Rumah saya itu kamu
Seperti biasa ada part 18+ :)
Hanif melangkah dari dalam mesjid menuju keluar untuk segera pulang ke rumah milik Faiz, mertuanya.
Disepanjang jalan menuju rumah. Tidak hanya satu sampai dua orang saja yang menatap dirinya sedang berjalan disekitar pesantren. Banyak para santriwati yang mencoba menyapa Hanif. Namun, cukup dengan senyuman hormat ia membalasnya. Risih, sudah pasti ia rasakan. Tapi, setidaknya ia harus berpikir positif dari sikap-sikap para santriwati tersebut.
“MasyaAllaah banget ya?” kalimat itu terdengar jelas di telinga Hanif.
“Dari dulu berharap sama ustadz Hanif. Tapi tetep aja, yang jadi istrinya anak ustadz Faiz.” lanjut salah satu santri yang sedari tadi membicarakan sosok Hanif.
Hanif tak menghiraukan itu. Karena jika ia membalas kalimat yang keluar dari mulut santri itu. Sama saja, ia akan mencari gara-gara dan membuat istrinya menjadi berpikir kemana-mana.
“Assalamu'alaikum,” ucap Hanif ketika dirinya sudah sampai di rumah milik mertuanya.
“Wa'alaikumussalam,” balas Zayna yang langsung menghampiri sang suami sembari mencium tangan kekar itu. Zayna melirik keadaan di sekitar rumah, memastikan bahwa keadaan sedang sepi.
“Cium nya?” tawar Hanif.
cup
Sesegera mungkin Zayna mencium pipi Hanif karena takut ada salah satu dari penghuni rumah ini yang memergoki mereka.
“Bibir nggak?” tawar Hanif kembali sembari menggoda perempuannya itu.
“Ih,” keluh Zayna. Namun, mau tidak mau ia harus mengiyakannya. Hitung-hitung menggugurkan dosa-dosanya yang sudah menumpuk itu.
cup
Bukan melepas kecupannya. Hanif malah membalasnya, yang membuat durasi waktu semakin lama. Zayna lagi-lagi pasrah dengan kelakuan suaminya itu.
Akhirnya, kegiatan yang mereka lakukan pun selesai. Untungnya tidak ada penghuni rumah yang melihat mereka. Sebab, bisa dibilang mereka melakukan itu tidak pada tempat yang seharusnya.
Hanif menempelkan keningnya pada kening Zayna. Tatapan itu kembali bertemu. Membuat Zayna kembali merasakan hal aneh di perutnya, juga kedua pipinya yang mulai memerah.
“Cantik,” ujar Hanif sembari mencium kening sang istri.
“Ekhem,” suara itu tiba-tiba saja terdengar dari arah dapur, yang membuat mereka terkejut dan sesegera mungkin menghentikan kegiatan itu. Keduanya terdiam, ketika tahu siapa yang menimbulkan suara tersebut.
“Ya Allaah, dosa gak ya?” ujar seseorang tersebut dan ternyata itu adalah Nizam, kakak laki-laki Zayna.
“Gini banget tinggal di bumi!” lanjutnya sembari menatap langit-langit rumah.
“Gak anak, gak orang tuanya sama aja!” ia kembali menggerutu.
“Makanya nikah, mas!” seru Zayna. Lalu, dengan sengaja ia memeluk lengan kanan suaminya dan bersandar dipundak milik Hanif.
“Wah makin ngelunjak!” balas Nizam sembari menatap Zayna dengan tajam. Karena merasa iri dengan perlakuan yang Hanif dapatkan dari istrinya itu. Nizam segera beranjak pergi dari posisinya. Berharap itu hanyalah godaan-godaan yang membuat dirinya ingin cepat menikah.
“Eh itu, barang-barangnya sudah diangkut ke mobil?” tanya Hanif mengganti topik yang sebelumnya Zayna dan Nizam bahas.
“Iya, jadi kita tinggal cus pergi.” Zayna membalas pertanyaan dari suaminya dan lagi-lagi mencium sekilas benda kenyal milik Hanif. Yang dicium hanya tersenyum malu atas perlakuan perempuannya itu.
“Katanya tidak jadi pindah sekarang?” batin Hanif
Hanif melajukan mobilnya mengikuti mobil yang membawa barang-barang milik Zayna dan dirinya. Kedua mobil itu melaju menuju rumah baru milik mereka. Keduanya tampak bahagia didalam sana. Membicarakan apapun yang mereka lalui hari ini dan waktu-waktu yang lalu.
Tidak membutuhkan waktu lama. Dua mobil itu sudah sampai ditempat tujuan. Barang-barang yang mereka bawa, mulai diletakan satu persatu di halaman rumah berwarna cokelat muda serta tua itu.
“Maaf ya, rumahnya tidak sebesar rumah yang lain.” kalimat itu tiba-tiba terucap dari mulut Hanif.
“Kamu ngomong gitu terus aku cium deh! Maaf-maaf aja sampe lebaran kuda!” ketus Zayna karena sudah bosan dengan sikap merasa bersalah suaminya itu.
“Hubby ku sayang, ini itu udah lebih dari cukup tau gak? Aku dapetin kamu aja udah Alhamdulillaah. Jangan bilang gitu terus ya ganteng? Mau rumah besar-besar juga buat apa kalo penghuninya cuma berdua? Ya, kecuali kalo kamu bawa satu RW.” jelas Zayna sembari melingkarkan kedua tangannya di leher milik Hanif. Hanif lagi-lagi tersenyum. Ternyata, perempuannya ini pintar sekali menggombal dengan kata-kata yang begitu indah juga gemas(?)
“Kan nanti ada Hanif junior,” celetuk Hanif.
“Kan...” Zayna menatap tajam mata hitam lekat itu. Hanif mengecup-ngecup pelan pipi milik Zayna. Dan seperti perkiraannya, Zayna akan luluh dengan perlakuannya itu.
Barang-barang sudah tersusun rapi dihari itu juga. Zayna tipikal perempuan yang tidak bisa menunda-nunda pekerjaan, juga Hanif yang tidak suka jika keadaan sekitarnya tidak rapi. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk membereskan dan mengatur posisi barang-barang yang mereka bawa dari rumah.
“Haus!” protes Zayna ketika ia merasa kelelahan membereskan seisi rumahnya bersama Hanif.
Merasa paham akan maksud sang istri. Ia langsung pergi beranjak ke arah dapur yang lumayan besar tersebut dan mengambil minum untuk Zayna. Melihat itu, Zayna langsung menghampiri Hanif.
“Eh eh, itu buat siapa?” tanya Zayna.
“Buat kamu, katanya haus.” balas Hanif sembari memberikan segelas air putih kepada Zayna.
“Yang istri siapa?” Zayna terlihat protes akan perlakuan suaminya.
“Kamulah, masa saya.” balas Hanif lalu mencubit hidung mancung milik Zayna.
“Peluk!” pinta Zayna karena merasa terharu oleh sikap suaminya itu. Paham akan apa yang ia pinta, Hanif memeluk tubuh rampingnya. Memeluk dengan erat. Beralih dengan menggendong tubuh istrinya itu menuju salah satu kamar yang sudah mereka tata sebelumnya.
Hanif merebahkan tubuh sang istri. Membetulkan posisinya menjadi di atas tubuh Zayna. Menciumi setiap sisi dari wajah cantik itu.
“Jangan pergi ya? Disini terus sama saya. Jangan hilang. Karena untuk menemukan yang seperti kamu itu sulit dan cuma ada satu disini. Untungnya, Allaah memberikan kamu untuk saya. Jadi rumah saya seterusnya, kita bangun satu per satu tiangnya ya? Buat tiangnya jadi kokoh. Tapi, ketika tiang itu akan runtuh kita kuatkan lagi bangunannya. Jangan biarkan sampai hancur.” kalimat itu terucap ketika Hanif selesai menciumi perempuan kesayangannya.
“Iya, kita jalanin sama-sama ya, ustadz. Jadi milik aku seterusnya. Jangan lepas genggaman aku, kalau akunya gak mau hilang.” Hanif tertawa kecil mendengar kata-kata yang terucap dari bibir kecil Zayna. Suara yang selalu ia rindukan. Dekapan yang selalu ia nantikan di setiap detiknya.
Ia memeluk erat perempuannya. Membawanya kedalam kehangatan kasih yang selalu ia berikan.
“Kamu akan selalu menjadi alasan saya untuk pulang. Karena rumah saya itu, kamu.” bisik Hanif disela-sela kegiatan memeluknya itu. Zayna kembali mengeratkan pelukan dari Hanif. Mengusap surai rambut hitam itu.
“Iya, sayang.” balasnya.
©morkihacoy