Izin
Ini sudah tahun ketiga Hanif berada di universitas Al-Ahgaff, Yaman. Semua tugasnya dalam mendalami ilmu disana sudah selesai. Walaupun begitu, iya tetap harus mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya.
Keluarganya sudah menunggu kepulangan Hanif. Rindu, semua merindukannya. Terutama, Zayna.
Gadis yang kini sudah berusia 22 tahun. Gadis yang selalu jadi alasan Hanif untuk pulang.
Umi Hanif mencium kening sang anak. Menangis dalam dekapannya. Masih tidak percaya putranya kini berada tepat di depan matanya.
“Ya Allaah, anak umi. Anak umi makin tampan saja.” ucap sang umi kala mengusap lembut rambut hitam lekat itu. Hanif hanya tersenyum. Berusaha menahan kesedihan atas kerinduan kepada satu-satunya malaikat surga miliknya ini.
Semua keluarganya kini sudah berada di rumah yang lumayan cukup luas milik abi Hanif.
“Umi, abi, kepulangan Hanif kesini, selain memang sudah selesai pendidikan Hanif disana. Ada alasan lain juga. Hanif ingin mengkhitbah perempuan yang sudah Hanif yakini sebagai pilihan Hanif,” kini Hanif mulai berbicara.
“Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujar sang abi ketika mendengar niat baik putranya yang satu ini.
Gugup yang kini menyelimuti hati Hanif, tidak menggubris niatnya untuk mengkhitbah perempuan yang di maksud, Zayna. Campur aduk dalam pikirannya. Persiapan apa saja yang akan ia bicarakan nanti di depan orang tua Zayna.
“Sudah siap?” suara itu kembali terdengar. Suara yang selalu menjadi penenang dikala hatinya dilanda kegelisahan.
“InsyaAllaah umi, Bismillaah,” yakin Hanif sembari tersenyum menghadap cermin besar miliknya. Umi pun ikut tersenyum.
Mobil itu sudah berada tepat di depan rumah milik Zayna. Gadis itu tersenyum, bukan malah gelisah tapi kini ia sangat amat terlihat bahagia. Doa-doa disetiap sujudnya terdengar hingga ke langit.
“Nanti ustadz bilang apa ya? 'Ustadz Faiz dan Ustadzah Farrah, izinkan saya untuk menjadikan putri kalian sebagai perempuan yang akan selalu menemani saya disetiap harinya,' “ ucap Zayna sembari tertawa memeragakan nanti akan bagaimana Hanif membicarakan soal ini.
“Hayo, lagi apa?” Zaenab masuk kedalam kamar milik Zayna, yang sontak membuat Zayna terkejut.
“Hehe,” tawa kecil itu membalas pertanyaan milik Zaenab.
“Seneng?” Zaenab bertanya kembali. Sebab, kini adik bungsu satu-satunya itu memancarkan wajah yang begitu terlihat bahagia.
“Ya gitu deh,” Zayna berjalan menuju jendela kamarnya yang langsung menghadap ke lantai bawah. “Bentar lagi pasti umi manggil!” duganya.
“Zayna, Zaenab, sini nak turun!” belum sampai satu menit suara yang dimaksud sudah terdengar dari ruang sebelah.
“Bismillaah,” batin Zayna.
Ruangan yang biasa Zayna gunakan untuk belajar, kini sudah ramai didatangi oleh keluarga Hanif.
Hanif terdiam, “MasyaAllaah,” batinnya. Langsung ia palingkan pandangannya ke sembarang arah.
“Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Samir!” ujar abi Faiz kala melihat kedatangan teman lamanya itu─abi Hanif─.
“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas abi Samir sembari memberi pelukkan rindu kepada Faiz.
“Gue bilang juga ape, nih bocah mau kita jodohin atau kagak tetep jodoh, Iz.” lanjut Samir. Faiz tersenyum mendengar kalimat yang Samir ucapkan.
Sedari tadi Zayna hanya menatap ke arah sosok pria yang memakai baju kemeja berwarna putih. Banyak sekali hal yang Samir dan Faiz bicarakan. Menjadi penghambat maksud kedatangan yang sebenarnya itu.
“Nahkan, kita yang ngobrol. Sampai lupa gue mau ngapain.” sadar Samir sembari melirik ke arah Hanif putranya itu.
“Ekhem,” Hanif mengatur suara dan posisi duduknya dengan segera. Gugup sekali, rasanya ingin cepat-cepat pulang dan mengunci kamar rapat-rapat.
“Bismillaah,”
“Maksud dan tujuan saya kesini ingin meminta izin untuk mengkhitbah putri bungsu ustadz Faiz dan ustadzah Farrah, Zayna Jumayra Naseeba.” ujar Hanif sembari menahan gemetar dalam tubuhnya.
“Begitu saja?” tanya Faiz yang membuat Hanif makin merasa gugup. Karena pasalnya, pertanyaan itu sedikit menganggap kalimatnya terlihat main-main.
“Izinkan saya untuk menjadikan Zayna sebagai pendamping dihidup saya. Menemani saya disetiap langkah menuju keridhoan Allaah SWT, menjadi penyejuk hati dikala hati ini sedang tidak baik-baik saja, menjadi tangan yang selalu saya genggam saat senang maupun susah, menjadi sosok yang selalu saya utamakan setelah ibu saya, menjadi perempuan yang selalu saya rindukan kepulangannya. Saya berjanji akan menerima semua kekurangan yang ada didalam diri Zayna, juga saya akan selalu membahagiakan dia sebagaimana saya membahagiakan surga saya, umi. Maka dari itu, atas izin Allaah saya ingin meminang Zayna Jumayra Naseeba menjadi ibu dari anak-anak saya nanti.” jelas Hanif berusaha meyakinkan Faiz.
Faiz tertawa, “Semua jawaban ada di putri saya.” balasnya kala menepuk bahu milik Hanif.
Semua menatap tertuju kepada Zayna, yang ditatap hanya menunduk malu. Yang pasti mana mungkin Zayna akan menolak pinangan dari lelaki yang sudah ia tunggu bertahun-tahun itu.
“Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ustadz Hanif atas niat baiknya ini. Karena telah menanamkan pilihan juga hatinya kepada saya. Bismillaahirrohmanirrohim, atas ridho Allaah SWT, juga diiringi restu kedua orang tua saya. Maka, InsyaAllaah saya bersedia menerima lamaran ustadz Hanif.” jelasnya menjawab semua pertanyaan yang Hanif lontarkan tadi.
Lega, perasaan takut yang ia tahan pun sekarang terganti dengan rasa bahagia. Semua tersenyum kala mendengar jawaban dari Zayna. Umi Farrah mengelus surai hijab milik Zayna. Senang akan jawaban yang ia berikan tadi. Sedih dan senang semua bercampur aduk. Dan akhirnya, acara mengkhitbah ini selesai.
Perjalan dua insan untuk saling memiliki pun masih belum usai. Karena ada satu hari lagi, dimana Hanif akan mengucapkan janji sucinya untuk Zayna.
©morkihacoy