Mau Kapan?
Hanif melipat sajadah cokelat miliknya dan meletakkannya pada tempat yang sudah ia sediakan. Melihat sang istri yang masih terduduk di hamparan sajadah ungu dan merah mudah milik Zayna. Hanif menghampiri dan duduk di depan Zayna.
“Kok masih duduk?” tanya Hanif.
“Kamu gak mau cepet-cepet punya dedek bayikan?” tiba-tiba Zayna melontarkan pertanyaan tersebut dan membuat Hanif mengangkat sebelah halisnya, bingung.
“Maunya sih gitu. Tapi, kasihan kamu nanti pasti lebih cepet cape. Nanti aja ya, kalau kitanya udah santai?” balasnya kala mengelus lembut pipi kemerahan itu.
“Gak gitu, kalau mau sekarang ya ayo!” tawar Zayna. Namun, dengan wajah yang pura-pura tersenyum.
“Ngga, nanti aja ya?” ujar Hanif kembali menyakinkan Zayna.
“Bener?” tanya Zayna masih dalam keadaan tidak percaya.
“Bener sayang, cantik, sholehah. Nanti aja ya?” Hanif kembali menyakinkan istrinya dan sekilas mencium bibir Zayna.
Segera Hanif bangkit dari duduknya. Ia membawa buku berukuran cukup besar dan juga lumayan tebal.
“Dulu saya ngajarin kamu sampai mana ya?” tanyanya sembari membuka lembaran-lembaran halaman dibuku yang ada ditangannya itu.
“Kamu dulu janji mau tanya jawab,” balas Zayna.
“Oh iya, sebentar.” Hanif kembali menghampiri Zayna dan duduk tepat di depan perempuannya itu.
“Selama saya di Kairo, udah hafal berapa juz?” tanya Hanif kembali.
“Hehe, baru 19 juz.” mendengar itu Hanif langsung mencium tangan mungil milik Zayna.
“MasyaAllaah,” ujarnya.
“Nanti saya boleh dengar ya?” Zayna mengangguk mendengar permintaan dari sang suami.
“Sekarang aku mau tanya jawab aja!” lanjut Hanif, Zayna kembali mengangguk.
“Gampang ko,”
“Neraka Saqar itu bakal dihuni sama orang yang seperti apa?” Hanif mulai bertanya.
“Yang gak rajin sholat fardhu!” jawab Zayna berharap jawabannya benar.
“Iya benar.” tanggap Hanif lagi-lagi mengelus kepala istrinya.
“Apa aja jalan mudah wanita ke surga?” Hanif melanjutkan pertanyaannya.
“Eum, sholat fardhu 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga aurat dan martabat, terus...” Zayna menggantungkan kalimatnya.
“Patuh sama suaminya!” lanjutnya sembari mencubit pelan hidung milik Hanif. Hanif membalas dengan kecupan dibibir milik Zayna.
“Kebiasaan nyosor duluan!” protes Zayna.
“Mas,” panggil Zayna.
“Kenapa cantik?” tanya Hanif penasaran.
“Aku siap kok!” Hanif kembali menatap istrinya bingung.
“Siap apa?”
“Itu, siap itu mas.” balas Zayna sambil terbata-bata karena takut dan malu.
Hanif lagi-lagi tersenyum, “Sayang, kan aku bilang gak usah di paksain. Nanti aja ya?”
“Tapi...”
“Udah, kita tidur sekarang ya? Ayo baca surah Al-Mulk dulu!” Hanif bukannya tidak mau. Namun, melihat paksaan dari wajah Zayna membuatnya tidak tega untuk mengikuti omongan Zayna. Hanif tahu bahwa, sebenarnya Zayna takut akan hal itu. Maka dari itu, iya selalu menunda menunggu waktu yang benar-benar tepat untuk dibicarakan lagi.
“Pokoknya sebelum kita punya anak. Kita harus tau dulu adab-adabnya ya? Nanti kita belajar.” Sambungnya setelah selesai membaca surah Al-Mulk.
Keduanya kini terlelap dengan keadaan Zayna dan Hanif yang saling berpelukan. Tangan Hanif mengusap surai rambut panjang itu. Mengecup sekilas kening milik Zayna.
Zayna bersembunyi ditengkuk milik Hanif. Tanpa sadar wanita itu meneteskan air matanya. Merasa bersalah, apakah Hanif benar-benar marah karena Zayna sempat menolak saat malam pertama dalam pernikahannya. Beralasan bahwa dia sedang datang bulan. Karena kemarin dia selesai pada haid di bulan ini. Maka sedari tadi dia terus menawarkan hal itu kepada Hanif. Namun, tetap saja Hanif tidak mau menurutinya.