak liat tadi meja belajar aku seberantakan apa?” ungkap Zayna.

“Jadi, lebih pilih tugas kuliah dari pada urusan akhirat?” tanya Faiz kembali, sembari merebut kuas kecil milik Zayna yang ia bawa sedari tadi.

“Abi sudah bilang kan? Jangan terlalu fokus sama apa yang tidak bisa kamu gapai, Zayna!” bentak Faiz lalu melemparkan kuas kecil berwarna biru itu ke sembarang arah.

“Apa untungnya melukis seperti itu? Abi bilang boleh melukis asal tidak menyerupai apa yang Allaah ciptakan! Memang, memang banyak ulama yang masih memperdebatkan soal hadist ini. Tapi, apa sebaiknya kita berjaga-jaga? Kita belum tentu bisa mempertanggung jawabkan ini di akhirat, Zayna.” jelas Faiz sembari menatap mata lekat milik Zayna yang sudah memerah.

“Kenapa sih, bi? Aku kan cuma ngasah bakat yang aku punya dari Allaah. Lagian, selama ini aku gak pernah minta alat-alat keperluannya sama abi. Aku beli sendiri pake uang aku. Aku juga bisa ngasilin uang aku dari semua lukisan aku!” timpal Zayna yang dimana air mata itu sudah beberapa kali jatuh di kedua pipinya.

Melihat kejadian itu, Jahiz jadi merasa bersalah. Mungkin, Zayna mengira dia sudah mengadu soal hari ini, yang dimana Zayna tidak bisa melanjutkan materi yang akan dia bahas.

“Afwan, mungkin sebelumnya saya tidak sopan. Tapi ustadz, untuk hari ini Zayna sudah izin dan juga saya tidak mempermasalahkannya ustadz. Jadi, menurut saya Zayna juga butuh istirahat. Karena seperti yang dia bilang, dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya yang menumpuk. Saya sangat memaklumi itu, ustadz. Saya harap masalah ini tidak menjadi masalah yang besar.” bela Jahiz ketika ia tidak tega melihat Zayna menjadi sasaran utama atas perkaranya ini.

“Bukan begitu, Jahiz. Tapi saya-” belum sempat melanjutkan kalimatnya, Jahiz langsung berpamitan dan meminta maaf atas apa yang telah terjadi hari ini.

“Afwan sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan itu. Sama sekali tidak. Jadi, lebih baik saya pamit dari sini ustadz, Wassalamu'alaikum.” ucapnya sembari mencium tangan Faiz dan tersenyum ke arah Zayna, lalu pergi meninggalkan dua orang yang sedang berdebat itu.

“Zayn-” kalimatnya kembali terpotong kala Zayna pergi meninggalkannya.

Kini Faiz merasa bersalah, mengingat tentang ia yang tidak sadar telah membentak putri bungsunya itu. Karena, ini bukan sekali dua kali Zayna izin untuk tidak ikut bimbingan. Membuat Faiz geram, karena begitu banyak alasan yang Zayna gunakan agar bisa bolos.

Ia kebingungan sekarang. Melihat seseorang dari arah kamar mulai menghampirinya dan memberikan Faiz segelas air agar amarahnya segera mereda.

“Abi, jangan terlalu keras sama Zayna. Kasihan, umi lihat semenjak ustadz Hanif pergi Zayna jadi sulit memahami materi. Sepertinya ia juga tidak nyaman di ajarkan oleh Jahiz.” ucap orang yang menghampiri Faiz, yang ternyata itu adalah sang istri, Farrah.

“Abi seperti ini juga untuk kebaikan Zayna,” ucapnya prustasi karena masih merasa bersalah setelah kejadian yang membuat sang putri menangis.

“Pelan-pelan, bi. Zayna itu anaknya keras kepala. Kita sebagai orang tua harus sabar mendidiknya. Jadi, jangan keras-keras kalau mau menasihati Zayna.” rayu Farrah agar suaminya itu bisa lebih memahami karakter Zayna yang sangat keras kepala.

“Iya, Habibati.” ujar Faiz kala menciumi tangan sang istri dan menidurkan kepalanya di paha milik Farrah. Farrah hanya membalas dengan mengusap rambut-rambut berwarna hitam lekat itu. Yang di usap hanya diam sambil memejamkan matanya sejenak. Berpikir apa yang harus ia mulai agar Zayna bisa memahami situasi sekarang ini.

Habibati panggilan sayang untuk istri.

©morkihacoy