Akad

Zayna melirik jam yang kian berputar, menandakan waktu semakin berjalan. Wajahnya begitu cantik, ditambah riasan sederhana dari penata rias. Ia tersenyum, “Mbak MasyaAllaah, wajahnya cantik sekali.” ujar sang penata rias sembari mengoleskan blush on di kedua pipi Zayna.

“Alhamdulillaah, Aamiin.” balasnya.


Disamping itu, Hanif yang sedang mengoreksi hafalan surah Ar-Rahman untuk dibacakannya nanti. Hatinya gelisah kala mengingat hari ini adalah hari yang sangat ia dan juga Zayna nantikan. Senang, sedih, takut bercampur aduk didalam pikiran dan hatinya. Masih tidak percaya perempuan itu beberapa jam lagi akan menjadi miliknya.

“Lima belas menit lagi, Nif!” abi Samir menghampiri putranya, yang sedang fokus membuka tutup Al-Qur'an berwarna emas di genggamanya.

“Iya bi,” balas Hanif.

“Bismillaah, semoga Allaah lancarkan sampai akhir acara nanti, Aamiin.” Samir menepuk bahu Hanif.

“Aamiin,” ucap Hanif.

Waktu sudah menunjukan pukul 06.50 pagi. 10 menit lagi acaranya ini akan di mulai. Hanif segera duduk dikursi yang sudah disediakan. Faiz duduk tepat di depan Hanif, begitu juga pak penghulu yang siap menjadi saksi atas janji suci yang akan di ucapkan Hanif nanti. Selesai membaca surah Ar-Rahman, Hanif menatap abinya Samir juga Faiz secara bergantian.

“Bismillaah, kita mulai saja pak?” tanya pak penghulu kepada Faiz. Faiz mengangguk sembari tersenyum.

Faiz mulai menyambat tangan Hanif. Faiz tersenyum kala melihat laki-laki yang ada di hadapannya ini begitu yakin dan terlihat sangat tampan.

Bismillaahirrohmanirrohim, Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Zayna Jumayra Naseeba alal mahri hallan.” Faiz mulai melantunkan ijab kepada Hanif.

Hanif menarik nafas, “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha Zayna Jumayra Naseeba binti Faiz Fajrin Naseeba alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq.” balas Hanif dengan qobul yang begitu lancar.

“Bagaimana sah?” tanya pak penghulu kepada para hadirin.

“Sah!” balas semua hadirin.

“Alhamdulillaahirobbil'alamin!” lanjut semua.

Keadaan yang sempat mencekam pun sekarang terganti dengan tawa yang bahagia. Tidak sadar mata Hanif mengeluarkan air mata. Masih dalam keadaan tidak percaya, bahwa kini ia akan menjadi pemimpin untuk perempuannya.

Zaenab dan Farrah berjalan menuju kursi pengantin sembari menggandeng tangan mungil milik Zayna. Cantik, cantik sekali. Wajah itu terlihat begitu indah. Maka, siapapun yang memandangnya akan terpesona termasuk kini yang sudah menjadi suaminya, Hanif.

Zayna tersenyum ke arah Hanif, begitu juga sebaliknya. Tangan Hanif mengusap surai kepada hijab putih milik Zayna, “Allahumma inni as aluka khoyrohaa wa khoyro maa jabaltahaa alaih. Wa a'udzubika min syarri haa wa min syarri maa jabaltahaa alaih.” doa itu ia berikan seraya mencium kening Zayna untuk keberkahan dalam berumah tangganya, terutama menjaga sang istri.

Zayna mencium punggung tangan kekar milik Hanif.

“MasyaAllaah, ini bidadari dari surga yang mana ya?” rayu Hanif ketika keduanya sudah duduk dikursi pengantin.

“Dari mana ya?” jawab Zayna pura-pura tidak tahu. Keduanya tertawa bahagia.

“Ikuti saya ya, Zayna? Ikuti saya menuju surga bersama kamu.” kalimat itu terucap dibibir Hanif. Zayna menggenggam tangan kekar itu lagi.

“Iya, pasti. Sehidup sesurga ya sama aku?” lagi-lagi bibir itu mencium kening perempuannya.

©morkihacoy